Wawancara ekslusif dengan pembina pondok pesantren Al-Fatah Cileungsi, KH. Abul Hidayat Saerodjie.
Pada saat ini, dunia sedang melalui sebuah fase perubahan yang sangat besar. Hal itu sangat terlihat pasca runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada 23 Maret 1924, dunia mulai mengalami perguncangan yang hebat.
Setelah itu, diikuti dengan tumbangnya paham Nazi Jerman pada Perang Dunia II dan pada akhirnya paham Komunisme ikut runtuh diera 1980-an pada perang dingin yang kemudian menjadikan dunia satu blok saja, pada saat itulah musuh Islam mulai menguasai dunia.
Kini, hanya satu yang dapat mengembalikan kebangkitan Islam tersebut, yaitu dengan dakwah. Dakwah pada dasarnya adalah proses merubah suatu kondisi tertentu menuju kepada kondisi tertentu yang lain yang diinginkan. Yang perlu mendapat catatan dari definisi ini adalah kata merubah.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Namun, persoalan yang kita hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk, misalnya fanatisme dan kepentingan terhadap kelompoknya yang sangat kuat. Jika hal ini terus dibiarkan, tentu akan mempersulit umat untuk bersatu.
Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, sangat perlu membuat terobosan dan langkah khusus supaya problematika dakwah tidak semakin kusut dan berlarut-larut, perlu segera dicarikan jalan keluar dari kemelut persoalan yang dihadapi, dan dakwah Islam di era modern ini bisa tetap relevan, efektif, dan produktif.
Menjawab tantangan itu, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rendi Setiawan melakukan wawancara eksklusif dengan pembina pondok pesantren Al-Fatah Cileungsi, KH. Abul Hidayat Saerodjie, Selasa siang (17/2) di Bogor. Berikut petikan wawancaranya:
MINA: Dakwah di Indonesia sudah cukup semarak, tapi hasilnya jauh dari kata menggembirakan, baik Islamisasi internal maupun Islamisasi eksternal. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ustadz Abul Hidayat: Sebenarnya hal ini telah terjadi sejak era Orde Lama di masa Ir. Soekarno. Ketika itu, dakwah umat Islam dihadang oleh gerakan Komunis yang memang memiliki pengaruh sangat kuat di negeri ini dan juga terjebak pada praktik politik yang membuat umat Islam makin terkotak-kotak.
Keadaan itu tidak berubah hingga era Orde Baru di masa awal Presiden Soeharto tahun 1970-1980-an, menteri-menterinya pada saat itu mayoritas berasal dari orang-orang sekuler. Pada masa itu pula, dakwah Islam dikekang, orang-orang Islam ketika itu partainya wajib Golkar, kalau bukan Golkar, mubaligh-mubaligh tidak akan leluasa menyampaikan ajaran Islam yang penuh rahmat ini.
Kalau mubaligh ingin ceramah, harus izin dulu, harus ada rekomendasi camat, rekomendasi Koramil, rekomendasi KUA, jadi susah. Hal itu sangat luar biasa, jika tidak ada rekomendasi itu, tidak bisa berdakwah. Meskipun ketika itu ada komando jihad, DI/TII, tapi itu sebenarnya politik juga.
MINA: Dari tahun ke tahun, umat Islam mengalami penurunan. Apa penyebabnya?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Ustadz Abul Hidayat: Kristenisasi. Karena memang di negeri ini, upaya Kristenisasi sangat gencar sekali. Tapi justru sebenarnya, Islam makin marak dan menyebar. Kita bisa lihat pada awal 1980-an ada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang banyak mulai menerbitkan buku-buku Islam bahkan jika lihat di kampus-kampus, perempuan memakai jilbab sudah seperti pesantren saja. Setelah Reformasi, itulah puncak perkembangan Islam.
MINA: Seberapa besar peran media bagi perkembangan dakwah?
Ustadz Abul Hidayat: Media punya peran sangat besar dan strategis sekali, apalagi saat ini ditunjang dengan kemajuan teknologi. Orang-orang mudah untuk mengakses bahan bacaan dan referensi terkait tentang keislaman. Tapi memang kembali kepada orang itu, mau kafir, gampang, mau maksiat ya gampang, mau bener juga gampang. Jadi pengaruhnya ada, bahkan sampai sekarang, media memiliki peranan dalam perkembangan Islam di Eropa, juga perkembangan Islam dimana-mana sangat terlihat.
MINA: Apakah ada cara lain dalam berdakwah selain menyampaikan ceramah?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Ustadz Abul Hidayat: Sebenarnya berdakwah tidak mesti formal lewat ceramah, minimal berdakwah ada tiga cara; pertama, dakwah bil lisan contohnya ceramah, diskusi, dialog, silaturahim. Kedua, dakwah bil kutub, contohnya menulis artikel Islami, menulis bisa dimana saja, di internet, di buku. Ketiga, dakwah bil hal, contohnya menahan emosi di masyarakat, keadaan itu bisa mendorong orang untuk mengikuti akhlak yang baik.
MINA: Ada sebutan Islam radikal bagi orang yang berdakwah melalui cara ekstrim, bagaimana Islam memandang hal ini?
Ustadz Abul Hidayat: Islam itu sesungguhnya telah disebut sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam umatan wasathan, Islam sebagai umat pertengahan, contoh terbaiknya adalah Rasulullah. Jadi radikal dilihat dari sisi mana, kalau pada prakteknya hanya menampilkan sisi jihad saja jelas tidak bisa, melihat Islam harus secara keseluruhan, tidak misalnya melihat dalam masalah jihad saja.
Oleh karena itu, Islam telah mengajarkan kapan umat Islam boleh berperang, bagaimana cara berperang, hingga masalah yang paling kecil dalam perang pun telah diatur di dalam Islam. Prinsipnya, dakwah Islam adalah mengedepankan ‘amal makruf nahi munkar’, tidak boleh mendahului perang, boleh perang kalau di perangi. Jadi Islam itu agama yang rahmatan lil alamin.
MINA: Apa pesan ustadz untuk orang yang memakai cara seperti tersebut?
Ustadz Abul Hidayat: Kalau memang berdakwah untuk Islam, maka gunakan cara Islam yang benar, contohnya Rasulullah, itu contoh yang terbaik. Dalam berdakwah, tidak perlu mengambil teori Revolusi, tidak juga mengambil teori Radikal, Islam itu contohnya Rasulullah sebagaimana sabda beliau, ‘Alaikum bisunnatiy wa sunnatiy khulafa ar-rasyidin al-mahdiyyin’ (Maka wajib bagi kalian untuk berada di atas sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk).
Kemudian yang terpenting dalam berdakwah adalah mengedepankan ukhuwah Islamiyyah, boleh berbeda pendapat tetapi jangan sampai merusak persaudaraan Islam dan jangan terjebak untuk kepentingan kelompok, tetapi harus untuk Islam. (L/P011/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel