Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poligami Solusi Melindungi Janda Suriah

Rudi Hendrik - Rabu, 14 September 2016 - 21:54 WIB

Rabu, 14 September 2016 - 21:54 WIB

1162 Views

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Enam bulan setelah suami Maha (31) terbunuh dalam perang saudara Suriah, ibu dua anak ini mengambil keputusan untuk menjadi istri kedua.

Sejak suaminya meninggal, Maha sendirian bersama anak-anaknya. Kondisi itu terasa sangat sulit baginya. Tinggal di dekat ibukota, ia telah menyaksikan pertempuran hebat antara pasukan pemerintah dan oposisi.

Menikah lagi adalah saran dari sepupunya.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Kini, Hama tinggal bersama istri pertama dan anak-anaknya.

“Itu adalah keputusan yang sulit, karena istrinya adalah teman saya,” kata Maha melalui telepon kepada kantor berita AFP, tempat ia menceritakan kisahnya.

Seiring ribuan orang Suriah mati di garis depan peperangan yang dimulai sejak Maret 2011 dan sebagian dipaksa ke pengasingan atau menghilang, tingkat perceraian dan poligami di Suriah meningkat.

Menurut angka resmi, hubungan poligami menyumbang jumlah 30 persen dari pernikahan yang terdaftar di Damaskus pada 2015, naik lima persen dari tahun 2010.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

“Kami memiliki lebih banyak perempuan daripada laki-laki di sini. Saya dan empat teman memutuskan untuk mengambil perempuan janda sebagai istri kedua untuk melindungi reputasi mereka,” jelas Mohammed, suami baru Maha.

Lebih dari 290.000 orang telah tewas di Suriah, angka lain bahkan lebih 400.000 jiwa. Sementara jutaan telah meninggalkan rumah mereka ke negara-negara tetangga.

Bagi mereka yang tetap memilih tinggal di dalam Suriah, pertempuran telah mengoyak keluarga mereka dan menempatkan tekanan besar pada pasangan suami isteri yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan, pengangguran dan kekerasan.

Lebih Banyak Perempuan

Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga

Di Suriah, hukum status pribadi bagi umat Islam, yang diterapkan dalam isu-isu perkawinan, perceraian dan warisan, berasal dari hukum agama.

Adapun kelompok agama lain, seperti Kristen dan Druze, diatur oleh pengadilan agama mereka sendiri.

Laki-laki Muslim Sunni diizinkan untuk mengambil empat istri dengan syarat bahwa ia memperlakukan para istrinya dengan adil.

Saat ini, praktek poligami cukup jarang di banyak negara Muslim. Banyak negara menempatkan pembatasan dalam pernikahan.

Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi

Di Suriah, diatur batas perbedaan usia antara pasangan dan ada jaminan bahwa suami dapat menyediakan rumah terpisah untuk masing-masing istrinya.

Tapi, ketidakseimbangan yang diciptakan oleh perang telah memaksa otoritas keagamaan menjadi lebih longgar.

“Banyak pria yang mati, hilang atau pergi ke luar negeri,” kata hakim Mahmud Al-Maarawi, kepala pengadilan agama yang mengawasi masalah status pribadi untuk Muslim Sunni Suriah.

“Jadi ada lebih banyak perempuan daripada laki-laki, dan solusi dari sudut pandang hukum dan agama adalah poligami,” katanya.

Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan

Pengadilan agama telah mencabut pembatasan yang diberlakukan oleh hukum untuk memungkinkan seorang pria beristeri dua.

“Ini telah memecahkan banyak masalah,” kata hakim Maarawi.

Bagi banyak wanita, keputusan untuk menikah dengan seorang pria yang sudah menikah adalah cara keluar dari kesulitan ekonomi.

“Wanita yang dalam kondisi biasa akan menolak, sekarang setuju untuk menikah dengan pria sudah menikah yang dapat memberikan mereka rasa dilindungi,” kata psikolog Leila Al-Sherif.

Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina

Ilustrasi. (Foto: AFP/ OZAN KOSE)

Ilustrasi. (Foto: AFP/ OZAN KOSE)

Menikahi Penyewa

Isteri kedua Abu Adnan (46) adalah seorang yang ngontrak di rumah besar di Kota Tua di Damaskus. Karena janda yang menyewa tempat tinggal di rumah miliknya tidak bisa membayar biaya sewa, maka Abu Adnan memutuskan untuk melamarnya. Keputusan itu diterima oleh isteri pertamanya, terlebih pasangan tersebut belum memiliki anak.

“Itu lebih baik daripada menempatkan dia di jalan,” kata Abu Adnan. “Istri pertama saya menerima karena kami belum bisa memiliki anak. Dia berharap saya akan bisa memiliki anak laki-laki.”

Sementara itu, Sabah Al-Halabi (44), seorang ibu dari lima anak, suami pertamanya meninggalkan ia dan anak-anaknya setelah kehilangan pekerjaannya di awal konflik.

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

Sabah memilih untuk menikah dengan Mamduh (68), karena ia ingin kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Ia pun harus mendaftarkan pernikahannya di Damaskus.

Perceraian Meningkat

Perang juga telah menyebabkan meningkatnya jumlah perceraian. Pemerintah mencatat 7.000 kasus pada tahun 2015, meningkat 25 persen dari 5.318 pada tahun 2010.

Banyak pasangan yang terpaksa hidup bersama keluarga mereka karena alasan ekonomi yang kemudian menciptakan tekanan pada pernikahan mereka.

Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti

Ada juga sengketa antara pasangan ketika satu pihak ingin pindah dan yang lainnya takut melakukan perjalanan atau berada jauh dari keluarga mereka.

Dalam beberapa kasus, suami menuntut perceraian setelah bertemu perempuan di luar negeri, atau istri telah menceraikan suami yang telah meninggalkan mereka di belakang.

Hukum Suriah memungkinkan istri untuk menceraikan suami jika ia dapat membuktikan suaminya telah tidak pernah memberi nafkah minimal satu tahun.

Tapi Fawziyeh (43) menunggu selama tiga tahun sebelum ia memulai proses menceraikan suaminya.

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman

Fawziyeh ditinggal pergi ke Swedia oleh suaminya sebagai pengungsi. Setelah menunggu tiga tahun, tinggal bersama tiga anaknya di rumah orangtuanya, ia merasa sudah cukup lama menunggu.

“Saya menceraikannya. Menunggu itu sulit dan sekarang saya bebas untuk menikah dengan siapa pun yang saya inginkan,” kata Fawziyeh. (T/P001/P4)

Sumber: tulisan Rim Haddad di AFP dan Al Araby

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina

Rekomendasi untuk Anda

Feature
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia