Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dengan ditandatangani sekaligus diterbitkannya Perpres tersebut, Presiden berharap agar pendidikan karakter dapat berjalan baik di sekolah-sekolah umum maupun pesantren dan madrasah.
Perpres ini disiapkan berdasarkan masukan-masukan dari pimpinan-pimpinan ormas yang ada. Semuanya memberikan masukan sehingga Perpres ini betul-betul sebuah Perpres yang komprehensif. Kepala Negara memastikan, Perpres tersebut akan segera ditindaklanjuti dengan membuat petunjuk pelaksanaan dan teknis sehingga dapat betul-betul diterapkan di lapangan.
Menurut Presiden, Perpres ini juga memberikan payung hukum bagi menteri, gubernur, bupati, dan wali kota dalam menyiapkan anggaran untuk penguatan pendidikan karakter baik di madrasah, sekolah, dan di masyarakat.
Untuk mengetahui sejauhmana pandangan dan langkah nyata Kementerian Agama (Kemenag) tentang strategi dan implementasi Perpres tersebut, berikut wawancara Tim Humas Kementerian Agama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Dirjen Pendis kemenag) Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, yang dikutip Mi’raj News Agency (MINA), Selasa (12/9).
Posisi Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam, apakah ini menguatkan atau melemahkan? Kalau memang ada, poinnya apa?
Kamaruddin: Kementerian Agama (Kemenag) terlibat secara sangat intensif dalam menyusun (drafting) Perpres tersebut, kami terlibat dari awal sampai akhir. Sejumlah usulan Kemenag diakomodasi dalam Perpres. Saya lihat, Perpres ini sangat bagus dan juga sangat kontributif dalam pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan Islam.
Kita sangat mengapresiasi Perpres ini, menurut saya sangat arif, sangat bijak, dan juga memberi peluang serta kesempatan yang sangat luas baik kepada lembaga Islam maupun pengembangan pendidikan karakter. Seperti kita ketahuai, Perpres ini penguatan pendidikan karakter, jadi bukan tentang hari sekolah, tapi penguatan pendidikan karakter. Dan menurut saya, lembaga pendidikan Islam secara sangat equal diberi ruang yang sama dengan sekolah, jadi tidak ada bedanya sama sekali, sudah sangat akomodatif dan setara, pendidikan Islam dan pendidikan umum.
Jadi, treatment-nya tidak ada bedanya sama sekali. Peraturannya, regulasinya di berlakukan sama. Dan yang paling positif dan yang paling menguntungkan kita, lembaga pendidikan Islam itu adalah hari sekolah tidak diatur, dalam artian tidak diharuskan 5 hari. Jadi bisa 5 hari, bisa lebih, sifatnya opsional dan itu ditentukan oleh satuan pendidikan. Jadi, yang menentukan mau 5 hari atau 6 hari, itu adalah lembaga pendidikan, dalam hal ini madrasah atau sekolah atau pondok pesantren atau seluruh lembaga pendidikan Islam. Dengan melihat, memperhitungkan kemampuan sarana-prasana, ketersediaan SDM dan juga memperhatikan masukan dan saran dari tokoh masyarakat, agama, dan juga komite sekolah.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Jadi, sangat fleksibel. Perpres ini menetapkan arah pengembangan pendidikan karakter sesungguhnya. Jadi apa itu pendidikan karakter, siapa yang harus melaksanakan, bagaimana pelaksanaannya, siapa yang terlibat dan lain sebagainya. Itu diatur Perpres ini, menurut saya Perpres ini sebuah instruman regulasi yang sangat kontributif, yang sangant direktif untuk mewujudkan pendidikan karakter yang baik dalam lembaga pendidikan.
Bisa jelaskan, terkait dengan apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam konteks ini, penguatan apa yang dilakukan? Apakah dalam sisi kurikulumnya?
Kamaruddin: Pendidikan karakter, dijelaskan dalam Perpres itu meliputi bagaimana menggali potensi anak, mengarahkan untuk olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga. Dimensi itu, untuk bisa mewujudkan anak didik yang memiliki integritas, religiusitas, nasionalisme, gotong-royong, kemandirian, menghargai prestasi, tepat waktu dan sebagainya. Kira-kira seperti itu yang akan dikembangkan di lembaga pendidikan dengan tiga wadah sarana; yaitu intrakulikuler, ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler.
Kalau intrakulikuler, kurikulumnya, disitu pendidikan karakter harus mencakup, memuat, memungkinkan untuk mengembangkan karakter yang tadi itu. Bagaimana anak-anak itu melalui kurikulum memiliki integritas, sebagaimana anak-anak itu memiliki paham dan sikap karakter religius, nasionalis, menghargai perbedaan, menghargai keragaman, kreatif, kritis dan sebagainya. Jadi, lewat kurikulum itu lewat intrakulikuler itu diasah.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Selanjutnya, selain ada intrakurikuler itu dikembangkan ada ko-kurikuler yang mendukung intrakurikuler. Di situ juga selalu berinteraksi dengan pengembangan karakter, bukan hanya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa dari sisi pengetahuan saja bukan, tapi bagaimana karakternya bisa dibangun dengan, misalnya menggali potensi diri anak, menumbuhkan rasa ingin tahu, menumbuhkan data kritisme anak-anak. Kemudian dengan pengetahuannya, dia mencintai bangsa, sadar tentang kewarganegaraannya, juga sebagai makhluk yang beragama, punya sikap religiusitas dan seterusnya. Kira-kira seperti itu, baik intrakurikuler, ko-kurikuler dan ekstrakurikuler.
Bentuk aktifitas kegitannya apa?
Kamaruddin: Ko-kurikuler misalnya ada pelajaran tambahan yang bertujuan untuk menguatkan kurikulum tadi itu, menguatkan pelajaran intrakurikuler, tujuannya itu. Tetapi, juga tetap harus disiapkan pendidikan karakter di situ. Nilai kejujuran, nilai integritas, nasionalisme itu selalu ada dalam aktifitas itu. Bagaimana anak-anak itu mencintai Pancasila, sadar bahwa dirinya itu warga negara yang notabenenya adalah mencintai agama, Pancasila. Dia religius, nasionalis, gotong-royong, punya kemandirian, semua bentuk mulai dari intra, ekstra atau ko-kurikuler. Nah, ekstranya itu kegiatan-kegiatan di luar intra atau ko kurikuler yang bersifat di luar tadi.
Mungkin pengembangan minat bakatnya, mengikuti kegitan-kegitan lain yang sifatnya mengasah potensi diri anak. Melihat kecenderungan potensi diri anak itu seperti apa, nah itu di ekstrakurikuler. Jadi, lewat itu kemudian karakter ini di kembangkan di lembaga pendidikan.
Tentu ini kan berimplikasi terhadap kurikulum. Apakah ada perubahan kurikulum yang telah berjalan selama ini?
Kamaruddin: Pertama, kita merevitalisasi muatan kurikulum yang sudah ada dan yang paling berkompeten pendidikan karakter ini guru dan juga kepala sekolah yang bertanggungjawab. Jadi di Perpres itu juga di jelaskan, siapa pelaksana dari Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ini, yaitu kepala sekolah dan juga guru. Nah guru ini, mereka harus diberikan pengembangan berkelanjutan, mereka harus terus menerus dilatih, (sehingga) mereka bisa menterjemahkan PPK ini.
Karena sebagus apapun konsepnya, kalau yang mengesekusinya tidak kompeten, akan tidak profesional, jadi itu pertama. Guru selaku eksekutor ini bisa memberikan makna, muatan, mengarahkan, menjelasakan, menghubungkan antara kurikulum yang ada dengan orentasi pembinaan karakter ini. Kurikulum 2013 sesungguhnya sudah mengarah ke situ, jadi kurikulum 2013 sudah mengarah ke pendidikan karakter, lagi-lagi gurunya yang diarahkan ke situ. Jadi bagaimana konsep PPK ini, diterjemahan untuk sampai ke kurikulum yang sudah ada.
Disamping itu, khusus di Kementerian Agama ini, PPK ini bentuknya; pertama, kita akan menambahkan mata pelajaran dan juga buku yang terkait dengan pendidikan karakter, yaitu buku tentang atau mata pelajaran atau bidang studi multikultural, jadi kita akan memberikan tambahan pelajaran tentang multikutural.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
Nanti itu bisa satu bidang studi diinsert (dimasukkan) ke pendidikan agama. Wawasan tentang multikutural itu akan kita berikan di madrasah. Kemudian pendidikan tentang korupsi, ini dalam rangka mendukung, meningkatkan, salah satu karakter yaitu, integritas. Integritas ini juga menjadi poin yang sangat penting, kita sedang mendesain, memfinalkan pendidikan anti korupsi di lembaga kita.
Nanti bentuknya sama saja ya, pengajaran andragogisnya?
Kamaruddin: Ya, itu teknisnya saja. Bukan hanya ceramah sebenarnya, tapi aktive learning, jadi berpusat pada siswa. Lagi-lagi kembali kepada guru, bagaimana ia dapat menciptakan suasana kondusif, di mana siswa-siswi bisa menjadi sangat aktif. Bagaimana siswa berorientasi dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, kritisme, digali pontensi dirinya, jadi berpusat kepada siswa tadi.
Perpres ini dilihat dari bahasanya sangat umum, satu sisi itu membuat kita kreatif melakukan pengajaran-pengajaran, tapi dalam satu sisi banyak hal yang tidak diatur. Misalnya, kalau Kemendikbud membuat aturan (turunan) tersendiri, kalau dari Kementerian Agama, apakah akan ada turunan peraturan yang kongrit?
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Kamaruddin: Jadi, di Perpres itu sebenarnya juga disampaikan bahwa hal-hal yang terkait dengan hal ini kementerian dalam bidang pendidikan dan juga kementerian dalam bidang agama, nanti ada tema khusus terkait dengan pendidikan karakter dengan pendidikan Islam. Ini juga yang sedang kita draft (susun). Kita buat sebagai turunan dari Perpres tersebut. Kementerian Agama spesifik dengan pendidikan Islam itu ada desainnya yang kita buat, mengelaborasi yang lebih operasional terkait dengan pendidikan karakter ini.
PPK, ada tidakah partisipasi dengan melibatkan Madrasah Diniyah. Apakah ada keterlibatan Madrasah Diniyah secara kelembagaan?
Kamaruddin: Madrasah Diniyah ini khusus untuk pendidikan agama, dan siswa-siswanya dan santrinya hampir semua dari sekolah bukan madrasah, karena di madrasah sudah belajar agama. Jadi seluruh lembaga pendidikan baik formal dan non formal sama-sama mengembangkan pendidikan karakter. Berorientasi pengembangan karakter dengan madrasah diniyah dengan kekhasannya. Sekolah juga dengan kekhasan karakternya, seluruhnya. Itu diamanahkan, semua lembaga pendidikan baik formal atau informal, sama-sama mengembangan pendidikan karakter. Bahwa nanti kerjasama sangat memungkinkan dan produktif sangat tepat yaitu madrasah dengan sekolah.
Pendidikan agama itu salah satu instruman pendidikan karakter, bukan satu-satunya. Pendidikan agama inilah yang akan kita maksimalkan. Pendidikan agama di sekolah itu tidak cukup pasti ditambah, cara menambahnya dengan kerjasama dengan madrasah diniyah. Menurut saya, sangat produktif jika kerjasama antar lembaga itu dilakukan.
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Kalau seandainya sekolah membuat kebijakan bersama dengan komite, tentang 5 hari sekolah tapi tidak mengajak madrasah diniyah, apakah akan berdampak?
Kamaruddin: Betul, oleh karena itu pentingnya mendengarkan pendapat masyarakat dan tokoh masyarakat yang ada di situ dan juga harus berkoordinasi dengan pengampu pendidikan agama maupun dinas pendidikan. Kalau untuk sekolah dengan dinas, madrasah dengan Kementerian Agama. Jadi harus berkoordinasi, tidak semena-mena juga kepala sekolah menentukan kebijakan (terkait jumlah hari sekolah), seorang kepala sekolah harus berkoordinasi dengan banyak pihak.
Di situ pentingnya, makanya poin tentang tokoh agama itu, kemarin (saat menyusun perpres) kita diskusi cukup serius. Kami sangat meminta, bahwa mendengar para tokoh agama itu penting, karena kekhawatiran itu tadi. Jangan sampai kepala sekolah dengan secara sepihak memutuskan 5 hari sekolah. Tapi saya tidak pesimis, saya optimis, karena menurut saya, pendidikan agama ini salah satu di antara instrumen pendidikan karakter yang paling efektif. Tentu nilai religiulitas bisa dari pendidikan agama, nasionalisme juga bisa dari pendidikan agama, integritas apalagi. Itu bisa merevitalisasi nilai-nilai agama
Oleh karenanya, madrasah diniyah akan menjadi lembaga yang bisa menjadi pemeran utama, dan bisa berkontribusi fundamental dalam pendidikan karakter itu, bukan justru mematikan. Karena kalau dimatikan, terus sarana pengembangan karakternya apa? Jadi menurut saya, pengembangan karakter yang tidak merujuk atau berorientasi pada pendidikan keagamaan itu tidak akan sempurna.
Apakah sudah ada sistem pendidikan agama yang baru lagi selain madrasah diniyah atau pesantren?
Kamaruddin: Pendidikan agama di sekolah sangat minim, jangankan untuk pendidikan agama, berorientasi perkembangan karakter, untuk pemahaman keagaamaan sendiri itu dengan dua jam kan minim. Jadi begini, agama itu ada dua fungsinya. Pertama, dengan belajar agama anak-anak diharapkan bisa memahami agamanya yang menyebabkan dia menjadi agamawan yang baik, hubungan dengan Tuhan untuk membentuk pribadi menjadi saleh. Kedua, dengan pendidikan agama, anak-anak bisa menjadi instrumen kohesi sosial, bisa menghargai orang lain dan agama bisa memahami perbedaan dan bisa menghargai pluralitas. Dua fungsi ini harus direvitalisasi di pengajaran agama itu. Nah, kalau hanya dua jam saja, pasti tidak cukup.
Jadi menurut saya, sangat naif kalau pendidikan agama terdegradasi, sementara kita Perpres ini kan mengatur penguatan pendidikan karakter. Menurut saya, salah satu di antara yang paling penting adalah peningkatan pemahaman agama itu sendiri. Seharusnya perpres ini sangat berpotensi menumbuhkan atau merevitalisasi pendidikan dan pengajaran keagamaan di lembaga pendidikan.
Selain madrasah, PPK juga diharapkan efektif melalui pendidikan di pondok pesantren. Berbeda dengan madrasah, di mana Kementerian Agama memiliki kewenangan direktif. Strategi atau formula seperti apa untuk menerjemahkan Perpres ini di pondok pesantren?
Kamaruddin: Ini sebenarnya sejalan dengan visi kami, dan apa yang sedang kita lakukan. Saat ini, kita sedang melakukan pola standardisasi pondok pesantren. Pesantren di Indonesia akan kita standardisasi Kementerian Agama dengan lembaga pendidikan pesantren itu secara intitusi sangat konektif. Karena pertama, pesantren itu kan izinnya dari Kementerian,kemudian ada bantuan-bantuan pembinaan dari Kementerian Agama, mulai dari regulasi, bantuan sarana dan prasarana serta peningkatan SDM tentunya.
Ini semua harus dikapitalisasi untuk penguatan pendidikan karakter. Sekarang kita sedang melakukan standardisasi, mengidentifikasi seluruh kitab-kitab yang dibaca di pesantren. Dalam waktu dekat, Kemenag akan mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal (pendidikan) di pondok pesantren. Mulai dari kitabnya, kitab apa saja yang minimal dibaca di pesantren itu. Nanti ada SK menterinya juga.
Nah ini yang sedang proses ke sana. Jadi, kita bukan menyeragamkan atau mengakreditasi pesantren, tidak, karena pondok pesantren merupakan pendidikan non formal, tapi melakukan standardisasi. Lewat itu, saya kira, Kemenag nanti bisa, dalam PMA tentang Penguatan Pendidikan Karakter nanti juga akan mengatur tentang itu. Kita akan buat PMA nya, dan tentu mengatur bukan hanya madrasah tapi juga di pondok pesantren, dan tentu ada turunan SK Dirjennya yang lebih detil lagi akan mengatur bagaimana PPK di pondok pesantren, dan tentu mengadaptasi kondisi riil di pondok pesantren tersebut.
Bisa dijelaskan waktu menterjemahkan substansi dan tujuan Perpres dalam kerangka regulasi dan operasionalnya?
Baca Juga: Wawancara dengan MER-C: Peran dan Misi Kemanusiaan MER-C di Afghanistan
Kamaruddin: Kita berusaha tahun ini, Desember atau awal tahun depan sudah ada sampai ke surat Keputusan Dirjen. Jadi ini saya kira salah satu tantangan kami di Kemenetrian Agama khususnya di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam untuk menurunkan (Perpres) ini secara operasional di dalam lembaga pendidikan.
Ada yang berpendapat, pendidikan karakter di sekolah/madrasah itu tidak hanya semata sistemnya, tetapi juga seorang anak itu butuh contoh atau role model. Mungkin ada imbauan yang disampaikan Kemenag kepada guru agama untuk bisa memberikan contoh yang baik kepada anak-anak?
Kamaruddin: Jadi, saya setiap bicara di hadapan para guru selalu menyampaikan bahwa pendidikan itu bukan hanya untuk mencerdaskan saja, tapi pendidikan itu adalah pembentukan karakter melalui keteladanan, mengasah potensi diri, bagaimana guru bersama murid menemukan jati diri atau menemukan potensi anak dan juga menumbuhkan rasa ingin tahunya tentu dengan cara-cara keteladanan.
Jadi memang, sudah lama di madrasah dan lembaga pendidikan kita secara umum proses belajar di madrasah itu tidak lagi hanya ceramah tapi juga di penguatan pendidikan karakternya. Bahkan di madrasah, kita sedang menuntaskan juga buku pedoman oprasional praktis. Misalnya, jam pertama anak-anak masuk sekolah apa yang harus dilakukan misalnya baca doa, praktek dan lainnya. Jadi dalam beberapa bulan ke depan ini, saya kira isu sentral yang akan menjadi diskusi kita, ya pembentukan karakter ini. Termasuk secara operasional, tidak hanya teori dan konseptual saja lagi, tetapi bagaimana itu implementatif.
Apa yang dilakukan Kemenag untuk mengkampanyekan PPK ini?
Kamaruddin: Ya pastinya, kita sesungguhnya mempunyai potensi yang fragmentif, itu harus kita kapitalisasi dan kumpulkan potensi SDM tersebut. Kongkritnya seperti apa ini sedang kita kerjakan. Tapi sekali lagi memang harus diketahui bahwa kami sedang belum tuntas merumuskan, masih sedang kerja dan saya kira semoga dalam waktu dekat akan final dan akan menjadi produk yang bisa dipedomani oleh seluruh masyarakat.
Untuk sisi sekolah, pendidikan karakternya dikuatkan melalu agama, bisa melalui keikutsertaan peserta didik di sekolah umum belajar agama madrasah diniyah. Lalu bagaimana dengan pendidikan agama di pesantren yang sejati kesehariannya mendalami ilmu agama?
Kamaruddin: Iya betul, jadi maksudnya pendidikan agama itu kan tidak hanya membuat orang paham tentang agama dalam artian dia menjadi saleh, tapi bagaimana pendidikan agama ini bisa di revitalisasi. Agama itu rasional, banyak sekali narasi otentik yang bisa dirujuk untuk menunjukan bahwa agama itu sangat rasional.
Sebagai umat Islam, lebih baik menyekolahkan anak ke madrasah atau ke sekolah umum. Menurut pak Dirjen?
Kamaruddin: Tentu kita serahkan semua kepada masyarakat, karena semua punya ke-khassan dan kelebihan. Kita sekarang selaku penyelenggara pendidikan ditantang untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Dari situ, nanti masyarakat sendiri yang akan memilih, yang jelas madrasah ini sebagai sekolah plus karena kurikulumnya 100% Kemendikbud 100% Kemenag. Itu hak sepenuhnya masyarakat, kita tidak berhak memaksa. Kita hanya meningkatkan mutu dan kualitas madrasah kita.
Kalau Anda lihat di madrasah negeri saat ini, rata-rata kita hanya menerima 20-30%. Jadi antusiasme masyarakat untuk belajar di lembaga pendidikan Islam itu sudah sangat tinggi, dan (madrasah) bukan lagi pilihan masyarakat bawah, khususnya di madrasah negeri.
Untuk menerapkan pendidikan karakter ini, kira-kira tantangan dan kendala apa yang akan ditemukan?
Kamaruddin: Tentu ada, termasuk tantangan di kapasitas SDM kita. SDM kita selaku eksekutor pertama ini kepala sekolah dan guru, tentu masih punya tantangan, karena terkait dengan kapasitas. Jadi menurut saya, tantangan yang pertama itu SDM. Berikutnya tentu sarana dan prasarana, kalau komitmen, konsep saya kira sudah cukup lah. Instrumen untuk mencapai konsep itu tantangannya di situ. Oleh karena itu, saya kira pemerintah sudah sangat clear sekali tentang perkembangan SDM ini, dan ini masih butuh proses dan waktu. (R/R09)
Mi’raj News Agency (MINA)