Hukum dan Batas Waktu I’tikaf

Oleh : Nashir bin Sulaiman al ‘Umri

Itikaf hukumnya sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian berdasarkan dalil-dalil yang mensyari’atkannya. Adapula disebutkan Ijma’ yang menunjukan sunnah.

Namun terdapat riwayat yang menyebutkan Imam Malik menghukuminya makruh. Demikian seperti disebutkan oleh para pengikut Imam Malik.

Hukum sunnah itikaf berubah menjadi wajib bagi seseorang yang bernazar untuk menunaikannya. Berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa Umar RA berkata kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku pernah bernazar di masa jahiliah untuk menunaikan satu malam (riwayat lain menyebutkan satu hari) di Masjidil Haram.”

Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, “Penuhilah nazarmu,!”

Adapun selain nazar, maka pendapat yang benar adalah iktikaf hukumnya tidak wajib, atau sunnah. Berdasarkan pendapat yang shahih pula hukum sunnah tersebut berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan riwayat yang menyebut Imam Malik berpendapat iktikaf makruh, keterangan tersebut diperselisihkan oleh para penukilnya. Sebagian menyebut bahwa Imam Malik tidak menghukuminya makruh. Namun sebagian lain, seperti Ibnu Rusyd, menyebut beliau menghukuminya makruh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat Imam Malik tersebut tidak rajih jika penisbatannya benar.

Iktikaf bagi perempuan menurut jumhur ulama disyariatkan secara sunnah. Kecuali yang diriwayatkan dari Al Qaadhi dari pengikut Imam Ahmad yang menyebut bahwa beliau menghukuminya makruh bagi perempuan muda.

Namun pendapat tersebut perlu ditinjau lagi. Sebab para istri Nabi shallallahu’alaihj wa sallam beritikaf dan diantara mereka ada yang berusia muda. Seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah, Hafsah yang semuanya sudah beritikaf di usia muda saat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam masih hidup. Dengan begitu pendapat yang menyebut Itikaf hukumnya makruh bagi perempuan tidak berdasarkan dalil.

Waktu Iktikaf

Jumhur ulama berpendapat Itikaf hukumnya sunnah di bulan Ramadhan dan di waktu-waktu lainnya. Namun menurut sebagian dari kalangan madzhab Imam Malik hukum itikaf di bulan Ramadhan sunnah dan di luar bulan tersebut boleh.

Pendapat yang rajih adalah Itikaf disunnahkan di bulan Ramadhan dan di selainnya, hanya saja lebih utama pada Ramadhan dan lebih tegas lagi di 10 akhir Ramadhan.

Batas minimal iktikaf

Para ulama berbeda pendapat terkait itu. Diantara mereka mengatakan waktu minimal iktikaf adalah 10 hari. Sebagian lain menyebut sehari semalam. Sebagian lainnya lagi mengatakan sehari atau semalam. Bahkan ada yang berpendapat minimalnya sesaat.

Namun pendapat paling rajih adalah sehari atau semalam. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa dalil. Diantaranya hadits Umar RA di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata padanya, “Penuhilah nadzarmu !”

“Aku,” kata  Umar, “bernazar untuk Itikaf semalam.” Dalam riwayat lain menyebutkan, “sehari.”

Kedua riwayat tersebut shahih. Sehingga batas minimal Itikaf adalah sehari atau semalam. Sebab Itikaf merupakan persoalan ibadah dan apa yang ditunjukan pada riwayat tersebut adalah yang paling singkat diantara dalil lainnya.

Adapun pendapat ulama yang menyebut minimalnya sesaat saja tidak bisa disebut sebagai Itikaf dan tidak ada dalil yang mendasari hal itu.

Namun jika kita katakan sesaat itu digunakan untuk menunggu waktu shalat berikutnya maka itu disyariatkan dan mendatangkan pahala. Demikian berdasarkan hadits, “Dan menunggu tiba waktu shalat selepas menunaikan shalat adalah ribath, itu adalah ribath.”

Cuma kita tidak menyebut itu sebagai Itikaf. Tentu berbeda antara menunggu waktu shalat dengan duduk di masjid sebagai satu ibadah yang disyariatkan dan sunnah hukumnya serta mendatangkan pahala dengan ibadah Itikaf.

Itikaf yang kita bicarakan di sini mengandung hukum-hukum, syarat-syarat dan adab-adab. Untuk itu pendapat paling jelas, lurus dan kuat adalah yang ditunjukan oleh dalil yang menyebut waktu tersingkat iktikaf adalah sehari atau semalam. Dalil itu diantaranya adalah hadits Umar RA.

Adapun waktu terlama iktikaf tidak terbatasi. Sebagaimana nazar istri Imran bahwa janin yang dikandungnya kelak menjadi hamba yang muharrar (mengabdi kepada Allah). Janin yang dimaksud adalah Maryam.

Istri Imran menghibahkan Maryam untuk masjid, untuk berdiam diri di masjid. Lalu Allah menerima nazar tersebut.

{ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّراً فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ } (آل عمران: ٣٥)

“Sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu). Maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Ali Imran : 35)

{ فتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتاً حَسَناً وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقاً } (آل عمران: ٣٧)

“Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaanya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya.” (Ali Imran : 37)

Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Maryam saat itu menunaikan iktikaf di masjid. Seperti disebutkan pada ayat pertama di mana Istri Imran menazarkan putrinya, Maryam, itu untuk Allah. Dan maknanya berarti menyerahkannya untuk berkhidmah di masjid dan Baitul Maqdis. Lalu Allah pun menerima nazarnya.

Kemudian pada ayat yang artinya “Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab,” menunjukan bahwa Maryam saat itu berada di dalam masjid.

Untuk itu bisa saja seseorang menazarkan dirinya untuk Allah dengan berdiam diri di masjidil Haram atau di satu masjid. Namun dengan syarat dia tidak bermain-main dengan kewajibannya dan membiarkan dirinya jatuh ke dalam perbuatan haram. Demikian telah dijelaskan oleh para ulama. (L/RA 02/RS2)

Sumber : Saaid.net

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: توفيق

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.