Jakarta, MINA – Kendati Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan meninggalkan banyak permasalahan di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, namun masyarakat pers teguh berkeyakinan bagi pers yang berlaku tetap Undang-Undang Pers.
”Prinsipnya, undang-undang yang khusus menyingkirkan undang-undang yang bersifat umum, kecuali dinyatakan lain dalam undang-undang yang belakangan,” ujar Prof Bagir Manan, yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2001—2008, dalam Diskusi Publik di sekretariat PWI Pusat, Jakarta, Kamis (22/12).
Menurutnya, hukum yang baik harus dibuat dengan adil dan bertanggung jawab. Adil harus memberikan kepuasan sebanyak mungkin orang. Kalau ada banyak yang tidak puas, harus dicari di mana letak ketidakpuasannya.
Adapun bertanggung jawab, jelas Ketua Dewan Pers periode 2010-2016 itu, ada dua. Pertama, tanggung jawab politik dan kedua tanggung jawab moral.
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan
“Dalam konteks ini jangan sampai pelaksanaan KUHP nanti menjadi kesewenang-wenangan yang menjadi ketidakpuasan banyak orang,” kata Bagir.
Dalam acara itu, Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari menegaskan, kemerdekaan pers tak mungkin dilepaskan dari dukungan masyarakat yang demokrasi. Keduanya saling berkaitan erat karena saling mempengaruhi.
”Di sinilah kami melihat beberapa pasal KUHP bermasalah dalam mengembangkan masyarakat yang demokrasi,” tegas Atal.
Selanjutnya Atal mengungkapkan, pihaknya akan menyusun program untuk mensosialisasikan permasalahan-permasalahan KUHP sekaligus mencari jalan terbaik untuk mengatasinya.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
“Kita bisa pilah-pilah dan fokus pada aspek-aspek tertentu,” katanya.
Pada diskusi publik yang diikuti pengurus PWI di seluruh Indonesia melalui daring itu selain Bagir Manan tampil juga sebagai pembicara, dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al-Araf, serta pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik Wina Armada Sukardi. Bertindak sebagai moderator Agus Sudibyo.
KUHP Baru Tertinggal Dua Abad
Pakar Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wina Armada Sukardi menguraikan, sekitar 200 tahun lalu di Amerika Serikat ada Sedittion Act atau UU tentang Penghasutan. UU ini membawa korban dua wartawan AS yang ditangkap dan dihukum berdasarkan undang-undang itu.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Dalam perkembangannya kemudian, UU ini tidak dipakai lagi karena dianggap Supreme Court atau Mahkamah Agung AS bertentangan dengan konstitusi Amerika dan kemerdekaan bereskpresi, termasuk kemerdekaan pers.
Menurut Wina Armada, isi UU Penghasutan yang berlaku 200 silam di AS itulah yang kini diberlakukan dalam KUHP yang baru disahkan.
“Dengan demikian dapat disimpulkan, isi KUHP baru kita, sebenarnya, sudah tertinggal sekitar 200 tahun atau dua abad dibanding perundangan modern lainnya,“ pungkas Wina.
Atas dasar itu Wina berpendapat, KUHP baru cuma mengganti baju dari KUHP produk penjajah, namun substansi terkait pasal-pasal demokrasi, lebih buruk dari produk kolonial.
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia
Wina mempertegas pendapat dari Bagir Manan, lantaran UU Pers No 4O Tahun 1999 bersifat primaat atau priviil alias undang-undang yang diutamakan dan dikedepankan, khusus untuk pers tetap berlaku UU Pers.
“Bukan KUHP,” tegasnya.
Pada sisi lain Al-Araf menguraikan, paradigma pembuat KUHP masih melindungi kekuasaan. Atas semangatnya untuk menghukum.
Selain itu dia melihat para perumus KUHP baru mencampur-adukkan antara hukum administrasi dan hukum pidana.
Baca Juga: Longsor di Salem, Pemkab Brebes Kerahkan Alat Berat dan Salurkan Bantuan
“Akibatnya banyak pasal, filosofinya tidak jelas, multi tafsir,” tutur Al-Araf.
Hal ini, lanjutnya, membuat penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh pemerintah dan para pembuat UU tidak dapat menjawab rasionalitas pembentukan banyak pasal-pasal KUHP ini.
Dia memberi contoh, ketentuan tentang pasal larangan demonstrasi yang tanpa izin dan merusak fasilitas publik atau menggangu kepentingan umum.
”Seharusnya yang dilarang merusak fasilitas publik atau mengggangu kepentingan umumnya, bukan larangan demonstrasi yang tanpa izin,” katanya.
Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman
Al-Araf menyayangkan proses pembuatan KUHP hanya melibatpkan ahli hukum, itu pun hanya dari hukum pidana yang berkecenderungan menghukum saja.
”Padahal karena pidana melibatkan kepentingan publik, seharusnya juga melibatkan ahli-ahli hukum di luar hukum pidana, bahkan ahli lain seperti ahli filasat dan sosiologi,” pungkasnya.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pembukaan Silaknas ICMI, Prof Arif Satria: Kita Berfokus pada Ketahanan Pangan