Rempah-Indonesia.jpg">Rempah-Indonesia.jpg" alt="Rempah Indonesia" width="351" height="263" />Jakarta, 22 Rajab 1435/21 Mei 2014 (MINA) – Kebangkitan rempah di Indonesia sangat diharapkan, karena dahulu penjajah begitu jaya karena menguras rempah Indonesia. Kini rempah Indonesia sudah berada di tangan bangsanya sendiri.
Namun yang menjadi pertanyaan ketika wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rudi Hendrik mewawancarai Ketua Dewan Rempah Indonesia, Yati Sofiati Mukadi di kantornya, Selasa (20/5), di Mega Kuningan, Jakarta, “Kenapa petani rempah Indonesia tidak bisa berjaya?”
Indonesia bagian Timur disebut “Mother Land of Spice” (Tanah Air Rempah), wilayah yang banyak memiliki rempah dengan kwalitas paling baik.
Inilah hasil wawancara lengkap MINA dengan Ketua Dewan Rempah Indonesia:
MINA: Indonesia negara penghasil rempah terbesar di dunia. Apakah status itu sudah sepadan dengan hasil yang diterima bangsa dan rakyat Indonesia?
Sofiati: Konferensi Rempah Internasional 2013 (International Spices Conference 2013) di Ambon, Maluku, dengan tema “mengadakan revitalisasi rempah dan produksinya dalam perspektif berkelanjutan dan ramah lingkungan”, menunjukkan bahwa kita harus bangkit kembali.
Jadi (hasil yang diterima bangsa dan rakyat) belum maksimal untuk meningkatkan rempah ini supaya bisa menjadi atau bisa mesenjahterakan petani dan masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Selama ini, jika dibandingkan dengan hasil bidang lainnya, rempah ini masih terlalu kecil, walaupun dulu kita adalah primadona, sampai penjajah pun berdatangan karena mencari rempahnya.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Ada sebuah kisah, yaitu tentang H. Agus Salim. Suatu saat, dalam suatu pertemuan internasional, Agus Salim merokok kretek dan sedikit menjauh dari orang banyak.
Ratu Elizabeth mencium baunya dan bertanya, “Wangi apa ini?”
Dijawab oleh orang yang ditanya, “Inilah wangi yang menyebabkan rakyat Anda jauh-jauh mau datang ke negeri ini hanya mencari bau wangi ini.”
MINA: Apakah sejauh ini Indonesia menjadi penyuplai rempah yang membuat negara lain ketergantungan?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Sofiati: Tentu, karena tidak mungkin mereka hidup tanpa rempah jika musim dingin. Makanan pun semuanya bergantung pada rempah. Setiap negara memiliki kebutuhan rempah yang berbeda-beda.
Misalnya di Amerika, beberapa makanan diberi rempah seperti pala. Untuk kue-kue terkenal dari Belanda menggunakan rempah seperti kayu manis dan wangi-wangian lainnya.
Begitu pentingnya rempah, sehingga pernah suatu masa harga rempah di Eropa lebih tinggi dari pada harga emas. Jadi begitu tingginya nilai rempah.
MINA: Secara umum, selain bumbu, kegunaan rempah apa saja bagi manusia?
Sofiati: Di antaranya, pertama sebagai bumbu masakan yang alami. Sekarang banyak bumbu penyedap yang tidak alami dan tidak sehat. Tapi jika dari tanaman yang Tuhan turunkan kepada manusia, tentunya akan menyehatkan.
Kedua, untuk obat-obatan. Contoh jika kita sakit gigi, itu bisa menggunakan minyak cenkeh. Jika tidak bisa tidur, bisa minum atau makan pala.
Ketiga, untuk bahan kosmetik, bisa menyegarkan dan meremajakan kembali kulit. Sekarang sudah banyak tempat-tempat berendam atau spa yang memakai ramuan-ramuan dari rempah.
Keempat, untuk menghangatkan tubuh. Makanan-makanan yang menggunakan rempah menjadi lebih hangat dan bisa survive dalam hawa dingin. Jadi negara-negara yang memiliki iklim dingin sangat memerlukan rempah.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
Dan masih banyak lagi keguanaan lainnya.
MINA: Kendala-kendala apa saja yang menyebabkan rempah dan perkembangannya kurang mendapat perhatian dan prioritas dari pemerintah?
Sofiati: Jika dikatakan tidak memperhatikan, ya tidak juga, tapi masih kurang dan kurang persatuan. Jika kita sama-sama memikirkan, dari segi UU dan peraturannya saja bisa memberikan dukungan kepada para petani. Kemudian dari sisi petani, dalam cara penanamannya dia lihai – karena turun temurun – tapi dari sisi teknologi kurang mendukung.
Petani harus tahu cara menanam yang berkwalitas yang caranya diperoleh dari hasil riset. Riset harus disampaikan kepada para petani agar mereka tahu.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Contoh dari hasil riset, pala ada yang jantan, betina dan ada yang banci. Jika ditanamnya dengan cara satu pala jantan delapan pala betina, maka akan lebih produktif. Oleh karena itu para peneliti juga mengembangkan riset untuk membantu para petani rempah dengan tujuan rempah Indonesia bisa kembali bangkit.
Kita harus bersatu. Peneliti bukan hanya meneliti lalu disimpan hasil risetnya di perpustakaan, tapi bagaimana bisa disampaikan kepada petani-petaninya. SDM kita juga harus dilatih untuk memberikan penyuluhan.
Artinya masih perlu ada rasa tanggungjawab dari masing-masing pihak untuk membangkitkan rempah Indonesia agar kembali jaya.
Rempah akan lebih mahal harganya jika dari hulu ke hilir bersih. Selain penanamannya, juga dalam proses pengeringannya harus terjamin tingkat kekeringannya dan kebersihannya. Jadi alat-alat pengering belum semua dimiliki oleh para petani. Selama ini hanya menggunakan matahari yang tidak terjamin kwalitas dan kebersihannya.
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
MINA: Apakah para investor dalam bidang ini masih sangat kurang?
Sofiati: Hasil rempah-rempah Indonesia ini harusnya bisa dibangun di dalam negeri sendiri sehingga bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi bangsa Indonesia sendiri dan mendapatkan nilai tambah lebih.
Mengapa Singapura yang tidak punya tanah bisa menjadi eksportir rempah? Vietnam tanahnya terbatas tapi bisa menjadi nomor satu dan menjadi eksportir. Karena dia membeli dari kita, kemudian diolah kembali.
Demikian pula Serawak, Malaysia. Mereka membeli rempah mentah kita, kemudian mengolah dan mengekspor kembali.
Seperti gambir yang hanya ada di Indonesia, tapi pengekspor gambir terbesar adalah India.
Berarti, industri yang kecil harus bisa kita dorong dari hulu hingga hilir (dari awal hingga menjadi produk).
Untuk menghasilkan produk-produk yang beraneka, dibutuhkan investor-investor dalam negeri yang mau berinvestasi di daerah penghasil rempah, seperti pala di Fakfak dan Kaimana di Papua.
MINA: Apakah petani rempah tidak tahu informasi sehingga mau menjual langsung kepada asing ataukah industri kita yang memang lemah?
Sofiati: Kedua-duanya. Para petani biasanya langsung menjual karena membutuhkan pembayaran langsung cash. Jadi petani harus menghindari ijon. Untuk menghindari ijon petani harus diberi bantuan, bagaimana mereka bisa menyimpan hasil rempahnya dan tidak langsung dijual pada saat itu.
Dengan dibentuk koperasi-koperasi di desa dan diberi bantuan dana, maka hasil rempah petani bisa dibeli oleh koperasi dan kemudian hasil jual masih bisa diberi kepada petani sebagai tambahan, jika harganya naik. Dan kita belum punya yang seperti itu, yang menjadi gudang-gudang untuk menyimpan hasil rempah petani.
Para petani biasanya hanya menyimpan begitu saja hasil rempahnya di rumah. Belanda dulu memiliki banyak gudang-gudang di Indonesia. Sekarang gudang-gudangnya ada di Singapura.
Petani sangat membutuhkan informasi, tetapi informasi yang sederhana yang bisa diterima dan dicerna oleh mereka. Hasil riset oleh para peneliti harus dirubah lagi dalam bentuk nyata, sehingga petani bisa melihat dan mencontoh. Jika mereka melihat hasilnya bagus, tentu mereka akan meniru.
Baca Juga: Wawancara dengan MER-C: Peran dan Misi Kemanusiaan MER-C di Afghanistan
Sebetulnya kita itu menguntungkan, karena banyak rempah yang kita miliki tapi tidak dimiliki negara lain. Contohnya lada putih dari jenis muntok, tidak ada yang bisa menyaingi wanginya, atau lada hitam dari Lampung. Walaupun ditanam di negara lain hasilnya bisa lebih banyak, tapi tetap kwalitasnya masih bagus jika ditanam di Indonesia.
MINA: Apakah langkah-langkah Dewan Rempah Indonesia sudah maksimal dalam mensosialisasikan hal ini?
Sofiati: Jauh sekali. Kita membutuhkan dana dan harus saling terpadu. Terus terang ini organisasi yang “tidak ada” dananya. Tapi kita tetap berusaha untuk tetap eksis. Sosialisasi belum cukup dan tahun ini kita akan tetap melaksanakan.
Ada pun program turun ke masyarakat bawah sudah kami lakukan. Kami mendirikan juga Dewan Rempah di daerah-daerah dan cabang-cabang. Jadi para petani membentuk asosiasi rempah, tergantung rempah apa yang dimiliki daerah itu. Setiap jenis rampah (cengkeh, lada, pala, gambir dan lainnya) memiliki asosiasi. Adapun anggota di Dewan Rempah terdiri dari berbagai kalangan, ada dari pemerintah, pengusaha, peneliti, eksportir, hingga petaninya. Jadi bisa duduk bersama memecahkan masalah.
Jadi harapan Dewan Rempah yaitu bisa menjayakan kembali rempah Indonesia.
MINA: Daerah-daerah mana saja di Indonesia yang memiliki kekhasan rempah-rempahnya?
Sofiati: Masing-masing daerah berbeda rempah unggulannya. Pala terkenal di antaranya di daerah Banda, Fakfak, Kaimana, Ternate, Manado, Banten dan Aceh. Di jaman Belanda, pala dibawa dan ditanam diberbagai daerah hingga ke luar Indonesia.
Kemudian cengkeh di Manado, Maluku, Jawa hingga ke Lampung. Kayu manis adanya di Kerinci dan Jambi. Kayu putih di Indonesia bagian timur. Jadi macam-macam dan memiliki kekhasan masing-masing.
MINA: Apakah Indonesia memang tidak mampu mengolah rempah sendiri dan mengekspor dalam bentuk jadi?
Sofiati: Untuk sekarang ini investor masih sangat kurang. Ketika Workshop Pala Fakfak dan Kaimana Papua di Bogor, IICC menyampaikan bahwa daging dan kulit pala yang bisa diproses menjadi jelly, makanan, manisan, minumam dan lainnya, itu dibuang begitu saja karena tidak ada yang memproses, tidak ada alatnya, dananya, pengusahanya.
Seperti ketika saya ke Ambon, ada pembuatan sirup pala. Rumahnya gubuk, dapurnya gelap gulita. Ada papan namanya yang bertulis “dibantu oleh ILO”, tapi gubuk dan sudah tutup, karena bantuannya hanya sekali. Seharusnya berkelanjutan. Luar negeri bantuannya hanya sekali, tapi laporannya “sudah membantu”. Seharusnya kita sendiri yang membantu.
Kemudian faktor angkutan dari daerah ke pusat pengumpulan cukup sulit, apa lagi letaknya petani di kepulauan. Pangangkutannya mahal. Kita minta pemikiran pemerintah, bagaimana agar memudahkan hal ini?
Kita harus melihat negara lain yang bukan penghasil rempah tapi bisa memproduksi. Contohlah Serawak, Malaysia, di mana mereka mengimpor ladanya dari Kalimantan Barat, Indonesia, tapi mereka bisa membuat parfum, permen, jelly dan lainnya hanya dari lada. Jadi mereka lebih smarth.
Untuk jenis lada, Vietnam juga belajar dari Indonesia, tapi sekarang produksi ladanya nomor satu di dunia, karena mereka lebih produktif dari Indonesia, kerja kerasnya pun lebih, pemerintahnya pun lebih berpihak kepada rakyat. Jadi mereka benar-benar terpadu, bangkit bersama. Ada pun kita terkadang sektoral-sektoral.
Kita manusianya banyak, tapi mereka harus diberi pelatihan. Yang diperlukan adalah kemauan dan keseriusan, serta penjualan diberikan kemudahan. Sedangkan kita mendatangkan semua dari luar. Bahan bakunya kita jual ke luar negeri, tetapi kemudiah hasil olahannya kita juga yang beli.
MINA: Rempah mungkin kurang populer di masyarakat, langkah apa yang dilakukan Dewan Rempah Indonesia untuk mempopulerkan ini?
Kami ada Buku Directory Rempah Indonesia seri pertama. Jika ada dana, kami akan mencetak seri berikutnya, karena masih banyak rempah yang belum ter-cover di sini. Ini salah satu cara untuk menunjukkan rempah Indonesia.
Setiap tahun kita berusaha mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menggali apa yang kita harapkan, yaitu bisa meningkatkan kwalitas rempah Indonesia dan produktifitas rempah Indonesia. Sebab masih banyak yang perlu digali dan ditingkatkan. Misalnya dari pertemuan Konferensi Rempah Internasional tahun lalu, kita mengharapkan selain menggali rempah, akan tergali pula bidang yang lain, seperti kerajinan, hasil bumi lainnya, kuliner dan lainnya.
Kami juga mengundang minat para petani dengan memberikan penghargaan kepada petani terbaik setiap tahunnya.
Kita juga bisa mensosialisasikan melalui kuliner Indonesia yang banyak memakai rempah. Memperkenalkan kuliner Indonesia ke dunia internasional akan mendorong bidang rempah juga.
Kita juga mengharapkan peran serta pemerintah pusat dan daerah untuk bisa mendirikan industri di tempat-tempat tertentu penghasil rempah, sehingga membuka lapangan pekerjaan. Tata niaga seperti ini bisa mencerminkan bagaimana rempah bisa mensejahterakan masyarakat.
Kita juga mengoptimalkan perguruan-perguruan tingggi. Kita meminta agar perguruan tinggi untuk bisa terus melakukan penelitian. Dan untuk optimalisasi di Indonesia, kita mempromosikan produk-produk rempah.
Dari letak geografisnya, Indonesia memiliki sekitar 30.000 jenis rempah, nomor dua setelah Brazil, dan masih ribuan jenis yang belum teridentifikasi. Tanaman yang memiliki kandungan obat lebih dari 1.100 jenis. (L/P09/R2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Nama : Yati Sofiati Mukadi.
Tempat/Tgl Lahir : Cirebon, 9 Agustus 1940.
Pendidikan : Pakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Pernah/sedang menjabat :
– Ketua Yayasan Bina Tenaga Kerja Wanita (Binakerta) KOWANI (1986 – 1990).
– Tim Ahli Bidang Ketenagakerjaan KOWANI (2004 – 2009).
– Kelompok Kerja Produktivitas, Tenaga Kerja Indonesia, Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1988 – 1993).
– Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI) (1988 – 1993).
– Ketua IMWU (International Moslem Women Union) (2006 – sekarang).
– Ketua Yayasan Bina Lingkungan terpadu (1992 – sekarang).
– Ketua Dewan Rempah Indonesia (2012 – sekarang).
– Ketua WCH (We Care for Humanity) (2014 – sekarang).
– Dan lain-lain.