Etab Hadithi pulang dari kantor, menaiki tangga yang gelap ke apartemennya di lantai lima di kota Idlib, Suriah barat laut. Terlihat pintu-pintu tetangganya yang terlantar dari daerah lain di negara perang itu.
“Yang ini dari Deir Ezzor, di sini dari Aleppo, yang ini dari Damaskus,” katanya kepada NPR, seraya berhenti untuk mengatur napas.
Pada hari Ahad, 15 Maret 2020, perang memasuki tahun ke-10. Konflik telah menggusur 6 juta warga Suriah secara internal, sementara jumlah yang hampir sama telah meninggalkan negara itu. Banyak pengungsi internal berbondong-bondong ke kota ini, yang tetap menjadi wilayah perkotaan, benreng terakhir bagi pasukan oposisi yang menentang Presiden Bashar Al-Assad. Selama perang, populasi provinsi Idlib meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 3 juta orang.
Bahkan di lingkungan kelas menengah seperti yang ditempati oleh Hadithi, listrik hanya tersedia dua jam sehari dan lift di gedungnya tidak berfungsi. Namun, dalam konflik yang lebih dari 100.000 warga sipil menjadi korban utama serangan oleh pasukan Suriah dan sekutu Rusia-nya, tempat itu adalah salah satu yang paling tidak dikhawatirkannya.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
“Kita semua menderita kekurangan air, listrik,” kata Hadithi, seorang ibu 41 tahun yang bercerai. Ia memiliki dua putra dan ia adalah penduduk asli Idlib.
Serangan udara Suriah dan Rusia yang intens ditambah pertempuran di darat, menyebabkan hampir satu juta warga sipil menyelamatkan diri ke perbatasan Turki awal tahun ini, mendorong Turki untuk menyerang pasukan Suriah.
Gencatan senjata yang disepakati bulan ini antara Turki dan Rusia sejauh ini telah berlangsung, tetapi beberapa warga Suriah yang terlantar yakin cukup waktu untuk kembali ke rumah, itupun jika mereka memiliki rumah yang tersisa untuk pulang.
Ekonomi Suriah telah runtuh karena perang dan sanksi, bahkan bagi mereka yang memiliki pekerjaan bagus, membayar listrik dari generator tetap tidak terjangkau.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Di ruang tamunya yang kecil, sebuah sofa merah dan coklat merapat ke dinding dengan cat yang mengelupas menempati setengah ruangan. Jamur tumbuh di langit-langit. Dia telah mencoba untuk membuat ruang tamu yang nyaman. Ia menggantung lukisan pemandangan di satu dinding dan menopang gitar tanpa string sebagai hiasan di sudut.
Di luar balkon kecil, ada lubang menganga di sebelahnya. Sudah ada di sana sejak bangunan itu diratakan oleh pengeboman dua tahun lalu. Tiga puluh lima orang terbunuh.
Setahun yang lalu, serangan lain menewaskan seorang gadis berusia 14 tahun, yang tubuhnya mendarat di luar pintu masuk gedung yang Hadithi tempati. Ketika itu Hadithi berlari keluar dalam gelap untuk menyelamatkan diri dari roket malam itu, dia dan yang lainnya secara tidak sengaja menginjak mayat gadis itu. Memori itu menghantuinya.
Hadithi dan putra-putranya khawatir mereka akan menjadi yang berikutnya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Itu hal yang sangat, sangat menyedihkan ketika putra saya berkata kepada saya, ‘Bu, saya tidak ingin mati’,” katanya. “Itu bukan hal yang mudah. Itu bukan hal yang mudah bagi seorang ibu.”
“Setiap kali kami mendengar rudal, kami tidak tahu di mana harus bersembunyi,” kata putranya yang lebih tua, yang berusia 16 tahun dan tidak mau menyebutkan namanya karena ia takut dengan pasukan pemerintah Suriah. “Kami berlari ke kamar kami dan meyakinkan diri kita bahwa kami bisa aman, tetapi kami tahu itu bohong. Rudal itu tidak menghancurkan satu ruangan. Itu menghancurkan segalanya.”
Remaja itu duduk di sofa mengenakan kaus biru. Ia di rumah karena sekolah-sekolah Idlib ditutup sebab serangan udara. Ditanya apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya, dia berkata, “Jika kami berhasil tetap hidup, insyaAllah, saya ingin menjadi dokter.”
Tidak ada listrik untuk belajar pada malam hari. Sekolah-sekolah sering tutup selama operasi pengeboman. Ketika mereka belun belajar, katanya, begitu matahari terbit di pagi hari, dia dan saudaranya lari ke balkon untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya sebelum ada kelas.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Sebagai seorang mantan kepala sekolah menengah, Hadithi sekarang bekerja di sebuah organisasi bantuan Turki bernama Orange, melatih para wanita bagaimana menemukan dana untuk proyek-proyek bisnis kecil dan melaksanakannya. Anak-anak lelakinya membagi waktu mereka antara rumahnya dan rumah ayahnya.
Di dinding ruang tamu, Hadithi telah menempelkan potret putranya yang lebih muda, yang berusia 10 tahun. Anak yang membuat wajahnya sedih ketika dia pergi dalam perjalanan kerja baru-baru ini ke Turki, dan bahagia ketika dia pulang.
Ketika dia berada di Turki, Hadithi mengatakan, ketika dia mendengar suara pintu dibanting, dia pikir itu adalah suara roket. Dia mendapati dirinya tidak dapat mengingat hal-hal normal, seperti cara kerja elevator atau cara membalik saklar untuk menyalakan ketel listrik.
“Bayangkan, saya memiliki dua gelar dalam sastra Inggris,” katanya. “Saya tidak bisa menggunakan lift, saya lupa cara menekan tombol. Hal terbaik yang saya lakukan adalah mandi. Ini adalah penderitaan setiap orang di Idlib.”
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Di rumah, air hanya mengalir satu hari sepekan, dan hanya empat jam. Untuk mandi, Hadithi memanaskan air dengan membakar arang dalam pemanas. Karena serangan roket yang sering terjadi, sistem kelistrikan gedung sering terputus. Mereka hanya bisa belajar untuk hidup tanpa listrik.
Saudara perempuan dan saudara lelaki Hadithi tinggal di Swedia dan Jerman. Karena dia tidak memiliki kerabat di Suriah, dia mengatakan bahwa buku novel adalah temannya, novel romantis seperti Wuthering Heights. Dia membaca novel favoritnya itu puluhan kali dalam bahasa Arab dan Inggris.
Ketika malam tiba, dia mengunci apartemen. Setelah listrik padam pukul 8 malam dan semuanya terjerumus dalam kegelapan, dia pergi tidur.
Dia bilang dia lelah tidur.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Saya benci malam,” katanya. “Tidak ada listrik, tidak ada suara, tidak ada orang. Itu bukan kehidupan.”
Hadithi bersandar di sofa, mengenakan mantel musim dingin dan syal berbunga menutupi rambutnya.
“Saya takut pada orang asing pertama-tama,” katanya. “Mungkin mereka akan merampok dan membunuhku. Saya takut dengan roket.”
Hadithi menunjuk ke lampu strip murah yang dinyalakan dengan baterai di dinding. Itu sudah rusak. Ia menangis saat dia berbicara tentang hidupnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Kau tahu, saya memperbaikinya sudah empat kali,” katanya, mulai menangis. “Ini bukan kehidupan.”
Hadithi mengatakan, dia kehilangan pekerjaannya di sekolah pemerintah Suriah enam tahun lalu karena pendapat politiknya, meskipun dia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Menemukan pekerjaan setelah itu tidak mudah.
“Itu adalah tantangan besar,” katanya. “Saya mencari dan mencari pekerjaan dan akhirnya saya berhasil.”
Salah satu saudara laki-lakinya mendekam di penjara pemerintah Suriah. Dia mengatakan, salah satu keponakannya ditangkap pada usia 14 tahun dan telah menghabiskan tujuh tahun terakhir di penjara.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Dalam masyarakat konservatif Idlib, di mana wanita cenderung tinggal di rumah, Hadithi adalah wanita profesional independen yang jarang ada, yang bekerja dan mengendarai mobil. Dalam saat-saat optimisnya, dia suka berpikir dia memberikan contoh bagi wanita Suriah lainnya.
“Ketika saya ingin mengendarai mobil saya, semua orang menatap saya,” katanya. “Tapi saya tidak peduli dengan semua orang. Setelah saya melakukan ini, wanita lain melakukannya. Dan kemudian wanita lain. Dan saya tidak peduli dengan siapa pun. Saya harus kuat. Saya harus kuat.” (AT/RI-1/P1)
Sumber: npr.org
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara