Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KODE ETIK JURNALISTIK ISLAMI

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 5 Maret 2015 - 00:54 WIB

Kamis, 5 Maret 2015 - 00:54 WIB

1908 Views

a jurnalistik islamOleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Keberadaan Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 dan Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media massa di Indonesia, terutama berkaitan dengan kebebasan memperoleh dan menyebarluaskan informasi.

Salah satu indikator adanya kebebasan tersebut ditandai antara lain dengan peningkatan jumlah penerbitan media cetak. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999, jumlah penerbitan media massa cetak di Indonesia yang meliputi surat kabar, tabloid, majalah dan bulletin mencapai 1.687. Dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang ada hanya 289.

Demikian halnya dengan televisi dan radio, juga menunjukkan peningkatan jumlah yang signifikan, apalagi dengan munculnya televisi-televisi lokal dan radio komunitas yang marak di berbagai daerah.

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

Berlakunya kedua UU di atas tidak hanya berimbas pada banyaknya media-media baru yang muncul, namun juga memberikan kebebasan bagi para pengelola media massa dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya. Para pekerja media massa memiliki kebebasan dalam mencari (gathering), mengolah (writing/news editing) dan menyajikan(presenting) produk-produk media massa, baik berupa berita, artikel maupun informasi lainnya.

Sayangnya, kondisi tersebut tidak selalu berekses positif. Kebebasan informasi tidak diikuti dengan peningkatan upaya profesional untuk memegang teguh kepercayaan masyarakat (audiens).

Beberapa media yang muncul dalam semangat kebebasan tersebut justru hanya menampilkan informasi yang bias, bombastis, tidak obyektif, tak melakukan cek dan ricek untuk menulis berita yang benar dan imbang, cenderung terbatas pada taraf pengungkapkan konflik, asal laku dijual, bahkan ada yang isinya

tidak disertai dengan konfirmasi, serta cenderung memfitnah.

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman

Kemunkaran, kemaksiatan dan khurafat di televisi juga marak disuguhkan seolah tanpa rambu dan aturan.

Kebebasan yang kebablasan, begitu kurang lebih untuk menggambarkan kondisi media saat ini. Walaupun tentu tanpa menafikan media yang masih berada di relnya, sebagai pemberi informasi, penegur, pengingat dan penghibur yang positif.

Tentu ini menjadi pembelajaran sekaligus pelajaran buat awak media, khususnya dari kalangan umat Muslim untuk sedikit tafakur dan muhasabah atas kegiatan jurnalistiknya selama ini, agar senantiasa senusai dengan rambu-rambu mulia yang telah digariskan dalam Al-Quran maupun al-Hadits sebagai pedoman dakwah. Sebab, media jurnalistik merupakan salah satu media dakwah yang cukup efekti pada era informasi saat ini.

Pelanjut Risalah Nabi

Baca Juga: Malu Kepada Allah

Berita dalam bahasa Arab antara lain disebut dengan istilah naba (berita) bentuk jamaknya al-anba’. Maka, pembawa berita (dari langit) disebut dengan nabi, jamaknya al-anbiya.  

Tetapi, tidak setiap berita disebut naba. Hanya berita yang berguna saja yang bisa, yang dapat menambah pengetahuan dan bernilai benar, yang disebut dengan naba.

Karena itu, sebagai wartawan Muslim, dia sejatinya adalah pelanjut risalah nabi, dalam mencari, menulis dan menyebarkan informasi dan tulisan yang bernilai kebaikan dan kebenaran kepada publik. Dalam hal ini melalui media massa, baik cetak (koran, majalah, bulletin, jurnal), elektronik (radio, televisi) maupun online (streaming, website, blog).

Wartawan Muslim disebut juga sebagai juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi. Ia bagaikan penyambung lidah para nabi. Karena itu ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu Shiddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah (disingkat STAF)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu

Secara ringkas keempat sifat itu adalah:

1. Shiddiq

Artinya jujur dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, shiddiq adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu dengan jiwa pemberani dan penuh tawakkal kepada Allah. Standar kebenarannya tentu saja adalah ajaran Islam yang bersumber dai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2. Tabligh

Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam

Artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran apa adanya, bukan malah memutarbalikkan kebenaran atau mencampuradukkan yang haq (benar) dengan yang bathil (salah).

3. Amanah

Artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta menjadi berita. Amanah juga bermakna melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan di pundaknya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena Allah semata.

Amanah juga bermakna kehormatan. jadi kalau seseorang diberi amanah oleh pemimpin redaksi misalnya untuk melakukan liputan, pada dasarnya ia sedang diberi kehormatan. Maka, kalau ia tidak melaksanakan amanah tersebut atau menyepelekannya, tidak masksimal, itu sama saj ia sedang melucuti kehormatan dirinya.

Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah

4. Fathanah

Artinya cerdas dan berwawasan luas. Karena itu, wartawan Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Untuk mendapatkan tingkat kecerdasan itu maka diperlukan sikap suka atau gemar membaca. Bukan sekedar membaca koran, menyimak berita televisi atau memperhatikan peristiwa di sekitarnya. Tetapi ia juga menyeruak ke dalam, di balik berita dan peristiwa tersebut. Apa dampaknya, bagaimana pengaruhnya, dan seperti apa prediksi ke depannya.

Untuk menambah daya kecerdasan itu, sekarang sudah terlalu banyak info di dunia maya. Tidak kalah pentingnya adalah bergaul, berdiskusi, tukar pendapat dengan tokoh dan orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan dalam satu atau banyak hal. Sehingga wawasan dirinya juga ikut bertambah.

Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina

Wartawan Muslim tidak akan terjebak dalam diskusi liar tanpa arah, apalagi curhat-curhatan di dunia maya yang isinya sekedar guyonan, cemoohan, atau kata-kata tanpa makna apalagi bernilai kebenaran ilahi.

Kode Etik

Dalam praktik jurnalistik, wartawan Muslim hendaknya mengamalkan nilai-nilai dan akhlak Islam di dalam melaksanakan tugasnya, untuk ini bagi wartawan Indonesia ada Kode Etik Jurnalistik.

Pengawasan pelaksanaan Kode Etik dilakukan oleh Dewan Pers dan Dewan Kehormatan PWI. Dalam Dewan Kehormatan pernah duduk tokoh-tokoh Islam terkemuka antaranya Mohammad Natsir, H. Agus Salim, Muhyiddin Hamidy.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa

Wartawan senior, Achmad Istiqom, mengatakan, Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia ini sangat Islami, berisi pedoman tingkah laku termasuk wartawan menulis berita harus dimulai dengan niat yang baik,   pedoman kerja, pedoman penulisan berita / penyajian berita, cek dan ricek, obyektif, berita berdasarkan fakta, seimbang, tak boleh fitnah, pemakaian bahasa yang baik dan benar.

Secara umum kode etik bermakna suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.

Di manapun kita hidup, bekerja, dan berada tentu ada kode etiknya, ada etikanya, ada aturannya atau akhlaknya. Antara lain:

Pertama, Menyampaikan informasi dengan benar,

Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi

Wartawan Muslim tidak merekayasa atau memanipulasi fakta, atau mencampuradukan yang benar dengan yang salah.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلاً۬ سَدِيدً۬ا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. (QS Al-Ahzab [33]: 70)

فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلاً۬ سَدِيدًا

Artinya: “Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS An-Nisa [4]: 9).

Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui”. (QS Al-Baqarah [2]: 42).

Kedua, Melaksanakan Tabayyun (meneliti fakta/cek-ricek).

Wartawan Muslim sebelum memberitakan suatu hal, ia mesti meneliti, mengadakan cek dan ricek (cek ulang) atau disebut dengan tabayyun.

Hal ini untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku berita yang akan ditulis. Maka, wartawan Muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi berita bohong, menebar kebencian, menggunjing apalagi memfitnah orang atau instansi lain, apalagi sesama Muslim.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS Al-Hujurat [49]: 6).

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬‌ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًا‌ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُڪُمۡ أَن يَأۡڪُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُ‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Hujurat [49]: 12).

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتُ بِأَنفُسِہِمۡ خَيۡرً۬ا وَقَالُواْ هَـٰذَآ إِفۡكٌ۬ مُّبِينٌ۬

Artinya: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan [mengapa tidak] berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS An-Nuur [24]: 12).

Ketiga, Menyampaikan berita dengan argumentasi yang jelas, baik dan benar.

Wartawan Muslim dalam menulis berita atau artikel dengan Bahasa dan makna yang baik, benar, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman pembaca, harus dipahami sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna, penuh dengan kebijakan dan kebaikan.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ‌ۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ‌ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۖ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

Artinya: “Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah [3] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS An-Nahl [16]: 125).

Keempat, melaksanakan kegiatan kewartawanan secara professional, mahir dan produktif.

Sehingga karya-karya jurnalistiknya menjadi tabungan amal sholihnya, yang memberikan manfaat kepada seluas dan sebanyak mungkin orang dan kalangan.

Karena ia adalah wartawan, alias penulis berita, maka pekerjaan pokoknya adalah menulis berita setiap hari. Tiada hari tanpa menulis, produktif menulis, menulis yang baik, beramal yang baik, bahkan terbaik.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

قُلۡ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِڪُمۡ إِنِّى عَـٰمِلٌ۬‌ۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ

Artinya: “Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja [pula], maka kelak kamu akan mengetahui”. (QS Az-Zumar [39]: 39).

وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُ ۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّہَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

Artinya: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS At-Taubah [9]: 105).

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلاً۬‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS Al-Mulk [67]: 2).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ “

Artinya: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala  mencintai jika seorang dari kalian bekerja, maka ia itqon (profesional) dalam pekerjaannya.” (HR al-Baihaqi).

Kelima, Menulis berita secara adil, objektif, berimbang dan komprehensif berdasarkan fakta dan data, bukan nafsu dan kepentingan pribadi.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٲمِينَ لِلَّهِ شُہَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّڪُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْ‌ۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰ‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Maidah [5]: 8).

Penutup

Jika digali dan terus digali, tentu masih sangat banyak ajaran-ajaran Islam yang mendorong etika jurnalistik Islami, yang mengarahkan wartawan-wartawan Muslim untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Pada intinya adalah, wartawan Muslim merupakan pekerjaan dakwah melalui media massa, yang mempunyai peran dan tanggung jawab sangat besar dan strategis dalam pembangunan, pencerdasan, bahkan bagi peradaban manusia. Insya Allah.(P4/P2).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Tausiyah
Indonesia
Breaking News
test
Pemimpin Redaksi MINA, Ismet Rauf (berdiri) didampingi Sekred MINA, Ali Farkhan Tsani (duduk) saat memberikan materi diklat jurnalistik bagi Muslimah Hizbullah Lampung di Aula SQABM Online, Muhajirun, Sabtu, (28/3). Photo : Hadis/MINA
Khadijah