Menjadi Pemuda Generasi Terbaik dalam Islam

Oleh : Usamah Ali AM, Asatidz di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kuttab Cimahi, Bandung, Jawa Barat

Dalam media-media yang kita baca, kerap sekali dilekatkan dengan kelabilan. Tingkah laku yang buruk dari mereka dianggap wajar sebagai bentuk pencarian jati diri. Keburukan yang terus diulang tanpa jeda itu, akhirnya dianggap sebagai kebenaran.

Termasuk fenomena LGBTQ+. Dahulu hal itu adalah hal yang tabu, tercela. Namun karena hari ini terus disuarakan sebagai kebenaran, maka hal itu dianggap menjadi wajar. Padahal sesuatu yang terus diulang akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan membentuk karakter.

Padahal jika kita tinjau dari Dalam Al-Qur’an, yang telah menjadi pedoman manusia, pemuda banyak disandingkan dengan kebaikan. Lihat saja bagaimana Nabi Ibrahim saat muda yang dengan gagah beraninya menghancurkan berhala-berhala yang disembah untuk menyekutukan Allah.

Tengoklah pula bagaimana Ashabul Kahfi yang dengan perhitungan matang mengasingkan diri ke gua yang jauh dari masyrakat. Cermatilah pula bagaimana Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ber-’uzlah mengasingkan diri untuk mencari cara memperbaiki masyarakat Arab.

Pada periode pasca-sahabat, ada pula Muhammad Al-Fatih yang mempelajari berbagai ilmu untuk membebaskan Konstantinopel. Masih banyak teladan pemuda yang saleh, cerdas, cemerlang yang bisa kita temui dalam sejarah.

Maka marilah menjadi pemuda-pemudi yang Allah cintai dan Rasul contohkan. Bersyukurlah karena kita masih memiliki usia untuk memperbaiki diri. Seperti para ulama dan orang-orang saleh yang memantaskan diri sedari muda. Karena kesungguhan kita di usia muda akan menentukan kehidupan kita di umur 40 tahun ke atas.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di Hari Kiamat sehingga ditanya mengenai empat hal: tentang umurnya, dihabiskan untuk apa, tentang usia mudanya, digunakan untuk apa, tentang ilmunya, seberapa kesungguhan mencarinya dan seberapa banyak yang sudah diamalkan, serta tentang hartanya, dari mana didapat dan digunakan untuk apa.”

Sebenarnya perkara pertama (umur) dan kedua (pemuda) bisa dihitung menjadi satu. Hal ini menjadi perhatian para ulama. Mereka menyimpulkan bahwa usia muda sangatlah penting sehingga Allah menanyakannya sebagai hal yang terpisah.

Terkait hal ini, Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Demi Allah hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan taqwa. Jika salah satunya tidak ada, maka keberadaannya tidak diakui.”

Maknanya tugas pemuda adalah mengokohkan iman dan memfaqihkan ilmu. Hanya dengan dua hal itulah kehidupan seorang pemuda berarti. Karena semakin bertambah usia semakin bertambah urusan pula. Semakin sedikit waktu untuk belajar semakin banyak kesibukan. Tanyalah kepada orang-orang yang lebih tua, apakah mereka merasa masa mudanya sudah maksimal?

Kekuatan Pemuda

Allah befirman di dalam Al-Quran :

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٖ قُوَّةٗ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٖ ضَعۡفٗا وَشَيۡبَةٗۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡقَدِيرُ

Artinya: “Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS Ar-Ruum  : 54).

Dari ayat tersebut Allah menerangkan bahwa manusia memiliki tiga  fase dalam hidupnya, yaitu : lemah ketika bayi, kuat ketika muda, dan kembali lemah dalam usia tuanya.

Rasulullah pernah menyampaikan bahwa usia umatnya, berkisar sekitar 60-80 tahun. Adapun kelebihannya adalah bonus.

Maka para ulama menyimpulkan bahwa usia muda adalah usia 20-40 tahun. Ulama lain menyebutkan bahwa usia muda dimulai dari baligh.

Adapun kekuatan pemuda itu bisa dilihat dari beberapa sisi :

Pertama, dari fisiknya. Pemuda memiliki indra yang kuat. Mata, telinga, lisan, hingga stamina.

Kedua, adalah kuat amalnya. Karena amal masih berkaitan erat dengan fisik.

Ketiga, adalah kuat dalam menuntut ilmu. Usia muda adalah usia awal akal bekerja, maka mereka lebih cepat menangkap ilmu yang tersampaikan.

Keempat, adalah kuat syahwat badan. Kekuatan ini lebih cenderung kepada ujian. Dalam hal ini Allah menyebutkan di dalam firman-Nya :

قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ

Artinya : “Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.” (QS Yusuf : 33).

Fudhail Adzim, seorang ahli parenting pernah menyampaikan, “pemuda yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah yang berada dalam puncak kekuatannya. Namun, ironisnya pemuda hari ini pada puncak kekuatannya saja masih lemah.” Lemah fisik iya. Lemah keyakinan iya. Lemah iman iya. Maka jadilah pembeda.

Maka ada istilah yang menyebutkan, “Para orang tua biasanya menceritakan masa lalunya dan pengalamannya. Sedangkan para pemuda menyampaikan masa depannya dan cita-citanya”.

Generasi Terbaik

Sejarah mencatat, generasi Rasul dan para sahabat didominasi oleh para pemuda. Tengok saja Usamah bin Zaid yang Rasul tunjuk menjadi pemimpin pasukan dalam usia 15 tahun. Padahal dalam barisan pasukan beliau ada sahabat yang lebih senior seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Rasulullah juga dikelilingi oleh 65 sekertaris yang didominasi pemuda.

Sebanyak 67% perawi hadits adalah pemuda. Sebut saja tujuh yang paling populer yaitu : Abu Hurairah, Aisyah , Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan Abu Sa’id Al Khudriy.

Ini menujukkan bahwa pemuda di jaman Rasul sangat bersemangat dalam jihad dan menuntut ilmu. Di mana Rasul menggelar majelis ilmu, di sana ada pemuda. Di mana ada seruan jihad, di sana ada pemuda.

Agar Menjadi Generasi Terbaik

Terkait dengan hal ini, ada sedikitnya empat poin yang harus dilakukan untuk menjadi dari kalangan pemuda.

Pertama, mereka harus memiliki pemimpin atau guru yang hebat.

Para sahabat memiliki pemimpin dan guru yang hebat, tak lain adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sebelum beliau diutus menjadi Nabi, para sahabat bukanlah siapa-siapa. Namun setelah dibina, ditempa oleh Rasulullah, mereka menjadi orang-orang penting dalam sejarah manusia.

Maka kita para pemuda janganlah sampai terputus dari guru dan majelis ilmu. Di mana pun dan kapan pun, untuk menjadi atau setidaknya mengikuti pola para sahabat.

Dalam hal ini, para pemuda memiliki konsekuensi : Kalau dia mau dibina, maka akan menjadi pemuda yang istimewa dan bermanfaat.

Sebaliknya, jika tidak mau dibina, maka dia akan menjadi pemuda yang membawa kerusakan di muka bumi.

Kedua, mereka selalu merisaukan hal-hal besar. Kebanyakan hal-hal besar itu ditanamkan oleh guru mereka. Keberhasilan hidup seseorang ditinjau dari kegalauannya.

Bila dia menggalaukan hal-hal kecil seperti kuota habis, tangki motor kering, si doi nggak mbales status instagram maka hidupnya bisa dibilang kecil. Maka galaukanlah hal-hal besar. Seperti kedamaian umat manusia, kejayaan , kemuliaan lmu, kebebasan Al-Aqsha dan Konstantinopel, dll.

Ketiga,  hendaklah tidak menunda-nunda kebaikan. Ini adalah nasihat yang Rasulullah berikan kepada Abdullah bin Umar.

Bahkan para ulama berpendapat bahwa itulah kenapa Abdullah bin Umar bisa menjadi pribadi istimewa. Suatu hari Rasulullah memegang pundak Abdullah dan bersabda, “hiduplah engkau di dunia sebagaimana orang asing atau musafir yang menempuh perjalanan.”

Abdullah pun memaknai sabda Rasul tersebut dengan empat hal:

  1. Bila engkau berapa di pagi hari, jangan menunggu sore hari untuk melakukan kebaikan.
  2. Bila engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari untuk melakukan kebaikan.
  3. Bila engkau sehat, jangan menunggu sakit untuk melakukan kebaikan.
  4. Bila engkau muda, jangan menunggu tua untuk melakukan kebaikan.

Dari empat hal tersebut, para ulama menyimpulkan satu hal: jangan menunda-nunda kebaikan.

Keempat, harus memahami sejarah, karena sejarah terjadi berulang-ulang. Sehingga kita para pemuda dapat menerapkan apa yang pernah dilalui para pemuda dari kalangan sahabat dahulu, untuk diterapkan pada masa kini. Sebab problematikanya juga sama dan berulang, hanya beda waktu, tempat dan situasi saja.

Semoga kita bisa menjadi para pemuda yang sejati, yang Allah tunggu dan Rasul-Nya cintai. Aamiin Allaahumma AAmiin. (A/usm/RS2).

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.