Sekjen. Kemristedikti: Program Studi Aktuaria Masih Kurang

Jakarta, MINA – “Pendidikan Aktuaria merupakan studi tentang pengelolaan risiko keuangan yang saat ini sangat dibutuhkan dunia industri keuangan dan industri asurans, namun, pendidikan aktuaria di Indonesia belum sepopuler di luar negeri,” demikian Sekretaris Jenderal Kementetian Riset, Pendidikan, dan Pendidikan Tinggi  Ainun Na’im.

Berbicara pada Simposium Nasional Aktuaria di Era Industri 4.0 di Jakarta, Kamis (6/12), ia mengungkapkan,  belum banyak di Indonesia, namun industri keuangan dan asuransi terus berkembang.

“Oleh karena itu kita perlu menambah prodi dan pendidikan di bidang aktuaria, untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten pada bidang aktuaria,” kata Ainun.

Saat ini, tuturnya,  terus melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada masyarakat dan calon mahasiswa bahwa bidang aktuaria penting untuk dikembangkan. Pendidikan aktuaria juga sangat relevan dengan perkembangan revolusi industri 4.0.

“Saat ini ekonomi digital semakin berkembang, sehingga pengelolaan risiko keuangan di era digital juga mengalami transformasi,” ujarnya.

Kemenristekdikti juga mendorong perguruan tinggi untuk membuka program studi aktuaria. Sebagai pilot project, Kemenristekdikti menugaskan sembilan perguruan tinggi untuk mengembangkan program ilmu aktuaria, yaitu: Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Pelita Harapan, Universitas Prasetiya Mulya, Universitas Parahyangan, dan Universitas Surya.

“Tujuan pengembangan program aktuaria selain membuka kesempatan generasi muda untuk menempuh pendidikan ilmu aktuaria di perguruan tinggi. Hal ini juga meningkatkan jumlah dan kualitas lulusan ilmu aktuaria di Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan tenaga aktuaris yang terus meningkat,” tuturnya.

Program studi aktuaria didorong untuk menerapkan model pembelajaran Co-operative Education atau Belajar Bekerja Terpadu, yang mengkombinasikan studi akademis dengan pengalaman bekerja di perusahaan; Memberi bekal soft skill dan professional skill set kepada mahasiswa sehingga mereka lulus dengan nilai tambah (value added); Mengintegrasikan dengan pengalaman kerja di perusahaan sebagai tenaga kerja profesional.

“Walaupun ada konsekuensi masa studi bisa lebih dari empat tahun, namun mahasiswa memiliki nilai lebih (added value) dengan pengembangan kemampuannya, sehingga mereka cepat diterima kerja setelah lulus,” paparnya.

Hadir pada acara tersebut antara lain, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Direktur READI project Jean Lowry, Ketua Umum Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) Fauzi Arfan, Perwakilan universitas terkait, pejabat eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, serta tamu undangan lainnya. (R/R09/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)