DALAM kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang salah menafsirkan kesantunan sebagai kelemahan. Seseorang yang berbicara dengan lemah lembut, memilih untuk diam saat diprovokasi, atau mengalah dalam konflik seringkali dianggap tidak tegas, lemah, atau tidak mampu bersaing. Padahal, sejatinya santun bukanlah simbol kelemahan, melainkan cerminan kekuatan sejati yang lahir dari kedalaman jiwa dan kematangan emosi.
Kesantunan adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan penghargaan, kepedulian, serta penghormatan terhadap orang lain. Ia tercermin dalam tutur kata, bahasa tubuh, dan cara seseorang berinteraksi, baik dalam kondisi normal maupun dalam situasi konflik. Orang yang santun tidak serta merta melawan saat berbeda pendapat, tidak mudah melontarkan kata-kata kasar, dan mampu mengendalikan emosi dengan baik.
Kesantunan bukan sekadar basa-basi atau sopan santun formalitas. Ia adalah sikap batin yang mencerminkan kedewasaan seseorang. Mereka yang santun menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali atas diri sendiri, tidak mudah terprovokasi, dan memiliki empati terhadap sesama.
Dalam masyarakat yang kompetitif dan serba cepat, nilai-nilai seperti keberanian berbicara keras, sikap dominan, dan gaya komunikasi agresif seringkali dipuja. Mereka yang tampil tenang, tidak reaktif, dan memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah dianggap pasif atau tidak memiliki daya juang.
Baca Juga: Filosofi Kopi, Penuh Hikmah dalam Secangkir Kehidupan
Padahal, orang yang kasar atau mudah marah seringkali justru menunjukkan kelemahan dalam mengontrol diri. Mereka menyerang karena merasa terancam, membentak karena tidak bisa mengelola ketidaknyamanan. Di sisi lain, kesantunan memerlukan pengendalian diri, kejernihan berpikir, serta kemampuan membaca situasi dan perasaan orang lain—sebuah keterampilan yang tidak mudah dimiliki semua orang.
Santun Adalah Keberanian yang Bijak
Memilih untuk santun dalam situasi yang menantang bukan berarti tidak berani, justru itu adalah bentuk keberanian yang lebih tinggi: keberanian untuk tidak terjebak dalam ego, keberanian untuk menjaga perdamaian, dan keberanian untuk berpikir jernih saat emosi sedang tinggi.
Contoh nyata bisa dilihat dalam tokoh-tokoh besar dunia seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga Nabi Muhammad SAW. Mereka menghadapi tekanan luar biasa, namun memilih jalan kesantunan dan kelembutan sebagai senjata perubahan. Bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka tahu bahwa kekuatan sejati bukan pada otot atau suara keras, melainkan pada hati yang tenang dan akal yang tajam.
Dalam ajaran Islam, kesantunan adalah bagian dari akhlak mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan akan membuatnya buruk.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Impian Besar Butuh Doa dan Tindakan Nyata
Dalam Al-Qur’an, Allah juga memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata lemah lembut bahkan kepada Fir’aun yang sangat zalim, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut.” (Qs. Thaha: 44)
Ayat dan hadis ini menjadi bukti bahwa santun bukan kelemahan, tetapi justru senjata ampuh dalam menghadapi kezaliman sekalipun. Islam tidak mengajarkan agresi dan kekasaran sebagai cara menyelesaikan masalah, melainkan mendorong umatnya untuk menampilkan akhlak terbaik bahkan kepada orang yang menyakiti sekalipun.
Orang yang santun cenderung lebih dipercaya, lebih disukai, dan lebih dihargai. Dalam dunia kerja, komunikasi yang santun membuka ruang kolaborasi dan memperkuat jaringan. Dalam keluarga, kesantunan membangun rasa hormat dan kasih sayang. Dalam masyarakat, ia menjadi fondasi perdamaian dan kerukunan.
Sebaliknya, sikap kasar dan meledak-ledak seringkali hanya menimbulkan luka dan konflik berkepanjangan. Ucapan yang menyinggung, walau hanya beberapa detik, bisa membekas bertahun-tahun. Karena itu, kesantunan bukan hanya kekuatan, tapi juga investasi sosial jangka panjang.
Baca Juga: Rencana Tanpa Aksi adalah Mimpi
Kesantunan dan Kecerdasan Emosional
Santun erat kaitannya dengan kecerdasan emosional. Orang yang cerdas secara emosional mampu mengenali dan mengelola emosinya, serta memahami perasaan orang lain. Mereka tidak akan serta merta menyalahkan, menyindir, atau merendahkan orang lain meskipun memiliki alasan untuk marah. Mereka lebih memilih menyampaikan kritik dengan cara yang elegan, menyelesaikan konflik tanpa menyakiti, dan mendengarkan tanpa menghakimi.
Kesantunan juga mencerminkan bahwa seseorang telah “menang” terhadap dirinya sendiri. Menang melawan ego, amarah, dan hawa nafsu untuk membalas. Inilah kemenangan sejati yang tidak bisa diraih oleh mereka yang membiarkan emosinya menguasai akal sehat.
Dunia hari ini membutuhkan lebih banyak orang yang santun. Di tengah percakapan yang dipenuhi caci maki, media sosial yang penuh ujaran kebencian, serta hubungan antarindividu yang mudah renggang karena perbedaan sepele, kesantunan adalah jalan keluar yang menyejukkan.
Mari kita ubah cara pandang: santun bukanlah tunduk atau takut, tetapi bentuk kematangan, keberanian, dan kekuatan jiwa. Ia bukan tanda kelemahan, tetapi bukti bahwa seseorang mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam segala keadaan.
Baca Juga: Jadilah Berkah, Bukan Sekedar Berhasil
Jadilah pribadi yang santun, bukan karena ingin dipuji, tetapi karena sadar bahwa dunia ini hanya bisa damai jika diisi oleh orang-orang yang memilih kelembutan daripada kekerasan, memilih memahami daripada menghakimi, dan memilih memaafkan daripada membalas dendam. Itulah kekuatan sejati.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Transformasi Digital dan Inklusi Keuangan Syariah Jadi Sorotan di Forum Global IsDB ke-19