Menulis Sebagai Kewajiban

Ali Farkhan Tsani

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat yang pertama adalah “Iqra” (bacalah). Menandakan bahwa membaca merupakan utama dan pertama yang diperintahkan Allah bagi Muslim.

Di samping ibadah, maka membaca adalah bagi Muslim untuk melaksanakannya.

Untuk membaca, maka wajib adanya bahan bacaan yang tertulis. Maka jika disimpulkan berdasarkan kaidah ushul fiqih, bahwa selama suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib (Maa laa yatimmu al-waajibu illaa bihi fahuwa waajib)

Maka di sini berlaku, dalam Islam merupakan suatu kewajiban setelah perintah untuk membaca.

Menulis berarti menyimpan, mendokumentasikan, dan mengabadikan apa yang telah kita telaah untuk kemundian dapat dibaca oleh orang lain atau diakses sehingga dapat dibaca oleh siapa saja secara lebih luas lagi.

Bisa dibayangkan, bagaimana jika Umar bin Khattab tidak mengusulkan paling awal kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq agar Khalifah melakukan pembukuan Al-Qur’an demi menjaganya dari kepunahan.

Usulan dikemukakan karena mulai banyak sahabat-sahabat yang hafal Al-Quran, gugur di medan jihad. Membukukan di sini berarti, mengumplkan tulisan-tulisan Al-Quran yang berceceran itu ke dalam satu mushaf.

Sekarang, kita kaum Muslimin dan dunia tinggal menikmati membaca Al-Quran dari berbagai terbitan dan percetakan.

Bisa dibayangkan pula, bagaimana Imam Bukhari (810-870 M) dari daerah Bukhara (negara Uzbekistan, dulu bagian dari Uni Soviet) harus berjalan darat menuju Mekkah dan Madinah, untuk mengumpulkan dan meneliti kesasihan ribuan bahkan diperkirakan puluhan ribu hadits. Sekarang kita umat Muslim tinggal menikmati bacaan Kitab Shahih Bukhari, baik edisi kitab kuning bahasa Arab, atau berbagai terjemahannya di seluruh dunia.

Padahal kala itu belum ada laptop, google internet, media sosial dan sejenisnya. Namun masih menggunakan cara manual, tinta, pena dan kertas.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Imam Bukhari harus menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang dikunjunginya adalah Mekkah, Madinah, Basrah, Mesir, Kufah, Baghdad, sampai ke Asia Barat. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 orang perawi.

Maka para ahli hadits sepakat menggelarinya dengan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Melalui apa ia dikenal, yang pahalanya mengalir terus hingga kini dan sampai hari kiamat. Melalui menulis !

Demikian pula generasi berikutnya, seperti Imam Muslim (821-875 M) yang mampu menulis lebih dari kitab-kitab besar dan bersejarah.

Generasi lebih ke kini lagi seperti Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), filosof, psikolog dan dan ahli fikih Muslim, yang menuangkan pemikiran ilmu pendidikan jiwa dalam Ihyaa Ulumuddin. Sebuah kitab fenomenal yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia dan dibaca oleh jutaan manusia. Hingga jutaan manusia itu tergerak hatinya, tersadar jiwanya, dan kembali ke jalan Tuhannya.

kitabMengukir Peradaban

Dalam perkembangan peradaban manusia di dunia, menulis memiliki peran yang sangat urgen an menentukan. Ini dibuktikan antara lain dengan adanya para ulama yang menjadi arsitek pada masa kejayaan Islam masa lalu, yang menjadi penulis ulung dengan berbagai buah karya mereka. Karya berkedalaman mereka sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Eropa yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam, ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam. Melalui apa? Sekali lagi melalui Tulisan, melalui orang-orang yang Menulis.

Apalagi bagi ilmuwan Muslim, maka karena menulis adalah bagian dari ibadahnya, ia akan menulis dengan asma Allah (bismillaah), dan sepanjang tulisannya ia akan mengikuti ketentuan ilahiyah.

Menulisnya beorientasi keakhiratan, bernilai ibadah, bukan niatan dunia dan materia. Sehingga tatkala hal ini telah menulis, akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri seraya kelak akan menerima pahala kebaikan dari Allah dari tulisannya, dari seberapa huruf yang tulisannya, dan seberapa banyak yang membacanya, dan dari seberapa pengaruhnya kepada orang lain.

Kalau ia menyampaikannya secara lisan, akan sangat terbatas paling hanya untuk 10, 100 atau 500 orang dalam satu jamaah masjid. Namun jika ia mau menulisakannya, lalu mengirimkan dan menerbitkannya dalam sebuah surat kabat harian. Maka, tulisannya dapat dibaca oleh ribuan pembacanya. Bagaimana kalau tulisannya dimuat secara online di media? Sangat memungkinkan ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang akan membacanya dengan segera, lintas waktu, lintas teretorial dan lintas zaman. Berkali-kali dikatakan, adalah melalui menulis.

Tertanam di dalam jiwanya, berdosa rasanya kalau ada kemungkaran, kok diam saja tanpa menegurnya, secara langsung dengan kekuasaannya, atau dengan lisan (termasuk tulisan) atau cukup dengan iman terlemah dalam hati.

Jadi, tanpa menulis, menunjukkan ‘lemah iman’, kerdilnya visi pandangannya ke depan, sempitnya ilmu yang dimilikinya, serta amat miskin membaca. Padahal membaca adalah kewajibannya yang utama dan pertama.

Betullah kata pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Bahwa apa-apa yang kita tulis, kita bahaskan, baik di jejaring sosial, group dunia maya, status-status kita menunjukkan itulah ‘isi otaknya’. Candaan tanpa makna, gurauan maksiat, omongan tak berguna, itulah ‘harga dirinya’.

Sedangkan orang-orang beriman memiliki ciri utama antara lain, jika berkata benar, baik dan jujur (qoulan sadiidaa), kata-katanya mengandung kebaikan (qoulan ma’ruufaa), kalimat-kalimatnya berkualitas (qoulan tsaqiilaa), perkataannya tidak asalan (lagha), apalagi dusta, fitnah dan maksiat.

menulisMenulislah Tiap Hari

Ada pepatah dari seorang penulis, Fatimah Mernissi, yang menyebutkan, “Usahakanlah menulis setiap hari. Niscaya, kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaat yang luar biasa”.

Barbara menambahkan, “Menulis merangsang pemikiran, jadi saat anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk di tulis, tetaplah mencoba untuk menulis”.

Jadi, orang-orang yang menulis adalah orang-orang yang berpikir, orang-orang yang menggunakan akalnya. Sementara orang-orang yang enggan menulis berarti memang mereka enggan menggunakan akalnya, meninggalkan akalnya, bahkan sampai hilang akalnya.

Menjadi terbuktilah apa yang dikatakan Stephen Edwin Raja (lahir 1947) seorang penulis 54 novel dan hampir 200 cerita pendek, bahwa, “Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.”

Penulis sejati tidak kenal kompromi dengan situasi dan kondisi apapun. Saat hujan mengguyur, ia menulis tentang Manfaat Hujan. Ketika musim kemarau, ia pun menulis Kemarau Sebagai Ujian. Saat ia dimarahi orang lain pun, masih saja ia menulis Menahan Amarah. Hingga ketika hatinya galau pun ia sempatkan menulis Galau Tak Harus Putus Asa, dan seterusnya. Bahkan bila perlu, saat tidurnya pun ia masih bermimpi menulis.

Jadi, marilah menulis tiap hari, sebagai ibadah tiap hari, sebab semuanya sekarang tersedia, komputer, laptop, google internet, jaringan, buku, narasumber. Yang  perlu ada adalah kemauan menulis! Itu saja! (P4/P2.)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)