Antara Perintah Berjamaah dan Berdakwah (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (ال عمران [٣]: ١٠٤)

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Imam At-Thabari menjelaskan bahwa ayat di atas turun bersamaan dengan dua ayat sebelumnya, yakni ayat 102 dan 103 yang memerintahkan untuk bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa dan perintah hidup berjamaah serta larangan berpecah-belah.

Jumhur ulama memahamai ayat di atas sebagai landasan utama bagi umat Islam untuk berdakwah, menjalankan perintah amr makruf nahi mungkar, menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ayat di atas akan menuntun kepada sebuah kondisi masyarakat saling mengingatkan antar sesama agar tetap konsisten pada jalan dakwah.

Menurut Tafsir Jalalain, dan Al-Kasyaf, kata “Min” pada ayat di atas adalah bentuk tab’idh (تبعيض), yakni menunjukkan ‘sebagian’ karena apa yang diperintahkan itu merupakan fardhu kifayah (sebagian orang) yang tidak wajib bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap orang, misalnya orang yang bodoh, mereka tidak terkena kewajiban berdakwah.

Sedangkan Syaikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar mengartikan, kata “Min” di atas adalah bayaniyah, artinya penjelasan dari kalimat sebelumnya. Maksudnya, hendaklah kalian semua menjadi orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.

Syaikh Muhammad Abduh lalu mempertegas pendapatnya tersebut dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Q.S. Al-Ma’idah ayat 78- 79 dan Q.S Al-Ashr ayat 1-3. Kedua Surat di atas menunjukkan bahwasanya setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran yang merupakan bagian dari perbuatan amar makruf nahi mungkar.

Perlu digarisbawahi bahwa penafsiran para mufassir ini bersifat variative, bukan kontradiktif, yakni berbeda dalam menafsirkan lafadz ‘min’, namun tetap berorientasi pada kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal inilah yang sejatinya menujukkan kepada kita bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang begitu luas.

 Korelasi Ayat 104 dengan Ayat Sebelumnya

Pada ayat sebelumnya, yakni  surah Ali ‘Imran ayat 103, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin untuk meneguhkan dan menghindari perpecahan.

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia- Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali ‘Imran [3]: 103)

Disebutkan dalam Tafsir Al-Manar bahwa ayat ini sebagai jalan keluar untuk dapat memenuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya. (QS Ali Imran : 102).

Pesan utama ayat di atas ditujukan kepada kaum Muslimin dalam konteks hidup bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata “jami’an” yang mengandung arti seraya berjamaah, kemudian diperkuat dengan kata selanjutnya “wa la tafarraqu”, janganlah bercerai-berai.

Jami’an atau jama’ah adalah wujud bersatunya kaum Muslimin dengan adanya seorang Imaam yang memimpin dan adanya makmum yang dipimpin dengan standar minimal satu Imaam dan dua orang makmum atau lebih. Hal ini merujuk kepada hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ (رواه أحمد، صحيح لغيره)

“Dari Abdillah ibn Umar Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu daerah/wilayah di bumi kecuali mereka menjadikan salah satu mereka sebagai amir/pemimpin atas mereka.” (HR Ahmad).

Ibnu Katsir mengutip penjelasan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Jama’ah. Sementara Al-Qurthubi menyatakan, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan supaya bersatu padu dan melarang berpecah belah, karena perpecahan itu adalah kerusakan dan persatuan (Al-Jama’ah) itu adalah keselamatan. (Tafsir Al-Qurthubi IV/159).

Ayat ini melarang berpecah belah (berkelompok-kelompok) dalam agama, sebagaimana berpecah-belahnya ahli kitab atau orang-orang jahiliyah yang lain. Ayat ini juga melarang melaksanakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan dan menghilangkan persatuan.

Inti dari pendapat para ulama tafsir di atas, berdasarkan riwayat tafsir dari Ibnu Mas’ud yang juga didukung dari beberapa riwayat tafsir lainnya, adalah menunjukkan kesamaan, yaitu memandang pentingnya berada dalam ikatan jamaah (persatuan). Dengan persatuan, segala perkara yang rumit bisa diselesaikan. Perpecahan merupakan sebab dari timbulnya kerusakan (halakah), sementara persatuan merupakan sebab dari keselamatan atau kemakmuran (najah).

Untuk mewujudkan persatuan (Al-Jama’ah) di tengah-tengah umat, disebutkan pada ayat 104 yakni dengan berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, pesan utama dalam dakwah adalah menegakkan agama Allah dan persatuan (berjamaah). Demikian penjelasan ayat 104 menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya.

Keutamaan Dakwah

Dakwah dalam arti yang luas mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah), yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan, dari syirik kepada tauhid, dari kesesatan kepada petunjuk, dari kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islami, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari bid’ah kepada sunnah, dari keburukan kepada kebaikan.

Dakwah merupakan ciri utama umat terbaik, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ ….(ال عمران [٣]: ١١٠)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Pada ayat ini, dakwah (amar makruf nahi munkar) disebutkan sebelum beriman kepada Allah. Hal ini menurut Tafsir Al-Maraghi adalah karena amar makruf nahi munkar itu menjadi ciri dari sebuah keimanan. Amar makfur nahi munkar itu ibarat pagar yang menjaga dan melindungi keimanan. Jika iman diibaratkan sebuah rumah, maka pagar dan dindinglah yang menjaganya sebagaimana lazim ada di tengah-tengah masyarakat.

Di samping itu, banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dakwah, antara lain:

Pertama, diberi pahala yang berlipat ganda. Hal itu diungkapkan dalam hadits: “Demi Allah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada seseorang dengan (dakwah)-mu, maka itu lebih baik bagimu dari pada unta merah.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Kedua, pahala yang akan terus mengalir. “Barang siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontohnya. Dan barang siapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi mereka yang menirunya.” (HR Muslim).

Bekal Berdakwah

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha sebagaimana dinukil Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyampaikan, ada sebelas bekal yang hendaknya dimiliki dan diperhatikan oleh para pendakwah agar mendapatkan hasil maksimal dalam dakwahnya:

  1. Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah

Seorang da’i meneruskan perjuangan para nabi, yakni mengajarkan tauhid dan persatuan. Semestinya setiap Muslim membekali dirinya dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebelum terjun dalam medan dakwah.

Benar masa kenabian telah berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasalam, namun tidak serta merta pintu amar ma’ruf nahi munkar tertutup rapat. Tugas itu dilanjutkan oleh para ulama dan da’i dalam menggembala umat.

  1. Mengenali objek dakwahnya

Hamam Abdurrahim Sa’id dalam kitabnya “Qawaidu ad-Da’wah ila Allah” mengatakan bahwa mengenal objek dakwah menjadi bagian penting dalam berdakwah. Hal pertama yang hendaknya dikenal dari objek dakwah adalah nama, termasuk gelar, baik akademis atau gelar penghormatan yang diberikan oleh masyarakat, nama panggilan akrab, dan memanggil dengan nama yang disukai.

Disamping harus pula mengenal nama panggilan akrabnya, memanggilnya dengan nama yang ia sukai, dan jangan sekali-kali memanggil dengan panggilan yang dapat membuatnya kesal.

Abbas As-Siisi dalam kitabnya At-Thariq Ilal Quluubb menjelaskan cara menyentuh hati objek dakwah, salah satunya menghafal nama. Menghafal nama merupakan hal penting, dari sini terjadi interaksi dan lahir sifat saling percaya (tsiqah). Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam bersabda, “Termasuk sifat angkuh adalah seseorang yang masuk ke dalam rumah temannya, lalu disuguhkan makanan, ia tidak mahu memakannya; dan seorang laki-laki yang bersama-sama laki-laki lain dalam perjalanan, tetapi tidak menanyakan nama dan nama orang tuanya.” (HR ad-Dailami).

Indikasi keberhasilan seorang dai adalah mampu menghafal nama-nama sang objek dakwah. Jika belum mampu menghafal nama secara langsung, minimal memiliki pegangan biodata objek dakwah. Sebagian objek dakwah yang menilai sang dai lupa akan namanya, dan ia akan takjub jika ternyata dugaannya itu salah, ternyata sang dai masih mengingat namanya dengan baik.

  1. Mengenali adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat

Dakwah dengan basis adat istiadat, kebiasaan dan budaya akan lebih maksimal di masyarakat. Maka seorang da’i harus hendaknya mampu memaksimalkan hal ini agar mudah diterima masyarakat.

Sebagai contoh, Sunan Kali Jaga mendakwahkan Islam dengan tembang-tembang Mocopat dan pewayangan karena di wilayah Jawa masyarakatnya senang dengan hal itu. Maka hasilnya nis akita lihat hari ini, 95 persen penduduk Jawa adalah Muslim.

Jadi sepanjang adat istiadat, kebiasaan dan budaya itu bukan merupakan sebuah kemunkaran dan bertentangan dengan tauhid, maka menggunakannya sebagai alat berdakwah menjadi sebuah anjuran.

  1. Mengenali keadaan geografi, iklim, cuaca wilayah yang dituju

Sebelum berangkat ke medan dakwah, seorang da’i harus mengenali kondisi goegrafi wilayah itu agar tidak tersesat dan mempersiapkan segala keperluannya. Kalau berdakwah di negara/wilayah yang dingin, tentu harus persiapan pakaian yang bisa menghangatkan tubuh. Jangan sampai da’i mengalami sakit karena belum mengenal kondisi geografi wilayah dakwahnya.

Selain itu, iklim wilayah itu juga perlu diketahui. Negara dengan iklim tropis tentu berbeda kebiasaan dan karakternya dengan penduduk di negara dengan iklim subtropis. Hal itu juga berimbas pada hukum fikih peribadatannya.

Sebagai contoh, Imaam Syafi’i diketahui mengeluarkan dua fatwa berbeda, yang dikenal dengan qoulul qodim dan qoulul jadid karena kondisi mesyarakat yang berbeda antara di Irak dengan di Mesir.

  1. Memahami ilmu kejiwaan (psikologi)

Memberikan ilmu kepada orang dewasa tentu berbeda cara dan gaya dengan memberi mengajarkan ilmu kepada anak-anak. Hal itu karena secara ilmu kejiwaan, keduanya berbeda, meski sama-sama manusia.

Sayidina Ali bin Abi Thalib Radhiyalllahu anhu berkata:

تَكَلَّمُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ

Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan akal (intelektual) mereka.”

Demikian pula orang yang hidup di kota berbeda tingkat pemahamannya dengan orang desa. Orang berpendidikan berbeda daya nalarnya dengan orang awam, dan seterusnya. Maka seorang da’i harus mengerti ilmu kejiwaan agar tidak salah dalam memberi porsi keilmuan dan target yang ditetapkan.

  1. Berakhlak mulia

Islam kerap kali menekankan pentingnya bagaimana akhlak seorang Muslim seharusnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, manusia yang dijadikan teladan dalam perkara akhlak adalah Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam.

Akhlak sebagaimana diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, merupakan suatu perangai yang menetap kuat dalam jiwa. Karakter akhlak dalam jiwa itu timbul lantaran perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan setiap orang.

Imam Al-Ghazali membagi akhlak ke dalam dua syarat, yakni stabilitas dan spontanitas. Adapun stabilitas akhlak merupakan karakter yang memungkinkan pelakunya melakukan perbuatan baik yang konsisten, permanen, serta berkelanjutan. Sedangkan akhlak yang sifatnya spontan hadir di saat muncul kesempatan dan juga dilakukan tanpa paksaan.

Menurut beliau, orang yang berakhlak setidaknya dapat mengendalikan empat hal yang cukup sulit dikendalikan di berbagai aspek hidup, antara lain nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan. Dengan demikian, akhlak bukanlah hanya mengatur laku kata, namun juga laku sikap.

  1. Mempelajari ilmu sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mcmpelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari dan menjelakan tentang hubungan antar manusia (Human Relationships).

Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting di dalam sistem dakwah.  Oleh sebab itu, masalah masyarakat dengan berbagai problematikanya harus dipelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah kepada aktivitas dakwah.

Oleh karena itu bagi seorang da’i hendaknya dapat membekali diri dengan memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan clan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah-masalah dalam masyarakat.

  1. Mempelajari ilmu politik

Ilmu politik yang dimaksud di sini adalah seperangkat peraturan dan Undang-undang yang berlaku di negeri tersebut. Jangan sampai seorang dai melanggar hukum dan berurusan dengan aparat penegak hukum dalam aktifitas dakwahnya. Jika hal itu terjadi, tentu akan menghambat program-program dakwahnya.

Sebagai ilustrasi, berdakwah di Indonesia yang mayoritas Muslim tentu berbeda dengan di Australia yang memiliki peraturan hukum berbeda dan minoritas Muslimnya. Imaam Wali Al-Fatah pernah menyampaikan, sebagaimana dituturkan oleh Ustad Abul Hidayat Saerodji, “Seorang dai harus mampu membawa kapal dengan selamat meski harus melewati rintangan berupa ombak dan badai yang besar serta batu karang yang menghadang. Jangan sampai kapal hancur menghantam batu karang dan tenggelam diterjang ombak dan badai.”

  1. Menguasai Bahasa masyarakat setempat

Seorang dai yang cakap, namun ia tidak menguasai bahasa masyarakat setempat, ia tidak akan bisa bekomunikai dengan baik. Bahkan Buya Hamka mengibaratkan seperti orang bisu.

Bahasa sangat penting untuk dikuasai agar seorang da’i mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakat. Menggunakan seorang penerjemah bahasa (interpreter) itu hanya bersifat sementara dan darurat. Adapun idealnya bahasa harus dikuasai.

  1. Mengenali kebudayaan dan kesenian

Seni merupakan perilaku yang menimbulkan keindahan, baik bagi yang mendengar maupun yang melihatnya. Seni yang senantiasa melalui penglihatan sering disebut sebagai seni rupa, seni ini meliputi seni peran, seni lukis, maupaun seni lainnya yang berkaitan dengan keindahan yang dinikmati oleh indera mata.

Sedangkan seni yang lebih mengarah ke pendengaran, lebih menitik-beratkan kepada bentuk seni yang bersumber dari bahasa, juga berkaitan dengan musik atau lagu.

Seni Islam adalah seni yang dapat mengungkapkan keindahan dan konsep tauhid sebagai esensi aqidah, tata nilai dan norma islam yaitu menyampaikan pesan keesaan tuhan.

Islam menghidupkan rasa keindahan dan mendukung kesenian, namun dengan syarat-syarat tertentu yakni jika kesenian itu membawa perbaikan dan tidak membangkitkan syahwat.

Menurut hemat penulis, seni yang penting dikuasai oleh seorang da’i adalah seni berbicara di depan umum yang dikenal dengan public speaking. Public speaking adalah seni berbicara di hadapan khalayak umum dengan karakter masing-masing karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Public speaking bukan hanya tentang berkomunikasi secara lisan, namun juga mempelajari bagaimana attitude terhadap lawan bicara. Public speaking tidak hanya penting dalam bidang dakwah, karena menurut Employment Research Institute (2005) keterampilan komunikasi lisan atau public speaking berperan 82 persen terhadap kesuksesan dalam meniti karier.

  1. Mengetahui pokok-pokok perbedaan agama-agama dan madzhab yang dipakai masyarakat setempat

Mengetahui pokok perbedaan agama di sini adalah dai harus beisa menjelaskan tentang perbedaan secara aqidah sehingga lurus dan murni tauhidnya. Sementara untuk persoalan-persoalan muamalah, seperti bekerja sama membangun jembatan, sekolah, jalan dan lainnya, maka umat harus bisa bekerja smaa dan saling membantu bergotong-royong.

Untuk internal Islam, mengetahui perbedaan madzhab juga perlu bagi seorang dai agar tidak salah dalam menerangkan hukum fikih suatu perkara, sehingga sesuai dengan madzhab yang dianut masyarakat setempat.

Jangan sampai ada seorang dai yang tidak diterima oleh kelompok masyarakat hanya karena belum memahami pokok-pokok berbedaan agama maupun madzab yang ada di sebuah masyarakat. Karena hal itu akan menghambat berjalannya program-program dakwah. Wallahu a’lam bish shawwab. (A/P2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)