Pemindahan Ibukota Di Tengah Geopolitik Dan Geoekonomi

Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kared Arab MINA

Babak baru periode kedua pemerintahan Jokowi telah dengan resmi mengumumkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke salah satu provinsi di pulau Kalimantan. Dengan dua calon unggulan yakni Kalimantan Timur dak Kalimantan Tengah. Lokasi pastinya belum diumumkan, tapi kriteria-kreiteria sudah disebut, antara lain di tengah-tengah Indonesia,  tak ada ancaman gempa, penduduk heterogen, tak ada konflik agama, tak ada konflik ras, aman dari kebakaran hutan, mempunyai bandara internasional, mempunyai pelabuhan samudra dll.

Pemindahan ibukota bukanlah sesuatu yang aneh. Negara anggota ASEAN seperti Myanmar pada tahun 2005 memindahkan ibukotanya dari Yangon ke Naypyidaw. Jauh sebelum itu ibukota Australia berpindah dari Melbourne ke Canberra (1927), Turki dari Istanbul ke Ankara (1923), Brazil dari Rio de Janeiro ke Brasilia (1960), Pakistan dari Karachi ke Islamabad (1967), Nigeria dari Lagos ke Abuja (1991), Kazakhstan dari Almaty ke Astana (1997).

Tetangga kita Malaysia sedikit rumit. Putrajaya menjadi pusat administrasi negara, tapi Kuala Lumpur masih tetap sebagai ibukota. Salah satu indikator disebut Ibukota negara adalah dengan terdapatnya kedutaan-kedutaan asing dan istana negara. Malaysia ada miripnya dengan Korea Selatan, banyak kantor-kantor kementerian di Sejong City, tapi istana negara di Cheongwadae, Seoul.

Kenapa harus pindah ibukota? Alasannya bisa karena geopolitik dan geoekonomi. Dari segi geopolitik dan keselamatan, Turki, Pakistan, Myanmar dan Kazakhstan berpindah karena ibukota yang lama berdekatan dengan pesisir pantai berbatasan secara langsung dengan negara tetangga bisa jadi dimaknai sebagai ancaman. 

Pemindahan ibukota juga dapat mengencangkan kembali pembangunan dalam negeri, Nigeria misalnya, ada tiga wilayah utama yang masing-masing didominasi oleh etnis Yoruba, Hausa-Fulani dan Igbo. Pemindahan ibukota dari Lagos (di kawasan Yoruba) ke Abuja (di tengah-tengah tiga kawasan) adalah agar distribusi kekayaan alam tidak diakomodir hanya oleh satu etnis. Pemindahan ibukota Brazil dari Rio ke Brasilia juga bertujuan untuk mengimbangi kesenjangan pembangunan antara wilayah pesisir dan pedalaman.

Geopolitik dan geoekonomi ada dalam isu pemindahan ibukota Indonesia. Dari aspek keamanan Jakarta terancam, tapi bukan dengan negara tetangga. Yang jadi ancaman justru adalah permukaan laut yang makin meningkat.

Permukaan laut menaik akibat dari fenomena pemanasan global di mana suhu yang luar biasa ini menyebabkan es dan gletser di kutub utara dan selatan mencair. Dampaknya, dalam 10 tahun terakhir Jakarta Utara tenggelam 2,5 meter/tahun. Jika ini terus berlanjut, Jakarta Utara diperkirakan akan tenggelam sebelum 2050.

Meskipun pusat administrasi Indonesia ada di Jakarta Pusat, jauh sedikit dari Jakarta Utara, tapi tidak mungkin harus nunggu tenggelam baru pindah, Jadi cocoklah momen ini untuk mencari ibukota yang baru.

Masalah Jakarta saat ini ada dua. Yang pertama adalah kepadatan penduduk. Kalau dibagi jumlah penduduk Jakarta 10 juta dengan luas 661.5 km2, maka sederhananya ada 15.000 orang di setiap kilometernya. Dibandingkan dengan Kuala Lumpur 7.000 orang/km tentu Jakarta jauh lebih padat. Kepadatan penduduk menimbulkan masalah; polusi udara, macet, kesehatan, turunnya kualitas hidup dan lainnya. 

Masalah kedua adalah ekonomi yang tidak merata antara provinsi. Karena Jakarta berada di pulau Jawa, maka semua pembangunan berpusat di Jawa (Jawa-centric) membuat semua orang ingin berhijrah ke Jawa dan tinggal di Jawa, akhirnya Jawa yang hanya punya luas 7% dari keseluruhan Indonesia akhirnya terpaksa menampung 58% dari jumlah penduduk Indonesia. Faktanya 58% ini juga lah yang menggenjot Gross Domestic Product (GDP) Indonesia.

7 dari 10 kota Indonesia yang banyak penduduk berada di Pulau Jawa (Jakarta, Surabaya, Bandung, Bekasi, Depok, Semarang, Tangerang). Malah 4 darinya adalah “Jabodetabek” (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) atau biasa disebut “Greater Jakarta”. Jawa-centrism ini memberi kesan seolah-olah meminggirkan provinsi Indonesia lainnya, jadi sudah tiba untuk mengalihkan “pusat gravitasi” ekonomi keluar Jakarta dan Jawa.

Di sisi lain, Kalimantan adalah pulau yang paling ideal untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk. Penduduk Kalimantan saat ini adalah 25 orang/km2  dari total 14 juta orang ÷ 544,150 km2, jauh lebih rendah dari Sumatera (107 orang/km2) dan Sulawesi (96 orang/km2). Sedangkan  Pulau-pulau di Nusa Tenggara dan Maluku berada di pinggiran kurang sesuai untuk menjadi ibukota negara.

Dan kelebihan Kalimantan yang tidak dimiliki pulau-pulau lain adalah kedudukannya yang berada di luar potensi gempa bumi dan gunung merapi. Boleh dikatakan sebagai pulau yang bebas bencana, cukup sesuai untuk dijadikan ibukota masa depan.

“Ini demi visi Indonesia Maju. Indonesia yang hidup selama-lamanya,” kata Jokowi.

Demografi Kalimantan secara keseluruhan pun agak seimbang (26% Banjar, 22% Dayak, 18% Jawa, 12% Melayu, 7% Bugis), bisa dijadikan model identitas kebangsaan Indonesia baru, jauh dari model Jawa-centric selama 7 dekade yang lalu. 

Kalau ternyata Kalimantan bagus dan cocok untuk jadi ibukota, kenapa tidak pindah dari dulu? Sebenarnya Sukarno memang terfikir untuk pindah. Soekarno sendiri pun tidak menyukai Jakarta, karena ia sebagai peninggalan penjajah Belanda yang dikenali sebagai pusat administrasi Hindia Belanda dari tahun 1619 sampai 1942 dengan nama Batavia.

Soekarno menginginkan ibukota baru yang terbebas dari pengaruh Belanda, dan beliau melihat di Kalteng sebagai kandidatnya. Dia sendirilah yang meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi Kalteng tahun 1957. Tapi karena sesudah itu banyak permasalahan terjadi seperti krisis keuangan negara, pergolakan daerah yang membutuhkan anggaran militer yang besar untuk mengatasinya, akhirnya Sukarno terpaksa menangguhkan rencana tersebut. Kini, ide mendirikan ibukota di Kalimantan direalisasikan oleh Jokowi disebut banyak menghidupkan kembali retorika dan narasi Sukarno.

Kenapa Sukarno memilih Kalimantan? Selain pandangan beliau di atas, mungkin ada kaitan dengan visi “Indonesia Raya” atau “Nusantara” yang bermodelkan kerajaan Majapahit (1293-1527). Simbol negara Republik Indonesia semua ada kaitan dengan Majapahit, dari bendera merah putih hingga slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kalimantan dikenal sebagai Nusa Tanjung Negara pada zaman Majapahit karena letaknya berada di tengah-tengah lingkungan kekuasaan Majapahit. 

Maksud Jokowi menjadi Indonesia Raya seutuhnya sejalan dengan cita-cita Indonesia menjadi kekuatan regional di kawasan, hal itu tidak pernah hilang dari bangsa Indonesia. Majapahit menjadi inspirasi atas impian tersebut.

Pemindahan ibukota Indonesia selain bertujuan untuk keamanan dan sosial ekonomi, juga melambangkan transformasi identitas Indonesia menuju arah yang potensial. 

Mungkin sekarang ini kita memandang enteng Indonesia, tapi faktanya size ekonomi Indonesia sekarang sudah masuk ke-16 besar dunia, ke-5 besar di Asia setelah Cina, Jepang, India dan Korea. 

Survey Nikkei dan PricewaterhouseCoopers (PwC) memperkirakan tahun 2050 Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi ke-4 besar di dunia setelah Cina, US dan India, bahkan lebih besar dari Jepang.

Indonesia harus tetap bangkit, negara-negara tetangga bukan lagi bandingan bagi Indonesia di masa depan, Misalnya Malaysia dengan size ekonomi 1/3 dari Indonesia. Saat ini Malaysia unggul sedikit dari sektor ekspor dan GDP per kapita, tapi itu tidak akan bertahan lama jika Indonesia terus konsisten. 

Masalah Indonesia sekarang adalah infrastruktur, dan Jokowi terus berupaya menyelesaikan masalah. Setelah semua infrastruktur siap, maka ia bisa langsung melepas kekuatannya. Berkaca pada sejarah kebangkitan Amerika Serikat menjadi negara adidaya di Amerika Utara, kuncinya tiada lain adalah infrastruktur. (A/RA-1/P1)

Miraj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.