Shalat Istisqa Ikhtiar Minta Hujan Saat Kemarau

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Da’i Ponpes Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Sudah cukup lama tak turun hujan. Beberapa daerah mulai kekeringan, cuaca panas tak tertahankan, tanaman-tanaman pun tampak kekuningan.

Beberapa daerah berupaya mengatasi kekurangan air dengan menggali tanah lebih dalam lagi hingga ratusan meter di kedalaman. Pihak terkait mulai menyediakan tangki air bersih keliling, hingga upaya mengadakan hujan buatan.

Semua upaya fisik itu sebagai bagian dari ikhtiar di bumi yang perlu diperkuat dengan tawakkal ke langit.

Upaya tawakkal itu tidak lain adalah dengan memohon kepada Allah Sang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya, Yang menciptakan musim dan yang mengirimkan hujan, dan yang menggerakkan awan. Upaya itu yakni melalui , shalat , secara berjamaah.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari menjelaskan, shalat istisqa adalah shalat meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan dan tata cara tertentu.

Dengan shalat dua rakaat berjamaah, seperti shalat Ied, shalatpun dilakukan di tanah lapang.

Disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu , bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, saat musim kemarau panjang, keluar menuju tanah lapang kemudian shalat istisqa. Nabi berjalan dari kediamannya menuju lapangan dengan tertunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri kepada Allah.

Ini sangat berbeda ketika keluar untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha dalam keadaan bersuka cita dan memakai baju baru. Termasuk dianjurkan memakai pakaian yang sederhana sebagai bentuk ketawadhuan dan pengharapan.

Tata Cara Shalat Istisqa

istisqa’ artinya meminta curahan air penghidupan (thalab al-saqaya). Para ulama Fiqh mendefinisikan Shalat Istisqa sebagai shalat sunnah muakkadah yang dikerjakan untuk memohon kepada Allah agar menurunkan air hujan.

Pelaksanaan shalat istisqa hampir sama dengan pelaksanaan shalat Ied, tidak diawali dengan adzan maupun iqamah. Hanya diumumkan saja kepada umat bahwa akan dilaksanakan shalat istisqa jam berapa dan di tempat mana.

Ulama ahli fiqih menganjurkan, agar tiga hari sebelum  shalat istisqa dilaksanakan, terlebih dahulu seorang pemimpin atau ulama setempat menyerukan kepada masyarakat agar melaksanakan puasa sunah dan bertaubat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan serta kembali beribadah, menghentikan perbuatan yang zalim dan mengusahakan perdamaian, serta gemar bersedekah.

Setelah semua berkumpul di tanah lapang, imam shalat yang sekaligus khatib berdiri di depan makmum, kemudian shalat dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan khutbah.

Sama seperti shaat Ied, pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram (takbir pertama), dilanjutkan bertakbir 7 (tujuh) kali dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud, bertakbir 5 (lima) kali.

Setelah takbir ketujuh, kemudian membaca doa iftitah, surat al-fatihah, dan surat. Tidak ada surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca, sehingga bisa membaca surat apapun.

Ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya sampai berdiri pada rakaat kedua, sama dengan shalat seperti biasanya. Begitu juga pada rakaat kedua, setelah takbir 5 (lima) kali, membaca al-fatihah, surat, begitu seterusnya sampai salam. Setelah itu imam shalat melaksanakan khutbah.

Namun sebagian ulama ahli fiqih juga berpedapat bahwa tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir tujuh dan lima sebagaimana pada shalat Ied.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini mengatakan bahwa mengerjakan yang mana saja dari dua cara tersebut adalah boleh dan baik.

Khutbah Istisqa

Khutbah shalat istisqa memiliki beberapa ciri atau ketentuan tersendiri, antara lain: Khatib disunahkan memakai selendang/sorban.

Pada khutbah pertama hendaknya membaca  istighfar 9 (sembilan)  kali sedangkan pada khutbah kedua 7 (tujuh) kali. Isi khutbah berupa anjuran untuk memperbanyak beristighfar dan merendahkan diri kepada Allah, serta berkeyakinan bahwa permintaannya akan dikabulkan oleh Allah.

Pada khutbah kedua khatib berpaling, dari yang sebelumnya menghadap jamaah, kemudian berpaling menghadap ke arah kiblat (membelakangi makmum) dan berdoa bersama-sama, dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Di samping itu, khatib mengubah posisi sorban yang diletakkan pada bahu/pundak, yaitu dengan meletakkan posisi yang di atas dibalik ke bawah, serta yang kanan dibalik ke kiri dan sebaliknya. Hal tersebut sebagai tanda pengharapan kepada Allah agar mengubah kondisi kemarau menjadi penuh hujan rahmat dan manfaat.

Dengan shalat Istisqa berarti adanya perhatian dari pimpinan dan tokoh umat terhadap nasib rakyatnya. Di samping mendapatkan pahala karena melaksanakan ibadah sesuai sunnah, juga akan mendatangkan manfaat seiring dengan turunnya hujan setelah Shalat Istisqa, dengan izin Allah. Wallahu a’lam. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.