Izinkan Aku Menikah Tanpa Restunya

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya, “Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” (QS. Al-Israa’ [17] ayat 23-24).

Ninda. Sebutlah nama gadis asal Surabaya ini adalah Ninda. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan seorang lelaki yang teguh dalam memegang prinsip hidupnya. Dalam sebutan lain “keras”.

Lelaki itu mengajak Ninda untuk dengan wali hakim, karena ayahnya Ninda tidak setuju dengan hubungan yang sudah terjalin.

Ninda sebenarnya tidak ingin menikah tanpa restu ayahnya. Karena bagaimana pun ayahnya sudah membesarkannya dengan kasih sayang sejak kecil. Dibimbing dengan baik dan dipenuhi kebutuhannya hingga dewasa. Namun, hanya karena ingin mengikuti sang calon suami, ia akhirnya rela menjalin hubungan tanpa restu ayah bundanya.

Ayahnya Ninda tidak setuju dengan hubungan anaknya hanya karena perbedaan paham keislaman (mazhab). Tetapi perbedaan itu menjadi semakin curam ketika lelaki pilihan anaknya menganggapnya sebagai orang kafir. Dalam paham si calon suami bahwa Muslim di luar golongan mazhabnya dianggap kafir.

Dengan alasan itulah akhirnya si lelaki memilih seorang wali hakim, karena wali hakim haruslah seorang Muslim. Sementara ayahnya Ninda dianggap kafir, sehingga tidak layak menjadi wali dalam pernikahan Ninda.

Buntut pernikahan itu tentu saja tidak  baik. Masalah yang timbul semakin runcing. Sang ayah akhirnya sudah tidak menganggap Ninda sebagai anaknya. Hubungan anak dan bapak itu akhirnya terputus. Bahkan seluruh anggota keluarga ikut-ikutan tidak menganggap Ninda lagi sebagai anggota keluarga.

Ini adalah satu contoh kisah nyata yang mewakili dari banyak kisah yang serupa meski tak sama. Padahal, jika kedua pihak berpikir dengan jernih, kemungkinan besar akan ada titik temu yang bisa menjadi solusi.

Utamakan Restunya

Banyak orang yang bertanya, “Apakah menikah tanpa restu dari masih memiliki peluang untuk hidup langgeng dan bahagia?”

Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, banyak kisah yang menceritakan seorang anak gadis berhak memilih sendiri calonnya. Sang anak memiliki hak untuk berbeda pilihan dengan orang tuanya.  Karena sering kali orang tua memiliki alasan subyektif dan tidak rasional terhadap pria pilihan anaknya.

Contoh alasan itu seperti, orang tua menilai calon menantunya berdasarkan hari dan tanggal lahir, atau dalam bahasa Jawa disebut Wethon. Atau berdasarkan orang tua dari kedua anak memiliki permusuhan terpendam.

Sementara itu, restu atau rida orang tua dalam segala hal yang baik, bagi seorang anak sangatlah penting.

Dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Artinya, “Rida Allah tergantung pada rida orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. Tirmidzi, Al-Hakim, Ath-Thabrani dan Al-Bazzar. Shahih).

Dari hadits ini, dapat diambil beberapa pelajaran”

Pertama, seorang anak wajib berusaha membuat orang tuanya rida. Sama halnya dengan mencari rida Allah yang merupakan suatu kewajiban, demikian pula dengan mencari rida orang tua.

Kedua, haram melakukan segala sesuatu yang memancing kemarahan kedua orang tua. Sama halnya dengan mengundang kemarahan Allah yang merupakan suatu keharaman, demikian pula dengan melakukan sesuatu yang dapat memancing kemarahan mereka.

Ketiga, terdapat hubungan sebab-musabab. Berbakti kepada orang tua merupakan sebab. Adapun rida Allah dan rida orang tua merupakan musabab.

Keempat, sebagian ulama berpendapat keridaan orang tua wajib diprioritaskan ketimbang melakukan amalan wajib yang hukumnya fardhu kifayah seperti jihad. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: «أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

Seorang pria mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk meminta izin beliau agar diberangkatkan berjihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orang tua Anda masih hidup?” Pria tersebut menjawab, “Iya. Maka Nabi pun berkata, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari – Muslim. Shahih).

Kelima, segala bentuk interaksi yang mampu mendatangkan rida orang tua tercakup dalam pengertian berbakti kepada kedua orang tua. Demikian pula sebaliknya, segala bentuk interaksi yang mengundang kemurkaan mereka tercakup dalam tindakan durhaka kepada kedua orang tua.

Keenam, mendatangkan keridaan orang tua dengan cara menaati perintah mereka merupakan salah satu bentuk berbakti. Namun, hal tersebut memiliki batasan selama perintah mereka tidak bertentangan dengan perintah Allah. Apabila perintah keduanya bertentangan, maka wajib memprioritaskan ridha Allah di atas rida makhluk.

Ketujuh, rida orang tua merupakan sebab terkabulnya doa sang anak. Pelajaran ini dipetik dari kisah tabi’in, Uwais al-Qarni rahimahullah, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,

يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ، مِنْ مُرَادٍ، ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ، كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ، لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ

Artinya, “Seorang bernama Uwais bin ‘Amir akan mendatangi kalian bersama rombongan orang-orang Yaman. Dia berasal dari Murad, kemudian dari Qarn. Dulu dia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh kecuali satu bagian sebesar keping uang satu dirham. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti kepadanya. Seandainya dia meminta kepada Allah, maka akan dikabulkan. Jika Anda mampu memintanya untuk mendoakan ampunan Allah bagimu, maka lakukanlah.” (Shahih. HR. Muslim).

Kedelapan, rida dan murka merupakan sifat Allah Ta’ala. Wajib bagi setiap Muslim menetapkan sifat yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah.

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

(P001/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.