AMAL BAIK ATAU AMAL BANYAK?

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. أَمَّا بَعْدُ

Segala puji hanya milik Allah rabbul ‘alamin, kita meminta pertolongan-Nya, kita memohon ampunan-Nya dan kita juga berlindung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dari kejelakan diri kita dan bururknya amalan kita. Barang siapa yang Allah menunjukan hidayah kepedanya, maka tak ada seorang pun yang mampu untuk menyesatkannya. Dan barang siapa yang Allah menyesatkan dari padanya, maka tak ada seorang pun yang mampu memberinya hidayah.

Dan aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad sebagai hamba dan utusan Allah. Dan setelahnya.

(Gambar: Pinterest)
(Gambar: Pinterest)

Ikhwani A’azaniyallahu wa Iyyakum

Setiap orang tentunya mendambakan menjadi pribadi yang terbaik. Sebagai , orientasi hidup untuk menjadi yang terbaik bukanlah dinilai dari ukuran banyaknya amalan yang dilakukan oleh manusia semata, tetapi ada yang lebih urgen dari itu, yakni karena ridha kepada Allah Ta’ala.

Al-Quran sendiri telah menekankan tentang pentingnya memiliki amal yang baik (ahsanu amala) daripada amal yang banyak (aksaru amala).

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلاً۬‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ (٢)

Artinya: “Dia(Allah) yang telah menjadikan mati dan hidup, supaya Dia(Allah) menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia(Allah) Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al Mulk [67]: 2)

Al-Fudhail bin ‘Iyyadh berkata tentang firman Allah “Yang lebih baik amalannya” adalah yang amalannya paling ikhlas dan paling benar.

Beliau juga berkata, “Suatu amalan tidaklah diterima oleh Allah sampai amalan itu dilakukan secara ikhlas dan benar. Yang dimaksud dengan “ikhlas” adalah apabila ditujukan hanya kepada Allah. Dan yang dimaksud dengan “benar” adalah apabila amalan itu sesuai dengan sunnah.”

Menurut Imam Al-Baghawi, makna dari ucapan Al Fudhail bin ‘Iyyadh di atas adalah bahwa suatu amalan itu barulah dikatakan baik apabila memenuhi dua syarat mutlak.

(Gambar: Unitedofislam)
(Gambar: Unitedofislam)

Syarat yang pertama adalah amalan itu haruslah dilakukan ikhlas semata-mata karena mengharapkan ridha dari Allah Ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu.”

Syarat yang kedua adalah amalan itu haruslah sesuai dengan tuntunan  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (Ittiba’ birrasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). Apabila amalan itu tidak dilakukan dengan ikhlas hanya kepada Allah, maka hukumnya adalah syirik. Dan apabila amalan itu tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka amalan itu tertolak meskipun manusia menganggapnya baik.

Rasulullah bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya: “Siapa saja yang melakukan sebuah amalan (dalam urusan agama) tanpa ada perintah dari kami, maka amalan itu tetolak.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengikuti para shahabat. Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku sesuai apa yang telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَىَّ‌ۚ… (١٥)

Artinya:Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku...” (Q.S. Luqman [31]: 15)

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengenai ayat di atas menyebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (Aqidah) mereka.

Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dikuatkan lagi dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk.

Firman Allah Ta’ala,

 وَيَہۡدِىٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ (١٣)

Artinya:Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura [42]: 13)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,

لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِـي ظَاهِرِيْنَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ

Artinya:Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.” (H.R. Bukhari)

Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ini, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang, tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang yang menyelisihinya.

Manusia Terbaik

Menjadi manusia paling baik adalah sebuah pilihan, pun juga menjadi manusia yang paling buruk adalah sebuah pilihan, karena manusia hanya memiliki dua pilihan. Adakalanya seseorang memilih menjadi manusia paling baik dan adakalanya pula seseotang memilih menjadi manusia paling buruk.

Akan tetapi, memilih untuk menjadi manusia paling baik tidak serta merta dengan mudah didapatkan, selain karena menjadi manusia paling baik amal dan akhlaknya memiliki balasan yang luar biasa besarnya sebagaimana yang akan dijelaskan pada poin selanjutnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengkhabarkan kepada umat Islam tentang kriteria manusia yang paling baik. Dalam sebuah hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari jalur Abdullah bin Bisyr disebutkan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضي الله عنه أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

Artinya: “Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?”

Rasulullah bersabda,“Orang yang paling panjang umurnya dan baik amalannya” (H.R. At Tirmidzi dan Ahmad)

Sebagian ulama mengatakan, siapa saja yang memohon dipanjangkan umurnya agar dapat melakukan amal sholeh yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dan dia bersemangat dalam beramal, maka orang tersebut adalah orang-orang yang benar (shadiqin).

Tetapi jika dengan keinginannya tersebut dia bermalas-malasan dalam beramal, maka jelas dia adalah seorang pendusta (kadzibin).

Dunia adalah tempat untuk beramal (Daarul ‘amal) sedangkan akhirat adalah tempat panen dan ganjaran (Daarul jaza’). Sebaik-baiknya manusia adalah umur amalnya lebih panjang dari umur biologisnya.

Orang yang pendek umurnya namun setelah kematiannya kebaikannya masih selalu diceritakan orang dan amalnya masih ditiru orang, itulah orang beruntung dan sholeh.

Namun sebaliknya umurnya panjang, tapi tidak ada kebaikan yang dapat ditiru dan dikenang orang, sia-sialah hidupnya dan merugilah ia. Wal ‘Iyadzubillah!

Setiap tahun umur manusia bertambah, artinya jatah umur manusia berkurang. Jadi aneh kalau ada orang berpesta pora berlebihan untuk merayakan ulang tahunnya. Artinya kan, sama saja dia sedang merayakan kematian yang semakin dekat. Seharusnya setiap ulang tahun dia merenung, apa saja yang sudah dilakukan dan apa saja yang akan dilakukan untuk memanfaatkan sisa umurnya.

(Gambar: Thegoodshare)
(Gambar: Thegoodshare)

Buah Amalan Baik

Selain sebagai manusia dengan memiliki amalan baik akan menjadi sebaik-baiknya manusia sebagaimana kabar dari Rasulullah. Allah Jalla Jalaaluh juga akan memasukan orang yang seperti ini ke dalam Syurga yang didalamnya terdapat mata air paling indah yang tidak akan ditemukan di dunia. Hal ini sebagaimana firman Allah Jalla wa ‘Ala.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلۡمُتَّقِينَ فِى جَنَّـٰتٍ۬ وَعُيُونٍ (١٥) ءَاخِذِينَ مَآ ءَاتَٮٰهُمۡ رَبُّہُمۡ‌ۚ إِنَّہُمۡ كَانُواْ قَبۡلَ ذَٲلِكَ مُحۡسِنِينَ (١٦) كَانُواْ قَلِيلاً۬ مِّنَ ٱلَّيۡلِ مَا يَہۡجَعُونَ (١٧) وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ (١٨)

Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang senantiasa berbuat baik, mereka juga sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (QS. Al-Dzaariyat: 15-18).

Abul Fida’ ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa penafsiran sebagian ulama terhadap ayat terakhir, “Mereka shalat malam dan mengakhirkan (melanjutkannya) dengan istighfar sampai waktu sahur (menjelang shubuh).”

Jadi, mereka itu adalah orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kebaikan. Mereka banyak beramal dengan fisik dan harta mereka. saat di penghujung malam, mereka mengerjakan shalat malam yang panjang, mereka juga memohon ampun atas dosa dan kesalahan.

Generasi Terbaik

Dari hal ini dapat dilihat bahwa mereka yang selalu berlomba-lomba dalam memperbanyak amal juga senantiasa memperhatikan kualitas amalan mereka, generasi seperti inilah generasi yang paling baik mengikuti generasi terbaik ummat ini, generasi yang telah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sabdakan,

خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Artinya:“Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya.” (H.R. Bukhari)

Mayoritas ulama mengatakan bahwa tiga golongan dalam sabda Rasulullah sebagai generasi as-salaf as-shalih. Lalu siapakah generasi as-salaf as-shalih yang kita diperintahkan untuk berjalan diatas manhaj mereka?

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga masa yang utama, yaitu para shahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in.

Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek pemahaman, aqidah, qaul maupun amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih menunjukkan wajibnya setiap muslim berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَ‌ۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا (١١٥)

 Artinya:“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 115). Wallahu ‘Alam (P011/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0