Tata Cara Berwudhu Wanita Istihadhah

Oleh Taufiqurrahman,Lc. Redaktur MINA Bahasa Arab

Definisi Istihadhah

Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan istihadhah. Hanya saja ada beberapa sifat dalam istihadhah yang disepakati ulama, di antaranya statusnya sebagai darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar siklus haid & nifasnya, berwarna merah, tidak bau, teksturnya lembut dan tidak menggugurkan kewajiban shalat, puasa dan tawaf karena statusnya adalah sebagai wanita suci (bukan hadats).

Selain persoalan itu, mereka berbeda-beda pendapat seputar cara membedakan darah istihadhah dengan haidh atau nifas dari sisi waktu, bersetubuh dengan wanita mustahadhah dan wudhunya mustahadhah.

Pembahasan dalam tulisan ini hanya terfokus pada topik terakhir di atas, tata cara bagi wanita mustahadhah.

Hukum Wudhu bagi Mustahadhah

Para ulama berbeda pendapat terkait tata cara bersuci bagi wanita mustahadah. Berikut ini adalah pandangan para ulama madzhab popular yakni Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliah seputar itu.

Madzhab Hanafiyah

Ulama Hanafiyah memandang wanita mustahadhah wajib berwudhu di setiap waktu shalat1. Ini berarti ia bisa menunaikan beberapa kali shalat baik fardhu ataupun sunnah dengan sekali wudhu selama masih berada di dalam satu waktu shalat.2

Mereka memaknai hadits-hadits yang menyebut adanya perintah wudhu untuk setiap satu shalat dengan makna wudhu untuk setiap waktu shalat atau wudhu di setiap satu waktu shalat. Di antara hadits tersebut adalah hadits dari Saudah binti Zam’ah di mana ia berkata,

Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda :

“المستحاضة تدع الصلاة أيام أقرائها التي كانت تجلس فيها، ثم تغتسل غسلاً واحداً ثم تتوضأ لكل صلاة”

“Dia (wajib) meninggalkan shalat pada saat hari-hari haidnya kemudian mandi dan berwudhu setiap hendak shalat. Setelah itu dia (wajib) shalat dan puasa.” (HR Ath Thabrani dalam kitab Al Ausath).

Lafadz لكل صلاة dimaknai oleh mereka لكل وقت صلاة diantaranya berdasarkan firman Allah Ta’ala :

{ أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ }

“Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh,” (QS Al Israa : 78).

Makna لِدُلُوكِ الشَّمْسِ menurut mereka adalah لوقت دلوكها (untuk waktu tergelincirnya)3

Misalnya Fatimah yang sedang safar dan dalam keadaan istihadhah hendak menunaikan shalat dhuhur dan ashar secara jama’ di waktu dhuhur. Sebelum ia menunaikan shalat jama’ tersebut ia menunaikan shalat sunnah qobliyah (shalat sunnah rowatib). Untuk itu ia pun berwudhu.

Fatimah berdasarkan madzhab Hanafiah cukup sekali berwudhu untuk menunaikan tiga shalat tersebut. Namun bila setelah wudhu dia tidak kunjung menunaikan tiga shalat tersebut hingga masuk waktu ashar, maka ia harus berwudhu kembali lalu menunaikan shalat jama’ di waktu ashar.

Madzhab Maliki

Ulama madzhab Maliki punya pandangan lain. Menurut mereka wanita mustahadhah tidak wajib atasnya wudhu untuk setiap kali shalat4. Mereka tidak menilai darah istihadhah menyebabkan batalnya wudhu. Hukum wudhu bagi wanita mustahadhah hanyalah sunnah.5

Menurut mereka darah istihadhah adalah darah penyakit. Status ini sama hukumnya dengan darah penyakit yang keluar dari tangan atau kaki, yang menurut pendapat yang shahih darah tersebut tidak membatalkan wudhu. Jika demikian maka darah istihadhah juga tidak membatalkan wudhu.

Keluarnya darah tersebut dari kemaluan tidak lantas membuat darah tersebut berbeda hukumnya dengan darah penyakit yang keluar dari anggota tubuh lainnya. Sebab air mani pun meski keluar dari kemaluan ia tetap dihukumi suci atau tidak najis.

Selain itu dikuatkan pula oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radliallahu’anha di mana Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda kepada Fatimah bin Hubaisy yang bercerita tentang dirinya yang istihadhah dan bertanya apakah ia harus meninggalkan shalat?, beliau pun menjawab,

“إنَّما ذلكِ عِرقٌ، وليس بالحَيضةِ، فإذا أقبلَت الحيضةُ، فاتركي الصَّلاةَ، فإذا ذهب قَدرُها، فاغسلي عنك الدَّمَ، وصلِّي”

“Sesungguhnya itu adalah darah penyakit dan bukan darah haid. Jika haid kamu datang maka tingalkanlah shalat, dan jika telah berlalu masa-masa haid, maka bersihkanlah darah darimu lalu shalatlah.” (HR Bukhari, 295)

Hadits tersebut tidak menyebutkan perintah berwudhu. Sekiranya itu wajib, tentu beliau tidak diam.6

Misalnya, Fatimah yang sedang istihadhah hendak menunaikan shalat Maghrib dan sunnah ba’diyah. Kemudian ia berwudhu lalu menunaikan dua shalat tersebut. Hingga waktu Isya tiba, ia masih dalam keadaaan suci alias tidak mengalami keadaan-keadaan yang menyebabkan batalnya wudhu seperti hadats kecil atau besar.

Berdasarkan Madzhab Maliki, Fatimah tidak perlu berwudhu kembali dan ia bisa langsung menunaikan shalat Isya. Sebab keadaannya tidak beda dengan keadaan wanita suci yang tidak istihadhah.

Madzhab Syafi’i

Dalam pandangan Syafi’iyah, wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak menunaikan shalat fardhu. Baik itu shalat yang ditunaikan pada waktunya ataupun shalat qodho. Adapun shalat sunnah, maka boleh baginya menunaikannya tanpa berwudhu, jika dia dalam keadaan suci. 7

Ulama Syafi’iyah berdalil dengan hadits ‘Aisyah radliallahu’anha tentang Fatimah binti Abi Hubaisy yang diriwayatkan oleh Abu Daud di mana disebutkan dalam hadits tersebut sebuah tambahan redaksi yang berbeda dari apa yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Tambahan tersebut yakni,

“وَتَوَضَّئِي لِكُلَّ صَلَاةٍ”

“Dan berwudhulah pada tiap shalat,”

Hadits tersebut dinilai shahih oleh mereka dan dikhususkan maknanya hanya pada shalat fardhu saja. Sehingga dengan tambahan redaksi tersebut menunjukan bahwa wanita mustahadhah wajib berwudhu untuk setiap shalat wajib.

Misalnya, dalam kasus Fatimah di atas, yang hendak menunaikan Maghrib, berdasarkan Madzhab Syafi’iyah ia boleh menunaikan shalat sunnah ba’diyah tanpa berwudhu kembali. Tapi ia harus berwudhu kembali untuk shalat Isya, meskipun ia tidak mengalami hadits baik kecil maupun besar.

Madzhab Hanbali

Seperti halnya pandangan ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah juga mewajibkan wanita mustahadhah untuk berwudhu untuk setiap waktu shalat.8

Selain persoalan wudhu wanita mustahadhah, para ulama juga berbeda pandangan seputar tata cara mandi wanita mustahadhah.

Insya-Allah topik ini akan dibahas di artikel berikutnya.

  1. Al Ikhtiyar li ta’liil al Mukhtaar (3/508), Hasyiah Ibn ‘Abidin (1/504), al Bahr al Raaiq (1/266), Badaai’ al Shanai’ (1/28).
  2. Al Fiqh al Islami wa adillatuhu (1/529)
  3. Mausu’ah Ahkam al Thaharah (8/144)
  4. Mawahib Al Jalil (1/291)
  5. Bidayatul Mujtahid (1/54)
  6. Adz Dzakhirah lil Qarafi (1/389).
  7. Raudhatu Al Thalibin (1/125, 147)
  8. Al Mughni (1/421).

(A/RA02/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.