Mengenal Militan Rohingya ARSA

Tentara Keselamatan Rohingya Arakan (). (Gambar: YouTube)

Arakan Rohingya Salvation Army/Tentara Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA) adalah kelompok militan yang menjadi pemicu dua krisis terakhir di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

ARSA pada 9 Oktober 2016 melakukan serangan terhadap pos-pos Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar yang menewaskan 9 polisi. Serangan itu dijadikan alasan bagi militer Myanmar untuk melakukan operasi pembersihan militan di wilayah-wilayah sipil . Namun, bukan hanya mencari militan dalam operasi, warga sipil Rohingya pun lebih banyak yang jadi korban kekerasan militer. Krisis bagi Muslim Rohingya di akhir 2016 pun tercipta hingga awal 2017.

Serangan mematikan dan terkoordinasi kembali dilakukan oleh ARSA pada 25 Agustus 2017. Serangan menargetkan puluhan pos polisi dan satu kamp militer Myanmar di Maungdaw utara, Negara Bagian Rakhine.

Beberapa hari pertempuran pun terjadi antara pasukan keamanan Myanmar dengan militan ARSA yang berjumlah ratusan orang. Belasan personel keamanan dan ratusan militan dinyatakan tewas oleh pemerintah Myanmar.

Serangan ARSA ini pula yang kemudian membuat militer, polisi, dan warga Buddha ekstrem Myanmar melakukan serangan balasan kepada lebih 65 desa sipil Muslim Rohingya. Lebih 6.600 rumah dibakar dan dijarah, warga sipil ditembaki tanpa pandang bulu yang menewaskan lebih 3.000 Rohingya (data Bangladesh), para wanita diperkosa, anak-anak tak berdosa dibantai, dan lebih 300.000 melarikan diri mengungsi ke Bangladesh.

Dalam perjalanan mengungsi, sekitar seratus orang telah tenggelam di Sungai Naf yang memisahkan wilayah Myanmar dan Bangladesh. Menurut aktivis kemanusiaan di Cox’s Bazar, Bangladesh, para pengungsi tiba di negara itu dalam kondisi kelelahan, belum makan berhari-hari, dan trauma. Sejumlah pengungsi Rohingya bahkan datang membawa luka tembak dan bakar.

Selain itu, konflik juga membuat sebanyak 27.000 umat Buddha Rakhine mengungsi secara internal ke kota-kota utama di dalam negeri.

Pada Ahad, 10 September 2017, ARSA mengumumkan gencatan senjata sepihak sampai 9 Oktober 2017.

Siapa ARSA?

Terlepas dari puluhan tahun penindasan di Myanmar yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Buddha, etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim telah menahan diri dari kekerasan.

ARSA membuat dirinya dikenal sebagai kekuatan baru bersenjata sejak Oktober 2016 lalu.

Serangan 25 Agustus 2017 lebih berani dan lebih hebat, menyerang 30 pos polisi dalam satu malam dan kemudian bertahan beberapa hari dari penyergapan saat pasukan keamanan Myanmar menyerang balik.

ARSA awalnya menyebut dirinya Harakah Al-Yaqin (The Faith Movement).

Dalam sebuah video, seorang pria bernama Ata Ullah, mengaku sebagai komandan ARSA. Dalam video itu ia mengecam perlakuan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya.

ARSA pun memiliki akun Twitter resmi (@ARSA_Official) berbahasa Inggris.

Ata Ullah diyakini lahir dari keluarga Rohingya di kota Karachi, Pakistan yang kemudian tinggal di Arab Saudi.

Sebuah laporan oleh Grup Krisis Internasional mengatakan, Ata Ullah memimpin sebuah komite kepemimpinan imigran Rohingya di Arab Saudi.

Mereka kemudian mendirikan kelompok ARSA pada tahun 2012 setelah sebuah kerusuhan anti-Muslim melanda Rakhine.

Pemerintah Myanmar telah mengatakan bahwa ARSA dilatih oleh Taliban Pakistan. Myanmar pun telah melabel ARSA sebagai organisasi teroris.

Apa yang ARSA inginkan?                            

Kelompok ini memiliki ciri yang umum dimiliki oleh gerilyawan Muslim di seluruh dunia. Mereka selalu membuka pesan-pesannya dengan salam Islam.

Dalam tampilan publiknya melalui video, anggota ARSA mengatakan bahwa mereka ingin melindungi warga Rohingya di dalam Myanmar dari penganiayaan oleh negara dan pasukan keamanan.

Sementara pihak berwenang Myanmar melukiskan gambaran yang berbeda. Pemerintah Buddha Myanmar mengatakan bahwa para militan itu adalah “teroris ekstremis” Muslim yang ingin menerapkan hukum Islam di sebagian wilayah Negara Bagian Rakhine.

Tentara menuduh ARSA membunuh umat Buddha Rakhine, suku-suku animis dan Hindu selama kekerasan terbaru ini.

Sementara sejumlah pengamat mengatakan, skala serangan 25 Agustus 2017 dirancang untuk mendorong militer melakukan reaksi berlebihan, menarik perhatian global terhadap penyebab krisis dan menimbulkan kemarahan di kalangan orang Rohingya.

 

Kekuatan ARSA

Awalnya, jumlah kelompok ini sedikit dan tidak bersenjata, tapi pada perkembangannya barisan mereka membengkak.

Pengamat meyakini bahwa ARSA hanya memiliki beberapa ratus militan terlatih yang kemudian banyak tewas dalam pertempuran baru-baru ini.

Namun, pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh memberi kesaksian. Mereka mengungkapkan bahwa sejumlah pemuda desa Rohingya dengan berbekal senjata mentah seperti tombak, pisau dan tongkat, bergabung dalam perjuangan ARSA pascaserangan 25 Agustus.

Sementara militer Myanmar mengklaim telah menewaskan 400 militan sejauh ini.

Militer telah mengunggah foto-foto senjata dasar yang disita dari orang-orang Rohingya yang berperang di bawah spanduk ARSA, termasuk bom bensin dan alat peledak improvisasi. Militer pun mengatakan, pasukannya telah diserang oleh kelompok yang beranggotakan 150 orang sekaligus pada 25 Agustus dini hari.

 

Akankah ARSA menang?

ARSA tidak memiliki kapasitas untuk mengalahkan kekuatan militer Myanmar dengan cara konvensional. Namun, mereka telah menyebarkan keresahan yang menyebabkan Rakhine masuk dalam krisis dan berpotensi menciptakan segudang rekrutan besar bagi ARSA sendiri.

Sekitar sepertiga dari 1,1 juta warga Rohingya Myanmar telah meninggalkan negara bagian itu sejak 25 Agustus. Pertanyaannya sekarang, apakah mereka yang tersisa akan bergabung dalam pemberontakan yang sedang berkembang?

Pengamat mengatakan, situasi sudah matang untuk menjadikan Rakhine sebagai medan jihad global. (A/RI-1/P2)

 

Sumber: Nahar Net

 

Mi’raj News Agency (MINA)