WAWANCARA EKSKLUSIF TENTANG PEMBANGUNAN UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL DI INDONESIA

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar (Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama). (Foto:MINA)
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar (Direktur Pendidikan Tinggi Kementerian Agama). (Foto:MINA)

Jakarta, 28 Muharram 1437/11 November 2015 (MINA) – Rencana untuk mendirikan Islam di seperti yang diungkapkan Wakil Presiden M. Yusuf Kalla, makin banyak mendapat tanggapan antusias.

“Selama ini banyak pakar, peneliti dan ahli agama Islam Indonesia adalah produk luar negeri yang harus pergi ke Amerika Serikat, Inggris, Canada dan lain-lain, untuk melanjutkan belajar dan Islam,” kata Prof. DR. Abuddin Nata, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tangerang memberi contoh.

Banyak tokoh Islam Indonesia seperti  Amien Rais dan Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang melanjutkan belajar Islam di Chicago, Amerika Serikat, karena Indonesia belum memiliki universitas dan pusat riset Islam dengan standar internasional,  yang menyediakan semua hal dan data tentang Islam.

Apa saja kelanjutan perkembangan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional? Berikut wawancara wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA) dan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama.

MINA: Sudah sejauh mana perkembangan rencana pembangunan Universitas Islam Internasional?

Amsal Bakhtiar: Sejauh ini, sudah mulai dibentuk kepanitiaan untuk merumuskan naskah akademiknya, untuk merumuskan masterplan-nya, legislasi, peraturan, dan sarana prasarana, termasuk tanah. Jadi, fokus persiapan, yang dibentuk baru panitia persiapan, belum panitia tetap. Ya mudah-mudahan kalau sudah ada panitia tetap mungkin akan ditetapkan oleh Presiden. Diharapkan begitu sehingga lebih kuat lagi panitia ini.

MINA: Kira-kira kurikulum seperti apa yang nantinya akan digunakan?

Amsal Bakhtiar: Ya itu akan dirumuskan oleh tim akademiknya, ada dua besaran yang dibentuk di sana. Pertama kajian doktrin, kedua kajian pemikiran. Doktrin itu bisa Al-quran, tafsir, dan hadits. Lalu doktrin itu hukum Islam dan lain-lain. Tapi nanti ada yang berkaitan dengan pemikiran. Pemikiran itu di antaranya tasawuf, politik Islam, riset tentang Islam, sosiologi dan sebagainya.

MINA: Kapan dimulai pembangunan ?

Amsal Bakhtiar: Pembangunannya tentu saja, sangat tergantung pada banyak hal. Pertama anggaran yang tersedia, kedua tanah. Kami juga sedang mencari di mana lokasi yang strategisnya. Ini perguruan tinggi yang tidak main-main. Kami ingin mendirikan universitas yang istilahnya iconic. Untuk diwariskan bagi Islam tidak hanya di Indonesia tapi juga internasional.

Kenapa, umpamanya Mesir bisa ada Al Azhar (Universitas Al Azhar)? Kenapa Indonesia tidak bisa membangun sebuah universitas besar yang iconic dan menjadi rujukan untuk Islam. Dan sekarang kita banggakan sebagai Islam yang moderat, Islam eksklusif yang jauh berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah, ya bukan praktek Islamnya tapi cara berislamnya.

MINA: Dari mana sumber dananya?

Amsal Bakhtiar: Dari negara, donatur dan juga funding negara-negara kaya.

MINA: Apakah sudah ada negara-negara kaya yang berencana  mendonasikan dana ?

Amsal Bakhtiar: Secara konkret belum, tapi akan ke sana nantinya. Sudah ada keinginan untuk sounding ke beberapa negara kaya.

MINA: Kemungkinan akan berada di mana lokasinya?

Amsal Bakhtiar: Sekitar Jabodetabek, karena mudah dijangkau dan sumber dayanya juga ada di sekitar sini. Mungkin dalam radius sekitar 100 km dari Jakarta. Kalau di Sumatra ya memang luas, gampang mencari tanah tetapi ya agak  terlalu jauh komunikasi, transportasi, dan koordinasinya. Mungkin sekitar radius 100 kilometer dari Jakarta, agar lebih mudah dijangkau aksesnya. Kami ingin mendatangkan para dosen dan profesor dari luar negeri yang sangat kompeten di bidangnya. Sehingga menarik minat calon mahasiswa.

MINA: Bagaimana dengan mahasiswanya?

Amsal Bakhtiar: Mahasiswa-nya campur. Dari Indonesia dan luar negeri yang punya basic agama karena ini kan khusus agama bukan umum.

MINA: Kenapa hanya membuka program S2 dan S3 saja?

Amsal Bakhtiar: Ya kita sadar bahwa S1 itu sudah banyak, ada di mana-mana. Yang kurang itu adalah S2 dan S3 yang berkualitas. Nah, pendidikan dan perguruan tinggi yang baik itu yang S1 dan S2-nya sudah bagus. Seperti di luar negeri, di beberapa kampus ternama itu lulusan S1-nya enam puluh persen dan empat puluh persennya itu S2, S3. Dengan demikian risetnya berkembang. Sebab kan S1 tingkatnya bukan riset, hanya pada pembelajaran saja. Kalau S2 itu sudah riset. Jadi lebih tinggi kualifikasinya. Dosennya, umpama adalah yang menguasai dan berbicara  minimal dua bahasa. Seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Mahasiswanya juga demikian. Kualifikasinya demikian.

MINA: Kenapa lebih condong ke riset ?

Amsal Bakhtiar: Bidang riset ini ada, bukan tidak diimplementasikan. Jadi dari riset itu nantinya akan di  implementasikan. Selama ini kan kebijakan segala macam tidak melalui riset. Berdasarkan survey saja. Kadang-kadang maaf kata survey abal-abalan saja. Tapi kalau umpamanya suatu kebijakan atau keputusan itu diambil dari hasil riset itu kan jauh lebih kredibel dibandingkan yang tidak berdasarkan riset. Gunanya, riset itu bukan berarti tidak diimplementasikan tapi untuk diimplementasikan. Salah tangkap jika riset itu dianggap riset saja. Kan riset itu untuk diimplementasikan, bahkan dalam hal tertentu riset harus diterbitkan supaya dibaca oleh yang lain.  Yang bagus itu diterbitkan dalam jurnal.

Biasanya riset yang bagus itu diseminarkan dulu, kemudian setelah seminar dapat masukan yang bagus dari intellectual community, kemudian baru masuk jurnal. Nah jurnal itu dikembangkan lagi baru masuk buku. Jurnal itu adalah hasil riset yang terbaru. Maka orang kalau mau mereferensi jurnal ya footnote-nya itu bagus, karena jurnal adalah hasil riset yang terbaru. Buku itu sebenarnya hasil riset yang sudah belakangan. Basi dalam kerangka akademiknya.

MINA: Siapa-siapa yang pertama kali mengusulkan dibukanya Universitas Islam Internasional ini ?

Amsal Bakhtiar: Ya, bersama-sama. Awalnya, dari pemikir-pemikir di kalangan kita. Dari tokoh nasionalnya ada Komaruddin Hidayat, Bahtiar Efendi, Saiful Mujami, kemudian diskusi kecil-kecilan dengan teman-teman. Melihat Indonesia ini sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Tapi belum ada yang bisa kita banggakan dari Indonesia ini kecuali ya masjid Istiqlal. Tapi kan masjid Istiqlal itu bangunan yang mati, istilahnya kita kan ingin mewariskan yang hidup, kualitatif , dan iconic legacy. Warisan yang dikenang sepanjang masa. Kita mayoritas punya banyak sumber daya manusia, ada yang ingin bisa kita banggakan, itu asal mulanya. Atas dasar itu, kami sounding ke pejabat-pejabat di pemerintahan yang punya power, seperti Menteri Agama, Presiden, Wapres, lalu disambut dengan baik oleh mereka. pucuk dicinta ulampun tiba. (disambut tawa narasumber).

MINA: Kapan akan terwujud, Prof ?

Amsal Bakhtiar: Diusahakan ini jadi di masa Djokowi- Kalla (2014-2019) ini. Ya kan ini yang semangat Pak Djokowi. Tinggal empat tahun lagi masanya. Kalau bisa kita geber, istilahnya tancap gas-lah. Sebab belum tentu umpamanya presiden yang akan datang mendukung ini, iya kan? Politik ini naik turun. Makanya akan kita geber ini. Akan kita buat panitia tetap. Saya bukan panitia hanya pendukung saja. Dalam panitia, saya tidak masuk. Kalau bisa jangan tanya ke saya karena saya hanya pendukung saja. Tanya ke panitia persiapan. Prof. Komaruddin Hidayat, dia ketuanya. Ada Bahtiar Effendi sekertarisnya. Istilahnya saya hanya pendukung saja. Ya sekadar memberikan informasi yang saya tahu.

MINA: Universitas ini kelak akan mengutamakan kualitas bukan kuantitas? Kualitas seperti apa yang Prof. maksud?

Amsal Bakhtiar: Misalnya mahasiswa harus bisa berbahasa Inggris dan bahasa Arab. Indeks prestasinya (IP) minimal 3.5. Jadi impact-nya tidak main-main. Jadi yang punya level untuk bisa, istilahnya diajak lari bukan jalan. Ini keinginan kami sehingga bisa mengikuti iramanya. Ini kan suatu agenda yang serius. Kalau kami ambil yang S1 saja tapi tidak ada saringan ya sama saja bohong.

MINA: Apakah nantinya akan ada beasiswa, atau mungkin full beasiswa ?

Amsal Bakhtiar: Ya, itu nanti kita liha saja nanti. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk beasiswa. Karena ini kan untuk Islamic Studies, tidak hanya untuk national student tapi juga internasional student, dan akan kami bombing. Mungkin awalnya tingkat nasional dulu baru internasional karena belum ada sosialisasi, tapi untuk jangka panjang, kami inginkan pelajar internasionalnya lebih banyak daripada national student-nya.

MINA: Apakah Anda tidak khawatir bahwa kelak ini akan jadi produk mercusuar belaka, mengingat perekonomian bangsa ini sedang menurun ?

Amsal Bakhtiar: Ya, kita kan melihat, (narasumber diam sejenak lalu melanjutkan kalimatnya) mungkin beginilah, lebih banyak uang yang dihambur-hamburkan tanpa ada manfaatnya dari pada ada suatu kejelasan atau target yang jelas untuk anak bangsa. Ya memang ini suatu cita-cita, semangat yang besar dan agak mengagetkan orang lain. Bahkan banyak yang pesimis apakah ini akan mendapat izin atau untuk koar-koar saja. Ya boleh saja, itu memang salah satu bagian dari introspeksi bagi kita tetapi bagi kita ke dalam, itu sebagi pemicu/pendorong supaya kita serius untuk membangunnya. Suasana pemerintahan juga relatif  kondusif karena ada supporting tadi. Kalau memang tidak ada support dari pemerintah ya memang agak berat.

MINA: Bagaimana dengan pengawasan dalam proses pembangunannya?

Amsal Bakhtiar: Untuk pembangunan tentu akan diawasi oleh siapa saja. Kita akan terbuka, termasuk oleh KPK dan semua manusia bisa ikut mengawasi agar transparan. Dari awal kita memang bukan mencari proyek tapi ada idealisme yang harus dibangun, komitmen untuk mewujudkan cita-cita tadi. Makanya kita kalau bisa melibatkan semua pihak, tidak hanya pihak kita tapi pihak luar juga. Untuk mengawasi katakanlah kejaksaan misalnya, tolong diawasai ini kalau ada penyelewengan jangan ditangkap di belakang tapi di depan saja, biar sekalian.

MINA: Apa harapan Profesor pada Universitas Islam Internasional ini ?

Amsal Bakhtiar: Bisa terwujud secepatnya, ya itu saja. Kemudian semua lapisan masyarakat mendukung, karena ini adalah agenda bangsa untuk membuktikan kepada dunia, tidak hanya iconic tadi, tapi juga bahwa keberislaman kita itu jauh lebih baik daripada yang lain-lain. Yang damai, toleran satu sama lain, kemudian saling menghormati meski berbeda. Jadi kita tidak bisa menyatukan perbedaan. Imposibble. Tapi yang bisa adalah menghormati perbedaan. Ya kita harus pegang itu.

Kita ini jauh dari pusaran konflik. Coba lihat ratusan ribu umat Islam eksodus dari wilayah konflik di kawasan dunia sana, kemudian diterima dengan baik oleh negara-negara dalam tanda kutip kafir semua. Bagaimana perasaan sebagai bangsa? Malu. yang eksodus ini ratusan ribu Islam,  kemudian diterima oleh Jerman, Inggris, Swiss yang relatif tidak beragama. Para pengungsi muslim itu tercerabut dari akarnya, mereka terusir dan mereka sebetulnya tidak menghendaki itu. Lalu ada negara-negara bukan muslim yang mau mengakomodir mereka, seperti dijelaskan di atas tadi. Padahal ada negara tetangga (di Timur Tengah) yang relatif kaya dan mampu, tapi cuek-cuek saja. Bagaimana perasaannya? Itu Islami apa tidak? Itu cobalah kita terus terang saja. Makanya Bapak Wakil Presiden M. Yusuf Kalla waktu itu mengatakan, kalau mereka itu dekat dari Indonesia, saya terima mereka yang eksodus itu di Indonesia. Kita kan harus empati juga, sebagaimana Jerman empati. (L/P007/Frh/P2)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0