MUSLIMAH MALAWI PERLU UU PERLINDUNGAN JILBAB

muslimah malawi
Muslimah Mawali, Afrika (Onislam)

Lilongwe, Malawi, 18 Dzulhijjah 1436/2 Oktober 2015 (MINA) – Lembaga masyarakat Muslim Malawi, sebuah negara di kawasan Afrika bagian Selatan,  telah mendorong diberlakukannya undang-undang untuk melindungi Muslimah berjilbab di tempat umum dan dan tempat kerja.

“Ada kasus yang dilaporkan berupa pelecehan terhadap Muslimah berjilbab di tempat umum dan tempat kerja, karena tidak ada undang-undang untuk melindungi kita, para pelaku bisa  bebas, sementara korban diam,” Fatima Ndaila, Ketua Organisasi Muslimah MWO (Muslim Women Organization), OnIslam melaporkan.

Ndaila mengungkapkan, advokasi hukum itu untuk melindungi mereka dan membuat wanita berjilbab agar tidak dilecehkan.

“Muslimah berkerudung  dipandang sangat terbelakang dan primitif. Bahkan dalam wawancara untuk pekerjaan, mereka dipaksa untuk melepaskan jilbabnya. Ini adalah ejekan untuk agama kita,” tambah Ndaila.

Ia menambahkan, tidak mengerti mengapa hal ini terjadi dengan cara ini. Latar belakang itu membuat lembaganya mendesak pihak berwenang untuk mendengarkan permohonan perlindungan untuk dimasukkan ke dalam undang-undang.

Ndaila mengatakan beberapa kepala lembaga pendidikan masih ada yang belum mengizinkan Muslimah mengenakan jilbab di sekolah atau kampus.

“Di tempat umum, Muslimah berjilbab juga sering diejek dan dicemooh. Kami merasa di sinilah perlunya undang-undangan yang melindungi kita, kita punya kebebasan untuk berpakaian dengan cara agama kita. Mengapa kita menjadi korban karena jilbab? Apa yang ada di sebuah jilbab yang membuat mereka mengejek? “tambahnya.

Sementara itu Aisha Mambo, anggota parlemen Malawi mengatakan, memang masih ada perlakukan seperti itu,  dan ini akan menjadi agenda terpenting kami di parlemen.

“Memang benar bahwa jilbab menjadi sumber ketidaknyamanan untuk kebanyakan Muslimah di Malawi, karena beberapa anggota masyarakat melecehkannya,” ujarnya.

Untuk itu, ia berharap Muslim di negaranya terus memobilisasi dukungan pengajuan undang-undangan tersebut.

Peran Ulama

Dr. Salmin Omar, Sekretaris Jenderal Dewan Ulama Malawi, organisasi Muslim tertinggi di negara itu, mengatakan, pelecehan terhadap Muslimah berjilbab merupakan bentuk pelanggaran aturan keadilan atas dasar keyakinan agama.

“Dulu tahun 90-an, jilbab bisa menimbulkan kontroversi. Tapi sekarang kami pikir, kami telah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun sangat disayangkan bahwa masih ada beberapa Muslimah yang masih tidak nyaman dengan itu. Kami Dewan Ulama mendukung diadakannya undang-undang untuk melindungi perempuan kita dari segala bentuk pelecehan. Kita tidak bisa membiarkan hal ini terus dalam masyarakat bebas, seperti Malawi,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa lembaganya tidak akan beristirahat, sampai Muslimah di negaranya bebas dari segala bentuk pelecehan. Para ulama tidak akan membiarkan hal itu terus terjadi.

“Kami mungkin dianggap minoritas, tapi kami layak diperlakukan sebagai manusia. Kita semua sama di hadapan Allah,” tambahnya.

Aktivis hak-hak perempuan terkemuka, Emma Kaliya, juga mengecam pelecehan terhadap wanita berpakaian, dan ia mengimbau semua sektor masyarakat Malawi untuk bergabung dalam mendukung undang-undang untuk melindungi hak-hak perempuan Muslim berjilbab.

“Ini adalah masalah hak asasi manusia. Ini bukan sekedar tentang agama. Bagaimana kita duduk diam, sementara kelompok lain perempuan diancam? Apa yang ada di sebuah jilbab yang membuat orang lain tidak nyaman? Mengapa kita harus bersikap seperti terhadap binatang liar? Kami mendukung semua upaya untuk memastikan bahwa perempuan Muslim dilindungi sepenuhnya,” tegas Kaliya.

“Kami bangga menjadi bangsa yang takut akan Tuhan. Tapi saya bertanya-tanya mengapa kita gagal untuk menghormati keyakinan orang lain. Bagaimana kita mengaku takut akan Allah jika kita mengorbankan orang lain yang mengikuti keyakinan agama mereka. Dalam masyarakat plural seperti kita, di mana ada beragam agama, tidak ada agama tunggal di atas yang lain, karena itu mengorbankan kelompok tertentu untuk apa yang mereka percaya adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi,” paparnya.

Sementara itu, pemerintah Malawi mengutuk pelecehan terhadap korban dan menggambarkannya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap kebebasan beribadah.

Menteri Urusan Perempuan,Pelayanan Masyarakat dan Kesejahteraan Anak, Patricia Laliati, mengatakan bahkan sebelum undang-undang itu diberlakukan, perlu ada sebuah mekanisme yang efektif yang akan memberikan perlindungan terhadap perempuan Muslim berjilbab.

“Apa yang terjadi, apakah itu dari ketidaktahuan atau disengaja, itu jelas pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan beribadah. Sebagai pemerintah, kami terkejut bahwa hal ini terjadi, tapi sebelum undang-undang itu diberlakukan, sebagai bangsa perlu bersatu dan bekerja menyiapkan mekanisme yang dapat melindungi wanita Muslim berjilbab, ” ujar Kaliati.

Ia menambahkan, sebagai bangsa, masyarakat harus bertindak dewasa dengan semangat toleransi terhadap agama dan lainnya, serta hidup berdampingan secara damai. Menurutnya, jika ingin membangun bangsa yang damai dan lebih baik, maka semua warga Malawi bebas untuk beribadah dengan keyakinannya masing-masing.

Islam adalah agama terbesar kedua setelah Kristen di Malawi. Populasi Muslim di Malawi mencapai untuk 36% dari 15 juta penduduk negara itu. (T/P005/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Admin

Editor: Ali Farkhan Tsani

Comments: 0