Terorisme dan Islamofobia Global

Masjid Al-Noor, di Kota Christchurch, Selandia Baru, satu dari dua masjid yang menjadi saksi bisu serangan teroris pada Jumat, 15 Maret lalu.

Oleh: Rendi Setiawan, Wartawan MINA

Masih membekas jelas di ingatan kita dengan aksi penembakan massal pada malam tanggal 29 Januari 2017 di Centre Culturel Islamique de Quebec, sebuah masjid di Sainte-Foy, Kota Quebec, Kanada yang menyebabkan enam orang meninggal dunia dan delapan terluka.

Kejadian teror mengerikan itu dilakukan oleh dua pria bersenjata usai Salat Isya, sekita pukul 19.55 waktu setempat. Saat itu, ada sekitar 53 orang berada di masjid pada saat penembakan. Pihak otoritas Quebec dan Kanada langsung mengeluarkan pernyataan bahwa aksi penembakan tersebut merupakan serangan teroris.

Tak hanya di Kanada, aksi teror terhadap Muslim juga terjadi di Eropa. Sebuah masjid yang masih dibangun di Kota Duisburg, Jerman Barat, diserang oleh beberapa orang tak dikenal tepat di malam pergantian tahun baru 2019. Seorang pengurus masjid mengatakan, mereka mengotori bangunan dengan slogan rasis.

Seperti dilaporkan Anadolu Agency (AA) di hari yang sama, para penyerang melakukan teror dengan menggambar Bintang David –sesuatu yang dimaklumi menjadi lambang kebanggaan penganut Zionisme– di tembok Masjid Maulana, yang berafiliasi dengan Kelompok Nasional Masyarakat Islam-Turki (IGMG).

Penyerangan dua masjid di Selandia Baru menjadi kabar duka teranyar bagi dunia Islam. Penembakan brutal pertama dilancarkan di Masjid Al Noor, Jumat (15/3/2019) pukul 13.45 waktu setempat. Penembakan itu menewaskan sekitar 40-an warga sipil.

Menurut laporan AP News, penembakan kedua dilancarkan di Masjid Linwood dan menewaskan 10 warga sipil.

Pihak keamanan setempat menyebut hari tersebut sebagai yang paling kelam. Hal ini dapat dipahami mengingat kejahatan kekerasan (kriminal) jarang terjadi di negeri yang wilayahnya berada di paling selatan belahan dunia itu.

Masih menurut laporan pihak keamanan, tingkat pembunuhan di negara itu juga berada pada titik level terendah dalam 40 tahun terakhir. Laporan lain yang dikeluarkan pada 2017 lalu mencatat hanya ada 35 kali serangan per tahun. Tidak heran jika insiden berdarah kali ini benar-benar mengejutkan.

Dua tahun sebelum serangan di Selandia Baru, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ketika mengunjungi komunitas masyarakat Turki di New York, Amerika Serikat, memberikan pidato yang menyebut bahwa masyarakat internasional sedang terjangkiti virus islamofobia.

“Jika teroris itu ternyata mengaku seorang Muslim, maka agamanya, kitabnya, jihadnya atau takbirnya akan disebut-sebut atau dikait-kaitkan. Mengapa ini bisa terjadi? Tidak lain dan tidak bukan karena banyak di antara masyarakat internasional saat ini sedang terjangkit islamofobia,” kata Erdogan, seperti diabadikan Cordova Media.

Stigma

Definisi terorisme sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan, baik di tingkat internasional maupun di masing-masing negara.

Indriyanto Seno Adji dalam bukunya ‘Terorisme: Tragedi Umat Manusia’ menjelaskan, kata teroris dan terorisme berasal dari kata latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan.

Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Terorisme bukan label untuk kelompok tertentu, agama tertentu, suku tertentu ataupun ras tertentu. Sejatinya, siapa saja yang melakukan serangan secara terkoordinasi bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat, maka dia layak disebut teroris.

Belakangan justru istilah terorisme selalu dijubahkan terhadap komunitas agama tertentu. Hal itu terjadi pasca serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001 lalu.

Dalam pidato di depan Kongres tak lama setelah serangan 11 September, Presiden George Bush Sr. saat itu menyampaikan gagasannya mengenai perang melawan teror.

“Musuh Amerika bukanlah teman Muslim kita, bukan teman Arab kita. Musuh kita adalah jaringan radikal teroris, dan setiap pemerintah yang mendukung mereka,” kata Bush.

Sejak saat itu, dunia mulai mengenal istilah war on terror (WOT). Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menjadi target agenda WOT? Pertanyaan ini muncul sebab istilah terorisme sendiri belum ada definisi yang jelas dan baku secara global.

Yang nampak di permukaan adalah beberapa negara Muslim, khususnya negara-negara Arab, hancur oleh invasi AS dan operasi militer.

Pada 2015 lalu, sebuah survei memperkirakan bahwa 1,3 juta warga Irak, Afghanistan dan Pakistan tewas dalam perang melawan teror. Catatan survei tersebut tidak termasuk angka dari zona perang lain seperti Yaman dan Somalia.

Kenyataan itu belum berakhir, Presiden AS Donald Trump di masa-masa awal singgasananya di Gedung Putih, menandatangani keputusan kontroversial yang kemudian menjadi viral dan dikenal sebagai keputusan untuk menghentikan penerbitan visa bagi orang-orang yang berasal dari tujuh negara mayoritas Muslim.

Pada 11 September 2017 lalu atau tepat 16 tahun pasca peristiwa WTC, anggota Komite Pengarah Koalisi Keadilan untuk Muslim di Amerika, Maha Hilal menulis sebuah artikel berjudul “The War on Terror Has Targeted Muslims Almost Exclusively”.

Inti dari tulisan yang diterbitkan Foreign Police in Focus (FPIP) –sebuah organisasi yang fokus mengamati kebijakan AS di luar negeri termasuk di Timur Tengah- itu adalah mengritisi langkah setiap keputusan militer yang diambil negaranya yang ia anggap sangat memojokkan Islam.

“Perang melawan teror seharusnya untuk membuat kita lebih aman. Tetapi sebagai seorang Muslim Amerika, saya tidak merasa lebih aman. Sebaliknya, saya curiga perasaan aman itu tidak pernah dimaksudkan kepada saya atau komunitas saya,” kata Hilal.

Jurnal berjudul “Islamophobia and the War on Terror: The Continuing Pretext fo U.S. Imperial Conquest” yang terbit pada 2006 lalu menyebutkan bahwa agenda WOT ini tidak menghasilkan apapun. Itu hanya digunakan AS dan sekutu-sekutunya untuk memerangi musuhnya atas nama “terorisme”.

“Hal itu digunakan untuk mengamankan kepentingan AS di luar negeri atas nama demokrasi dan hak asasi manusia. Serangan 9 September adalah dalih menjadikan Muslim sebagai teroris dan ancaman bagi AS dan dunia,” kata , penulis jurnal tersebut.

Ia menyebutkan bahwa motto WOT itu saat ini menjadi proyek, dipimpin oleh Amerika Baru (PNAC) sebagai rencana DPG 1990 AS untuk mengontrol dunia.

WOT dibuat sebagai stereotip, kebijakan dan struktur politik dibalut dengan islamofobia yang dikembangkan oleh Partai Likkud, Israel dan Goerge Bush Sr. sejak 1979. Perang tersebut dirancang untuk menginspirasi rakyat AS terhadap penaklukan dunia.

“Jadi, untuk dapat mementahkan agenda AS itu, kita harus mengatasinya dengan menghapus islamofobia di kalangan masyarakat internasional dan menghapus stigma teroris terhadap Muslim dengan solidaritas sesama Muslim,” kata Ralph mengakhiri tulisannya. (A/R06/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.