Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah: Analisis Pemikiran Wali Al-Fattah (Oleh: Dr. Makmun Muhammad Shaleh, MA.)*

Oleh: Dr. Makmun Muhammad Shaleh, MA.; Dai AlFatah Alumni Universitas Sains Islam Sudan

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada memper sekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 55)

Pasca keruntuhan dinasti usmaniyah pada tanggal 3 maret 1924 M oleh Mustafa kamal at-turk mendapat reaksi dikalangan kaum muslimin baik dari kalangan ulama, akademesi, tokoh pergerakan dan juga umat islam. Reaksi tersebut adalah wajar, sebab selama kurang lebih 13 abad lamanya kaum muslimin dibawah sistem dengan kepemimpinan sentral mulai dari masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sampai masa dinasti Usmaniyah.

Istilah kepemimpinan dalam islam disebut Khilafah, Imamah atau Imarah secara umum memiliki kesamaan dalam makna yaitu kepemimpinan tertinggi bagi umat islam. Hukum mengangkatnya adalah wajib baik secara dalil naqli , ‘aqli begitu juga ijma. Upaya upaya untuk mengembalikan sistem khilafah sebagai kepemimpinan tunggal bagi umat islam dari sejak awal keruntuhannya sampai hari ini terus menjadi persoalan dikalangan umat islam. Pada umumnya para ulama berpendapat akan wajibnya sistem khilafah sebagai bentuk kepemimpinan tunggal bagi umat Islam, namun terjadi perbedaan dalam cara dan metode menegakkan kembali khilafah. Perbedaan ini karena berbedanya pemahaman bahwa pada satu sisi khilafah dianggap sebagai hasil produk politik kekuasaan dan pada sisi lain institusi khilafah adalah bagian dari syariat itu sendiri. Dengan adanya perbedaan ini maka muncullah bermacam cara untuk mengembalikan sistem kekhilafahan.

Upaya umat Islam mengembalikan kekhilafahan

Dihapuskannya sistem kekhilafahan di dunia Islam langsung mendapat reaksi di kalangan umat Islam. Misalnya di Palestina, Syarif Husain mengajak sekelompok kecil pengikutnya untuk menunjuk dirinya sebagai Khalifah pada tanggal 5 Maret 1924, persis dua hari setelah penghapusan system Khilafah Turki Utsmani. Selanjutnya salah seorang pemikir Islam yang cukup serius dan banyak mencurahkan perhatiannya tentang Khilafah dan memikirkan perlunya di hidupkan kembali lembaga tersebut bagi dunia islam adalah Muhammad Rasyid Ridho. Ia mengusulkan kepada pemerintah Negara Turki agar masalah kekuasaan di Negara Turki setelah di adakan perdamaian agar kembali membicarakan masalah khilafah. Usul Rasyid Ridha tidak mendapat tanggapan positif dari pada penguasa Turki.

Sikap inilah yang menyebabkan gagasan untuk mengadakan kongres Khilafah pada bulan Mei 1926. Kemudian beberapa minggu setelah kongres di Kairo diadakan juga kongres Islam se dunia di Makkah pada bulan Juni 1926.

Di kalangan akademisi usaha untuk mengembalikan sistem khilafah sebagai kepemimpinan tunggal bagi umat Islam dilakukan di univestas al-Azhar, sebagai reaksi terhadap dihapusnya kekhilafahan maka para ulama yang mengajar di al-Azhar pada tanggal 10 Maret 1924 mendirikan semacam perkumpulan yang khusus membahas masalah kekhilafahan. Terpilih sebagai ketua pada waktu itu adalah Syaikh Ali Ahmad al Jarjawi dengan anggota 40 ulama al-Azhar.

Di Indonesia, persoalan keruntuhan khilafah menjadi perhatian serius

Sebagai sambutan terhadap rencana kongres khilafah di Mesir bulan Maret 1925, maka di dirikan komite khilafah di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924. Selanjutnya bulan Desember 1924 di adakan kongres khilafah di Surabaya. Dalam kongres tersebut memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo. Kemudian pada bulan Februari 1926 di adakan kongres di Bandung dan memutuskan untuk mengirim utusan mengikuti kongres khilafah di Makkah pada tahun 1926 atas undangan raja Ibnu Sa’ud.

Usaha yang dilakukan untuk mengembalikan system khilafah sebagai kepemimpinan tunggal bagi umat Islam selalu gagal. Oleh karenanya memahami sistem khilafah yang sesuai dengan pengamalannya pada masa awal hendaknya kita kembali ke pada manhaj (metode) yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan khulafa’ ar-rasyidin al-mahdiyyin. Hal tersebut telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang fase kepemimpinan Umat Islam.

عن حذيفة بن اليمان -رضي الله عنه- عن النعمان بن بشير -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافةعلى منهاج النبوة. ثم سكت) رواه أحمد

Dari Nu’man ibn Basyir RA berkata: Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” HR. Imam Ahmad.

Berdasarkan hadist tersebut dengan takdir dan kehendak Allah SWT bahwa akan terjadi lima fase kepemimpinan sebagaimana yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Fese an-Nubuwwah: Periode ini berlangsung sekitar 23 tahun, sejak diangkatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjadi nabi dan Rasul hingga wafatnya. Pada periode Nubuwwah selama 13 tahun Rasulullah berada di Makkah, Rasulullah mendakwahkan kaum Quraisy untuk beriman kepada Allah. Kemudian atas perintah Allah beliau diperintah untuk berhijrah ke Madinah.

Setelah berhijrah ke Madinah perkara pertama yang ditegakkan oleh beliau adalah syi’ar-syi’ar solat. Ini difahami melalui langkah pertama beliau membina masjid Nabawi diikuti seruan azan. Selanjutnya Rasulullah mempersaudarakan kaum anshar dan muhajirin. Seterusnya berlaku pula perjanjian keamanan dengan golongan bukan Islam sehingga akhirnya di Madinah tercipta suatu masyarakat yang pola pembinaan berdasarkan wahyu Allah.

Fase khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang mengikuti pola kenabian). Peroide ini berlangsung selama 30 tahun dimulai dari khalifah Abu bakar as-Shiddiq hingga khalifah Ali ibn Abi Thalib. Tentang peride ini sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:

عن أبي بكرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: خلافة نبوة ثلاثون عاما ثم يؤتي الله الملك من يشاء  فقال معاوية: قد رضينا بالملك . (أخرجه البيهقي

Dari Abi Bakrah berkata; saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: khilafah Nubuwwah selama 30 tahun, kemudian Allah mendatangkan kerajaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Mu’awiyah berkata; “Saya lebih senang dengan sebuatan Raja” (HR. Al-Baihaqi).

Pada masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khulafa ar-rasyidin) pusat (markaz) khalifah ada di Madinah.

Fase Mulkan Adhdhan (kerajaan Yang menggigit). Periode ini pada masa Dinasti Umayyah. Raja pertama yaitu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah merupakan pendiri pertama kerajaan Umayyah. Disebut sebagai sistem kerajaan karena Mu’awiyah sendiri menyebut dirinya sebagai raja. Ada juga yang mengartikan bahwa kata Adhdhan atau Udhudh ialah bahwa pada masa Dinasti Umayyah masih sangat kuat berpegang pada Al-Qur’an dan al-Hadist.

Dengan melihat pola pengangkat kepemimpinan yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan beberapa raja sesudahnya, maka dapat pula dikatakan makna Adhdhan dalam kontek kekuasaan bermakna mempertahankan kekuasaan secara turun temurun. Mu’awiyah adalah raja pertama dalam Islam yang menggunakan wasiat kepada keturunannya untuk meneruskan Kekuasaanya. Bahkan cara ini dilakukan pula oleh raja-raja sesudahnya (Ibrahim, 2002).

Fase Mulkan Jabbariyah (Kerajaan yang sombong), Periode ini dimulai dari masa Dinasty Abbasiyah hingga runtuhnya Dinasti Ustmaniyah pada 3 Maret 1924, yang merupakan runtuhnya sistem kepemimpinan tunggal di tengah umat Islam.

Adapun dasar pemikiran memasukkan dinasti Abbasiyah dan Dinasti Ustmaniyah sebagai fase Mulkan Jabbariyah sebagai berikut:

  1. Proses dalam memperoleh kekuasaan

Para sejarawan mencatat bahwa Dinasti Abbasiyah dalam merebut kekuasaan dengan cara meruntuhkan penguasa sebelumnya dalam bentuk propaganda dan revolusi kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari Wasiat Abi Hasyim kepada Muhammad bin Ali untuk menggulingkan pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah) (Yusuf Al-Isy, 1980:207).

  1. Desintegrasi Kekuasaan

Pada periode dinasti Abbasiyah, banyak kerajaan kerajaan kecil yang berkuasa penuh, namun demikian kerajaan-kerajaan kecil tersebut masih mengakui Kerajaan (Dinasti) Abbasiyah. Misalnya pada masa pemerintahan al-Makmun berdiri Dinasti Thahiry (820-872 M), Dinasti Saffariyah (867-903 M) didiran oleh Ya’kub ibn al-Laist. Dinasti Samaniyah (875-1004 M). Begitu juga pada masa Harun ar-Rasyid berdiri beberapa Dinasti yaitu Dinasti Idrisiyah (789-926 M) yang beraliran Syi’ah. Dinasti Aghlabiyah (800-909).

Pada masa Dinasti Abbasiyah, muncul pula dinasti dinasti lain yang membangun kekuasaan terpisah-pisah, meskipun tidak sepenuhnya melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad, seperti Dinasti Fathimiyah (358-567H/969-1171 M). Dinasti Touluniyah (254-292 H/ 868-905 M) di Mesir (Ibrahim, 1965:65). Pada masa ini Abbasiyah merupakan pusat kerajaan yang menaunggi kerajaan kecil hanya menerima semacam jizyah dan beberapa kerajaan harus tunduk terhadap ketentuan Dinasti Abbasiyah.

  1. Pemberian gelar yang berlebihan

Pada periode ini para raja menggunakan gelar-gelar sebagai yang menggambarkan kebesaran/kesombongan. Misalnya as-Shaffah (penumpah darah) gelar yang diberikan kepada Abul ‘Abbas raja pertama Dinasti Abbasiyah, dalam khutbah penobatannyayang disampaikan sebelum nya di Masjid Kufah, abu al-Abbas menyebut dirinya sebagaias-Saffih (penumpah darah) (Bojena Gajane Sterzewka, 2000:49)

Al-Manshur (penolong) gelar bagi Abu Ja’far karena dianggap sebagai penolong demikian juga gelar-gelar terhadap raja sesudah itu. Hal ini dapat dilaihat dari ucapan Abu Ja’far al -Manshur:

إنما أنا سلطان الله فى أرضه

Bandingkan dengan ucapan Sahabat abu Bakar khutbah beliau setelah di Bai’at;

إن أحسنت فأعينونى وإن أسأت فقومونى

Kemudian ucapan Mu’awiyah Ibn Sufyan

رضينا بالملك

  1. Konflik internal dalam kerajaan: pada periode ini dari awalnya dinasti Abbasiyah sudah terjadi konflik internal puncaknya saling membunuh. Misalnya konflik antara Abu Ja’far al-Manshur dengan Abu Muslim, konflik antara al-Makmun dengan al-Amin. dimana masing masing pihak mengklaim yang berhak memegang jabatan dan merendahkan yang lainnya. Berdasarkan fakta sejarah yang dipaparkan di atas maka dapatlah dikatakan bahwa Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya berada pada fase Mulkan ‘jabbariyah (sombong) sebagai yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Jabbariyah (Kesombongan) yang dimaksudkan bukan pada individu melainkan sistem dalam merebut dan mendapatkan kekuasaan itu sendiri.

Kemudian ada juga yang memasukkan dinasti Abbasiyah dan Turki Ustmani pada periode Mulkan ‘Adhdhan. Alasannya adalah bahwa kedua kerajaan tersebut masih sangat kuat berpegang kepada nilai agama dan simbol keagamaan. Hal ini menurut hemat kami tidaklah salah dalam arti bahwa setiap periode kekuasaan dalam islam seperti yang digambarkan Rasulullah pasti menggunakan agama sebagai tolak ukurnya dan itu terjadi di kalangan umat Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda melalui dialog panjang dengan Huzaifah ibn Yaman yang mensifati kondisi sesudah beliau yaitu:

عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنهما قال: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت: يا رسُول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير شر قال: (نعم) فقلت: هل بعد ذلك الشر من خير.قال: (نعم وفيه دَخَن) قلت: وما دَخَنُه قال: (قوم يستنُّون بغير سنَّتي ويهدون بغير هديي تعرف منهم وتُنكر) فقلت: هل بعد ذلك الخير من شرقال: (نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها) فقلت: يا رسول الله صِفهم لنا فقال: (نعم قوم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا)قلت: يا رسُول الله فما تأمرني إن أدركني ذلك

قال: (تلزم جماعة المسلمين وإمامهم) فقلت: فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام. قال: (فاعتزِل تلك الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يُدركك الموت وأنت على ذلك) متفق عليه

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dia berkata: “Dahulu orang-orang biasa bertanya kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wassalaam tentang kebaikan, namun aku aku bertanya tentang keburukan karena khawatir ia akan menimpaku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wassalaam, dahulu kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, lalu AllAh mendatangkan kebaikan ini kepada kita, maka setelah kebaikan ini apakah ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya,’Aku bertanya, ‘dan apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?’Beliau menjawab, “Ya, tetapi padanya terdapat dakhan (kegelapan, kekeruhan). ’Aku bertanya, ‘Apa dakhannya? ’Beliau menjawab, “Suatu kaum yang memberikan petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengenal mereka, tetapi engkau mengingkari. ’Aku bertanya, ‘Maka setelah kebaikan ini apakah ada keburukan?’Beliau menjawab, “Ya, yaitu para da’i yang berasa di atas pintu-pintu jahannam. Barangsiapa menyambut mereka menuju Jahannam itu, mereka melemparkannya ke dalam Jahannam.”Aku berkata, “Wahai Rasullulloh shollallohu ‘alaihi wassalaam, jelaskan sifat mereka kepada kami!’ Beliau menjawab, “Mereka dari kulit kita. Mereka berbicara bahasa kita. Aku bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku, jika keadaan itu menimpaku?’Nabi Shallallahu ‘alahi wassalaam menjawab, “Engkau menetapi Jama’ah Muslimin dan imam mereka.”Aku berkata, ‘Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam?’Beliau bersabda, “TInggalkan firqoh-firqoh semuanya, walaupun engkau menggigit pokok pohon, sampai maut menjemputmu, sedangkan engkau dalam keadaan demikian.” HR. Bukhari, no 7084; Muslim, no. 1847

Hadist tersebut menjelaskan bahwa akan datang waktunya dikalangan umat islam (yang hidup sesudah Rasulullah dan Khulafa’ ar-Rasyidin) penyeru yang mengajak kepada neraka yang berbicara dengan bahasa dan simbol agama. Berdasarkan Hadist dari Nu’man ibn Basyir maupun Hadist Huzaifah Ibn Yaman tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah adalah kepemimpinan tunggal dan sentral. Kemudian para sejarawan baik di kalangan sejarawan Muslim maupun Orientalis pada umumnya berpendapat bahwa sentralisasi kepemimpinan bagi umat Islam berakhir dengan dihapusnya sistem kekhalifahan yang berbentuk mulkan yaitu Turki Ustmani pada tanggal 3 Maret 1924. Sejak dari umat Islam tidak memilki pemimpin tunggal. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa mulkan Jabbariyah berakhir seiring dengan berakhirnya Dinasti Ustmani.

Walaupun demikian tidaklah dipungkiri bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah maupun Dinasti Ustmaniyah umat Islam mencapai kemajuan pesat dalam berbagai bidang dan melahirkan ulama-ulama besar yang pemikiran dan tulisan mereka sampai hari ini dijadikan rujukan dalam berbagai bidang ilmu pengetahaun.Prestasi-prestasi besar yang pernah dicapai oleh umat islam pada masa dua dinasti tersebut maka peradaban islam mencapai puncaknya di berbagai belahan dunia.

Fase Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah: Fase ini mulai sejak ditetapi kembali Jama’ah Muslimin sebagai perwujudan kesatuan umat dan kesatuan pemimpin bagi Umat Islam. Dengan dihapuskannya Mulkan Turki Uthmani pada tahun 1924 M oleh Mustafa Kamal al-Taturk langsung mendapat reaksi dari umat Islam. Reaksi tersebut baik secara kolektif maupun individu. Munculnya reaksi tersebut tidak terlepas dari pandangan mayoritas umat Islam yang memahami bahwa menegakkan khilafah adalah wajib baik secara naqli maupun secara ‘aqli. Apalagi didukung oleh fakta sejarah, di mana umat Islam sejak masa Rasulullah saw, Khulafa’ al-Rasyidin dan diteruskan oleh Dinasti Umayyah, Abbasyiah dan Uthmaniyah selalu di bawah kepemimpinan tunggal. Sejarah juga mencatat terlepas dari kekurangan institusi khilafah, terutama sejak masa Dinasti Umayyah dan sesudahnya, telah mengantar umat Islam pada kejayaan dan memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban manusia.

Usaha-usaha untuk mengembalikan institusi khilafah di dunia Islam selalu mengalami kegagalan. Penyebabnya adalah karena adanya perbedaan pandangan dalam memahami persoalan khilafah, yaitu apakah masih relevan dengan perkembangan zaman atau tidak ? Di samping juga setelah runtuhnya khilafah, umat Islam lebih memilih partai-partai sebagai sarana dalam memperjuangkan Islam, akibatnya persoalan khilafah lambat laun dianggap persoalan biasa saja Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai seorang tokoh pergerakan Islam Indonesia berusaha untuk menegakkan kembali sistem khilafah di dunia Islam. Munculnya pemikiran Wali Al-Fattah tidak terlepas dari pandangannya dalam melihat kondisi umat Islam yang terus menerus berada dalam perpecahan dan terlibat dalam kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan umat Islam sulit disatukan kembali di bawah sistem khilafah. Dalam pemikiran Wali Al-Fattah untuk mengembalikan sistem khilafah di dunia Islam, umat Islam hendaknya kembali melihat metode perjuangan Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin. Di mana menurut Wali Al-Fattah hanya masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin sebagai suri tauladan yang terbaik bagi umat Islam dalam mewujudkan sistem khilafah, adapun masa setelah itu dianggap sudah berubah dan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kekuasaan.

Untuk mewujudkan pemikirannya menegakkan kembali sistem khilafah, menurut Wali Al-Fattah dengan melalui beberapa periode yaitu periode penggalian terhadap dalil-dalil qath’i selanjutnya periode publikasi dari pemikirannya dengan jalan shilaturrahim, maklumat-maklumat dan siaran pers. kemudian periode terakhir dalam bentuk realisasi secara konkrit mewujudkan sistem khilafah yaitu kembali kepada khilafah ‘ala minhaijin nubuwwah dalam satu wadah kesatuan yang disebut dengan al-Jama’ah. Maka sejak tgl 10 Dzulhijjah 1372 H/ 20 Agustus 1953 ditetapi kembali syariat khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Analisa pemikiran Wali Al-Fatah tentang khilafah ‘ala Minhajin an-Nubuwwah

Pemahaman Wali al_fatah tentang konsep khilafah meruju’ pada pola Nubuwwah, menurut beliau pola inilah ditempuh para khulafa ar-Rasyidin. Kekhilafahan bagi wali Alfatah bukan kekuasaan yang dibatasi oleh teritorial dan didapatkan dengan cara berpolitik, melainkan dengan berpijak pada al-quran dan as-sunnah bagaimana cara Rasulullah dan para khulafa0 ar-syidin dalam memimpin. Dalam pemikiran wali Al-fatah Rasulullah bukanlah pigur politik sebagai penguasa atau seorang raja. Pemikiran wali al-fatah ini tentunya punya landasan dan hasil dari penghayatan beliau dalam pengalamannya terjun di dunia politik Islam sehingga beliau berkesimpulan bahwa menyatukan umat islam dengan cara mendirikan partai politik Islam bukan contoh dari Islam melainkan cara diluar Islam. Menurut Syaikh Wali Al-fatah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah seorang Nabi dan Hamba Allah

كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ الْمَلَكِ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ عَزَّ جَلَّ يُخَيِّرُكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ نَبِيًّا عَبْدًا أَوْ نَبِيًّا مَلِكًا فَالْتَفَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَالْمُسْتَشِيرِ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ تَوَاضَعْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَلْ نَبِيًّا عَبْدًا

“Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Allah pernah mengutus salah satu malaikat bersama malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian malaikat tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla memberikan pilihan bagimu (Muhammad), apakah engkau mau menjadi sebagai seorang hamba dan Nabi, ataukah engkau mau menjadi sebagai seorang nabi dan raja?”. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada Jibril seolah-olah meminta pendapat beliau, maka Jibril memberi isyarat kepada Nabi agar beliau tawadhu. Kemudian rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku ingin menjadi sebagai seorang nabi dan hamba.

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: جلس جبريل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فنظر إلى السماء فإذا ملكٌ ينزِل, فقال له جبريل: هذا الملكُ ما نَزل منذ خُلق قبل الساعة, فلما نزَل قال: يا محمد أرسلني إليك ربك, أملِكا نبيا أجعلُك, أم عبدا رسولا قال له جبريل: تواضَع لربك يا محمد, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عبدا رسولا

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata: Jibril pernah duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia melihat ke langit dan mendadak ada malaikat yang turun dari langit. Maka Jibril pun berkata: “Sesungguhnya malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan beberapa sa’at yang lalu”. Kemudian ketika ia turun, dia berkata: “Wahai Muhammad, Rabbmu telah mengutusku kepadamu. Apakah kamu ingin Rabbmu menjadikanmu seorang raja dan seorang Nabi ataukah seorang hamba dan seorang utusan.” Lalu Jibril menyela: “Bertawadhu’lah kamu kepada Rabbmu wahai Muhammad.” Beliau berkata: “Seorang hamba dan seorang utusan

Kemudian juga Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajaknya berbicara dan tiba-tiba dia gemetar ketakutan, maka beliau bersabda:

«هَوِّنْ عَلَيْكَ فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ من قريش كانت تَأْكُلُ الْقَدِيدَ»

“Tenangkan dirimu, sesungguhnya aku bukan seorang raja, aku hanyalah anak seorang wanita keturunan Quraisy yang memakan dendeng, ” [HR Ibnu Majah: Sahih].

Selanjutnya menurut Wali Al-fatah dalam memimpin umat. System Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah tidak dibatasi pada satu wilayah teritorial melainkan bersifat rahmatan lil ‘alamin yang cakupannya kesatuan umat islam diseluruh penjuru dunia.

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Wali Al-fatah berpendapat bahwa dalam mengamalkan system khilafah bukan dengan cara mendirikan Negara dan dengan merebut kekuasaan karena itu bukan datang dari ajaran Islam. Piagam Madinah sebagian berpendapat sebagai konsep cikal bakalnya berdirinya sebuah Negara Islam, menurut Wali Al-fatah tidaklah demikian. Justeru piagam madinah ini merupakan hakikat dari prinsip ajaran Islam yang Rahmatan lil’alamin dan sifat kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yaitu Fathanah.

Demikian halnya dengan munculnya pemikiran Wali Al-fattah tentang persoalan khilafah yang dikenal dengan istilah Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (khilafah yang mengikuti kenabian) juga tidak terlepas kondisi dunia Islam pada masa tersebut. Untuk mewujudkan pemikirannya nampaknya Wali Al-Fattah mengalami beberapa periodisasi yaitu:

Periode pertama, masa penggalian. Dalam mewujudkan kesatuan umat Islam, di samping dengan adanya respon terhadap kondisi umat Islam pada waktu itu (zaman Wali Al-Fattah), maka Wali Al-Fattah juga melakukan penggalian-penggalian. Dalam penggalian tersebut Wali al-Fattah juga melibatkan ulama dalam mencari dalil-dalil qath’i terhadap landasan pemikirannya untuk mempersatukan umat Islam. Hal ini dilakukan agar setiap pemikirannya selaras dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Alasan ini dapat dilihat dari Maklumat pertama pemikirannya dalam “Gerakan Islam Hizbullah” yang menempatkan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah sumber dari segala kejayaan.

Penggalian itu juga dilakukan Wali al-Fattah dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan yang selalu menjadi pemikiran Wali Al-Fattah, yaitu Mengapa perjuangan kaum Muslimin selalu gagal. Apakah Islam biasa diperjuangkan dengan cara-cara di luar Islam dan apakah di dalam Islam tidak ada cara untuk memperjuangkan Islam?. Penggalian ini dilakukan dengan adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh Wali Al-Fattah bersama tokoh Islam zamannya. Penggalian tersebut juga dilakukan dengan mengadakan musyawarah ahl halli wa al-‘aqd. Melihat apa yang dilakukan Wali Al-Fattah maka dalam mewujudkan pemikirannya tentang khilafah, ia berusaha menjadikan pigur Khulafa’ al-Rasyidin sebagai contoh untuk mewujudkan satu kesatuan umat Islam yaitu, untuk mengangkat seorang pemimpin hendaknya dengan hasil musyawarah. Dilihat dari segi kacamata teori yang dikemukakan Ibn Khaldun maka pemikiran Wali Al-Fattah dalam masalah persatuan umat Islam lebih cenderung pada sistem khilafah.

Kemudian periode kedua, yaitu periode publikasi. Pada periode ini, di samping terus dilakukan penggalian terhadap doktrin-doktrin wahyu dan al-hadith yang berhubungan dengan persoalan khilafah dalam wujud Jama’ah dan Imamah, pada periode ini, Wali Al-Fattah juga menyampaikan gagasan dan hasil pemikirannya tentang khilafah melalui maklumat-maklumat, pernyataan sikap, shilaturrahmi dan siaran pers. Hal ini dilakukan Wali Al-Fattah setidak-tidaknya ada dua alasan. Pertama, ingin mengetahui kalau ada muslimin di belahan dunia Islam yang lebih dahulu menegakkan kembali sistem khilafah bagi umat Islam. Kedua, sebagai penegasan dan sekaligus menyerukan kepada umat Islam hasil dari Ahl al-Halli wa al-‘Aqd I pada tahun 1956 M. Dari sini dapat pula dikatakan bahwa Wali Al-Fattah dalam mewujudkan pemikiran tentang khilafah di dunia Islam, hanya sebagai penggerak dan penyadar umat Islam untuk menegakkan kembali sistem khilafah, tidak berdasarkan ambisi. Hal ini berarti bahwa dalam pemikiran Wali Al-Fattah masalah khilafah adalah masalah urgen dan asasi bagi umat Islam bukan masalah perebutan kekuasaan. Oleh karenanya, ia bersedia untuk jadi makmum apabila ada khalifah yang lebih dahulu dibai’at. Pada periode ini Wali Al-Fattah masih menganggap bahwa kepemimpinannya masih bersifat sementara.

Sedang periodisasi ketiga, yaitu periode realisasi secara kongkret pemikirannya tentang khilafah, yaitu dalam pola hidup berjama’ah. Periode ini ditandai dengan adanya keputusan Musyawarah Ahl al-Halli wa al-‘Aqd II tahun 1959 M. Di mana Wali Al-Fattah menyerukan kepada seluruh partai dan organisasi-organisasi Islam supaya membubarkan diri dan kaum Muslimin yang berada di manapun untuk menggabungkan diri dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud kembali kepada sistem khilafah yaitu Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.

Melihat dinamika pergerakan serta pemikiran Wali Al-Fattah tentang masalah khilafah dengan beberapa periodisasi di atas, maka pemikirannya tersebut dianggap murni dari panggilan hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh gerakan-gerakan Islam lainnya. Hal ini dapat dilihat dari usahanya dalam menemukan dalil-dalil yang dijadikan landasan pijakan pengamalannya.

Adapun yang menarik dari pemikirannya adalah bahwa Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud pengamalan sistem Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah bersifat non politik. Dengan demikian pemikiran Wali Al-Fattah tentang khilafah bukan membentuk sebuah negara, akan tetapi khilafah dalam pandangan Wali Al-Fattah yaitu sistem kepemimpinan dengan corak khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang mengikuti jejak kenabian atau khilafah pada masa Khulafa’ al–Rasyidin) berbentuk al-Jama’ah. Al-Jama’ah yang dimaksudkan oleh Wali Al-Fattah adalah Jama’ah Muslimin (Hizbullah).

Kemudian pada perkembangan selanjutnya, setelah meninggalnya Wali Al-Fattah, maka kepemimpinan di bawah sistem Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah yang berbentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dilanjutkan oleh H. Muhyiddin Hamidi yang diangkat menjadi Imam II melalui bai’at berdasarkan hasil musyawarah Ahl Al-Halli wa al-Aqd di kalangan tokoh Jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang disebut tim Komisi Lima, tepatnya pada tanggal 20 November 1976.[1] Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2014 Imam Muslimin Muhyidin Hamidi meninngal dunia dan pada hari dan tanggal yang sama berdasarkan hasil musyawarah ahlu halli wal aqdi para umara dan ulama maka dibai’atlah hamba Allah KH. Yakhsyallah Mansur sebagai Imamul muslimin menggantikan H. Muhyiddin Hamidy.

Dengan demikian, maka pemikiran Wali Al-Fattah tentang khilafah dengan mengikuti pola Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah yang berbentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dari mulai ditetapinya pada tanggal 20 Agustus 1953 hingga sampai sekarang terus berkembang diberbagai Negara.

Penutup

Terlepas dari adanya perbedaan sudut pandang terhadap institusi khilafah, akan tetapi mayoritas umat Islam masih berpendapat bahwa menegakkan sistem khilafah wajib hukummnya baik secara dalil naqli maupun secara aqli. Akan tetapi, sejak dihapuskan sistem khilafah di dunia Islam dengan runtuhnya Turki Uthmani pada tahun 1923 M, persoalan yang muncul kemudian tidak terpfokus pada masalah ketentuan menegakkan sistem khilafah, akan tetapi persoalannya adalah layak tidaknya sistem khilafah ditegakkan kembali. Di samping itu, persoalan khilafah dianggap hanya sebatas nostalgia sejarah yang melingkupinya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya pemahaman yang memahami sistem khilafah tidak terlepas dari nuansa politis terutama dalam perebutan kekuasaan yang sering mengakibatkan pertumpahan darah dan permusuhan. Hal ini dianggap sebagai titik kelemahan dari sistem khilafah yaitu adanya sistem otoriter dan diktator. Dalam realitanya yang sering dijadikan alasan kelemahan ini dengan membandingkannya terhadap perjalanan sistem khilafah berbentuk kerajaan sesudah masa Khulafa’al-Rasyidin.

Selama persoalan khilafah itu hanya dilihat dari segi dinamika sejarah dan politik semata, serta mengabaikan terhadap dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya menegakkan khilafah, maka sulit kiranya untuk menentukan format khilafah yang paling ideal dalam kontek kekinian.

Oleh karenanya, dengan mengkaji apa yang dilakukan oleh Wali Al-Fattah dan melihat wujud pengamalannya dalam memahami institusi khilafah, maka kembali kepada Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah dengan mewujudkan wadah kesatuan yang berbentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dengan satu Imam adalah solusi terbaik dalam mengembalikan umat pada satu kesatuan. Wujud kesatuan dalam sistem khilafah ‘ala minhajin an-nubuwwah yang ditawarkan Wali Al-Fattah diikat oleh tiga unsur, yaitu, Imamah, Umat dan al-Jama’ah. Tiga unsur tersebut dalam realitas sejarah telah berhasil mengikat kesatuan umat Islam dalam sistem khilafah. Dengan demikian universalitas Islam baik dari segi kesatuan kepemimpinan, kemasyarakatan dan kesatuan wilayah tetap terpelihara. Oleh karenanya mengembalikan tiga unsur tersebut bagi terbentuknya khilafah di dunia Islam sangat bergantung pada kesadaran dan keseriusan umat Islam untuk selalu mewujudkannya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.(AK/R01/B05)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

*Tulisan ini disampaikan oleh Dr. Makmun Muhammad Shaleh, MA. dalam Tabligh Akbar Festival Sya’ban 1440H di Masjid An-Nubuwwah, Muhajirun, Natar, Lampung Selatan, Ahad, 22 Sya’ban, 1440H/28 April 2019M.

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.