Oleh Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pada awal tahun 19 Hijriyah, pasukan Islam di bawah kekhilafahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berhasil membuka kota Bashrah dan Kufah. Setelah itu, pasukan Islam pun mulai bergerak kembali untuk melanjutkan pembebasan. Sedangkan dua kota tersebut, Bashrah dan Kufah, telah dihuni oleh para penduduk muslim yang datang dari penjuru daerah, baik dari suku Arab maupun Ajam (non Arab) yang telah memeluk Islam.
Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil membuka negeri Syam hingga kembalinya Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin. Pembebasan wilayah-wilayah ini terus berlanjut hingga dibukanya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga kerajaan Persia di Madain.
Para panglima Islam yang dijuluki sebagai singa-singa padang pasir terus merangsek memasuki wilayah teritorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai, fenomena ini cukup membuat raja Persia, Yazdajir kalang kabut. Dia mengirim surat perintah kepada para pimpinan wilayah di sekitar Nahawand, memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Persiapan Kedua Pasukan
Upaya ini berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap dengan persenjataannya. Pasukan gabungan artileri-kavaleri ini di bawah komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.
Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu mengetahui rencana tersebut lalu menyiapkan pasukan Islam untuk menghadapi kemungkinan perang yang akan terjadi. Umar radhiyallahu ‘anhu ingin dirinya sendiri yang akan memimpin perang tersebut, tetapi para penasehatnya memintanya untuk tetap berdiam diri di Madinah. Karena mereka berpendapat itu pilihan yang lebih tepat bagi pasukan Islam. Maka Umar pun memilih Nu’man bin Muqarrin Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu sebagai panglima perangnya.
Setelah itu, Umar radhiyallahu ‘anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu agar berangkat dari Kufah bersama pasukannya. Demikian pula instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu agar berangkat bersama pasukannya dari Basrah.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan yang akan terjadi, hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat yang telah disepakati, hingga terkumpul sekitar 30.000 personil. Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemimpin Arab.
Adu Strategi
Sebagai langkah awal, Nu’man bin Muqarrin mengutus Thulaihah Al-Asadi, ‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan pengintai di depan pasukan utama untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah berhasil membunuh beberapa petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan data akurat tentang kekuatan musuh.
Dengan informasi yang diberikan oleh Thulaihah, maka dapat diketahui bahwa tidak dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nahawand. Pasukan Islam berinisiatif untuk menyerang terlebih dahulu daripada menunggu kedatangan pasukan Persia. Pasukan Islam Islam lalu bergerak menuju Nahawand yang telah steril dari pasukan Persia. Di bawah komando Nu’man, pasukan Islam berhasil mengurung puluhan ribu pasukan Persia di Benteng Nahawand.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tatkala pengepungan berjalan tanpa ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara menghadapi musuh selanjutnya. ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.
Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini.
Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya, agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari mundur ke belakang. Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam, niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara keseluruhan.
Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menentukan akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Untuk menyukseskan strategi yang sudah dirancang, Nu’man memerintahkan Al-Qa’qa’ bin ‘Amr berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia menyerang, Al-Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur.
Akhirnya pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang).
Musuh terus melancarkan serangan dan memasang sejumlah manjanik (ketapel pelontar batu ukuran besar) menghujani pasukan Islam dengan batu-batu, hingga banyak di antaranya Islam yang terluka.
Sebagian tentara Islam mendatangi Nu’man dan berkata: “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh.”
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Pelan-pelan…!!!” jawab Nu’man.
Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan shalat dhuhur. Setelahnya Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang.
Nu’man memberikan instruksi, jika terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka seluruh pasukan maju bergerak menyerbu.
Nu’man kemudian mengucapkan kalimat, “Apabila aku terbunuh, maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh, maka Fulan sebagai penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah Mughirah).”
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Setelah itu, beliau memanjatkan doa yang cukup masyhur di hadapan pasukannya, “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu, tolonglah hamba-hamba-Mu, dan jadikanlah Nu’man sebagai syahid pertama pada hari ini, di atas kemuliaan agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.”
Sejumlah pasukan Islam pun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.
Kemenangan Gemilang
Menurut Imam Thabari, Panglima Islam Nu’man bin Muqarrin terbunuh di awal peperangan. Selanjutnya panji perang diserahkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu sesuai wasiat Nu’man. Perang terus berlanjut hingga menjelang malam. Pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar pasukan Islam. Akhirnya, Panglima Persia, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Al-Qa’qa’ bin ‘Amr di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang terbunuh kala itu lebih dari 100.000 personil.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sementara itu, Yadzajir lari tunggang langgang menuju ke arah timur. Perang yang terjadi di Nahawand ini tercatat sebagai perang terbesar yang terakhir dalam rangka pembebasan negeri Persia. Oleh sebab itu, perang ini disebut juga sebagai Fathul Futuh (pembuka berbagai kemenangan).
Setelah perang itu usai, pasukan Islam mulai memperluas pembebasannya di negeri-negeri Persia. Pasukan Islam berhasil membuka sejumlah daerah hingga mencapai kawasan Sind. Meskipun Yazdajir masih hidup, dan kekuasannya dapat dikatakan masih eksis disebagian kecil negeri Persia, tetapi Yazdajir harus hidup secara berkelanan dan pasukan Islam tidak memberi ruang lagi padanya untuk mengumpulkan dan membentuk pasukan lagi.
Akhirnya, kaum muslimin kembali meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda. Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak tentu arahnya.
Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia terbaik di muka bumi ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Artinya: “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Hr. Bukhari)
Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud dengan pertolongan Allah Ta’ala tatkala mereka beriman dengan keimanan yang hakiki.
Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya itu, keteguhan diatas ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan satu hal yang mutlak disamping perjuangan yang sarat dengan pengorbanan. (P011/R02)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)