Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA
Alkisah, Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim Alaihis Salam, ditinggalkan berdua dengan bayinya, Ismail, di tengah padang pasir gersang. Siti Hajar membuka tas kulit berisi kurma yang ditinggalkan suaminya, lalu memakannya. Beberapa teguk air dari kantong pun ia minum. Baru sebentar, rasa haus kembali merongrong tenggorokannya. Maklumlah, ia masih menyusui putranya.
Hari bertambah, suhu Arab semakin panas, persediaan makan dan minum pun telah habis. Kemampuan menyusui sang bayi pun semakin menurun. Lama-kelamaan persediaan air susunya habis. Sementara si bayi menjadi rewel, menangis, dan terus meronta meminta air susu ibunya.
Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga
Tak tahan mendengar tangis anaknya, Siti Hajar bangkit dari tempatnya, meninggalkan bayinya sendirian, demi mencari pertolongan. Barang kali saja ada rombongan kafilah yang akan melewati Makkah kala itu. Sambil ia mencari kalau-kalau ada sumber mata air di padang tandus itu.
Dilihatnya seperti air di sebuah bukit, yang kemudian dikenal dengan Shafa. Ia berlari ke sana. Ternyata itu hanya fatamorgana di tengah terik panas padang pasir.
Dilihatnya lagi di sebuah bukit di ujung lainnya, yakni Marwah, tampak ada danau air. Setelah terhuyung-terhuyung tergesa-gesa menuju ke sana, yang jaraknya sekitar 450 meter, ternyata pun fatamorgana. Begitu sampai tujuh kali 450 meter atau sekitar 3,15 km ia bolak-balik Shafa-Marwah demi mencari seteguk air.
Mengeluhkah dia? Tidak. Dia meyakini pertolongan Allah pasti akan datang. Tugasnya hanyalah berusaha dan berusaha, berjuangan dan berjuang. Ia ikhlas menjalaninya, seikhlas ketika melepas kepergian suaminya yang meninggalkan mereka berdua di padang itu atas kehendak Allah.
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri
Akhirnya, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah memberikan rezeki berupa sumber mata air zamzam yang muncul dari bawah telapak kaki Ismail. Siti Hajar dan Ismail pun menikmati air minum zamzam.
Allahpun mengabadikannya di dalam firman-Nya,
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨)
Artinya : ” Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah Maka barangsiapa yang beribadat haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 158).
Kini, jutaan jamaah haji setiap tahun dan jamaah umrah sepanjang bulan, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar melalui ritual Sa’i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dalam satu kali umrah.
Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak
Kekuatan akidah, kesabaran jiwa, ketawakalan hati, kekuatan mental, dan segala keutamaan yang tersemat pada sosok Siti Hajar, adalah teladan bagi kita, terutama bagi kaum Muslimah. (RS2/RS3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman