“Nafas Terakhir” Kesepakatan Nuklir Iran di Tangan Pompeo dan Bolton

, , dan . (Foto: dok. GreanvillePost.com)

Sesaat sebelum pemilihan presiden (AS) pada tahun 2016, Mike Pompeo, seorang anggota Kongres yang dikenal memiliki kebijakan luar negeri garis keras, ditanya oleh Fox News tentang apa yang dia pikir tentang di bawah pemerintahan Obama.

Pompeo mengatakan, calon dari Partai Republik, Donald Trump, benar menyebutnya “bencana”.

“Apa yang harus dilakukan Amerika dengan presiden baru? Harus berbicara dengan dan menjelaskan kepada mereka, perjanjian itu tidak berlaku,” kata Pompeo.

Beberapa pekan sebelumnya, John Bolton, elang kebijakan luar negeri lainnya, menyuarakan pesan tak menyenangkan yang sama ketika ia berbicara kepada kelompok sayap kanan di California, tentang penyebaran “Islam radikal” dan ancamannya terhadap Barat.

Bolton, mantan Duta Besar AS untuk PBB, menyatakan penghinaan terbesarnya terhadap para pemimpin agama di Iran, kemudian menyebut kesepakatan nuklir tahun 2015 sebagai “tindakan terburuk dalam sejarah Amerika.”

“Pemerintah di Teheran dibiarkan dengan jalur yang tidak terhalang terhadap senjata nuklir,” katanya dengan mengabaikan beberapa temuan oleh inspektur nuklir PBB yang bertentangan dengan klaimnya.

Tanpa menawarkan bukti, Bolton mengatakan kepada orang banyak bahwa senjata nuklir Iran dapat dikirim melalui rudal balistik, atau diselundupkan oleh “teroris” ke AS, dan diledakkan “pada waktu yang paling cocok bagi mereka.”

Lebih dari setahun setelah membuat pernyataan-pernyataan itu, Pompeo dan Bolton sekarang berada di garis depan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri dan Bolton sebagai Penasehat Keamanan Nasional mengisi posisi pendahulunya yang dipecat oleh Presiden Trump secara tiba-tiba.

Dua penunjukan itu, dibuat pada saat Presiden AS mengancam akan menarik diri dari Kesepakatan Nuklir 2015, mengirim sinyal yang jelas kepada Pemerintah Teheran bahwa perjanjian nuklir mungkin akan gagal.

Pada Ahad, 25 Maret 2018, Juru Bicara Parlemen Iran Hossein Naghavi Hosseini mengatakan, dengan memilih Pompeo dan Bolton, Trump “membuktikan bahwa tujuan akhir AS adalah menggulingkan Republik Islam (Iran).”

 

Tidak ada harapan

Ilustrasi: peta dan bendera Iran. (Gambar: Real Iran)

Menggambarkan suasana di Iran, Amir Havasi, seorang jurnalis dan pengamat yang tinggal di Teheran, berkata, “Ada kesepakatan bahwa kesepakatan akan gagal, Mei mendatang.”

Havasi menilai, kemungkinan Teheran akan terbuka untuk dialog dengan AS tampaknya sudah lebih tidak mungkin. “Tanda-tandanya ada di mana-mana,” katanya.

Dia juga mengatakan, ekonom senior Iran telah menyatakan skeptis tentang apa yang dapat dilakukan Eropa jika Trump menolak membebaskan sanksi terhadap Iran pada waktu berikutnya.

Aniseh Bassiri Tabrizi, seorang ahli keamanan Timur Tengah di Royal United Services Institute (RUSI) London, mengatakan, kemungkinan pembebasan sanksi AS tidak akan diperbarui pada 12 Mei mendatang.

Dia mengatakan bahwa tepat setelah Rex Tillerson diberhentikan demi Pompeo, para diplomat Eropa berubah dari “optimis” dalam mencari solusi atas permintaan Trump. Mereka “mempersiapkan rencana darurat untuk membela kepentingan mereka” dalam kesepakatan yang dinamai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) itu.

Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani di Wina, Iran menurunkan kembali program pengayaan uranium dan berjanji untuk tidak mengarah ke senjata nuklir. Sebagai gantinya, sanksi internasional dicabut, memungkinkan Iran untuk bisa menjual minyak dan gasnya ke seluruh dunia. Namun, sanksi sekunder AS tetap ada.

Pembebasan sanksi dan sertifikasi pada kepatuhan Iran, dikeluarkan oleh AS setiap beberapa bulan. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menghilangkan ketakutan AS atas kesepakatan tersebut, sementara mengurangi kekhawatiran di kalangan bisnis asing yang ingin berinvestasi di Iran.
Ancaman Trump

Sejak Trump datang ke Gedung Putih, dia telah mengambil beberapa langkah untuk memblokir Kesepakatan Nuklir Iran 2015. Pada bulan Oktober 2017, dia menolak untuk menyatakan bahwa Iran hidup sesuai dengan kesepakatan. Dia juga menargetkan beberapa bisnis dan individu Iran dengan sanksi baru.

Kemudian pada 12 Januari 2018, Trump mengumumkan bahwwa dia melepaskan sanksi AS untuk “terakhir kali”. Dia mengatakan, jika tuntutannya tidak dipenuhi dalam 120 hari, AS akan menarik diri dari kesepakatan. Tenggat waktu jatuh pada 12 Mei, meskipun Trump mengisyaratkan bahwa AS bisa lepas sebelum tanggal tersebut.

Pemerintah Iran mengatakan, tidak seharusnya mereka dihukum karena mematuhi kesepakatan itu.

Bertentangan dengan klaim Trump, Teheran bersikeras tidak akan pernah mengejar pembuatan senjata nuklir.

Para pejabat Iran juga menolak tuntutan tambahan Trump untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap situs militernya dan mengakhiri program rudal balistiknya.

Mohammad Hashemi, seorang ahli politik dan jurnalis di Teheran, mengatakan, Iran memiliki hak untuk menolak lebih banyak permintaan AS karena “memiliki kekhawatiran yang sah atas pembelaannya”.

Dia mengatakan Iran belum mendapat manfaat dari kesepakatan yang ada, karena “ketakutan” investor asing terhadap sanksi AS.

Dalam beberapa bulan terakhir, Iran dihadapkan dengan protes rakyat yang menyalahkan ekonomi. Mata uangnya juga kehilangan nilai lebih terhadap dolar AS dan pengangguran tetap dalam persentase dua digit. (AT/RI-1/P1)

 

Sumber: tulisan Ted Regencia di Al Jazeera.

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.