Jakarta, MINA – Pasca terjadinya gempa dan tsunami di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong, lembaga medis kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) segera bergerak ke lokasi bencana dan mengerahkan relawan medis dan nonmedis dari berbagai wilayah Indonesia.
Presidium MER-C dr. Arief Rachman mengatakan bahwa program lembaganya akan berhenti di Palu jika terjadi dua hal, yaitu sudah tidak ada kebutuhan dan sudah tidak ada dana untuk Palu.
Hal itu diungkapkan Arief kepada Mi’raj News Agency (MINA) saat ditemui di kantor pusat MER-C di Senen, Jakarta Pusat, Selasa (23/10) sore.
Dokter spesialis radiologi yang mengabdi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu tiba di Mamuju, Sulawesi Barat tanggal 2 Oktober, berangkat ke Palu, Sulawesi Tengah tanggal 3 Oktober dan pulang ke Jakarta pada 10 Oktober.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Hingga tanggal 23 Oktober, jumlah relawan yang diterjunkan MER-C ke Palu sebanyak 33 orang.
Berikut petikan lengkap wawancara wartawan MINA Rudi Hendrik dengan Arief Rachman:
MINA: Bagaimana kabar terbaru dari tim MER-C yang terjebak longsor di Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah?
Arief: Alhamdulillah, siang tadi, beberapa relawan medis kami, bisa kembali ke Palu dengan menumpang pesawat helikopter BNPB, sekaligus juga membawa seorang pasien, seorang bayi yang menderita bibir sumbing dirujuk ke rumah sakit.
Untuk sementara, enam orang relawan masih berada di Kulawi, dengan pertimbangan ketika masuk Kulawi membawa dua unit kendaraan roda empat, sehingga ketika jalur darat bisa diakses atau dibuka, mereka akan membawa dua kendaraan itu kembali ke Palu.
MINA: Berapa titik longsor yang terjadi di Kulawi, Kabupaten Sigi?
Arief: Cukup banyak, menurut laporan wartawan TVRI yang juga terjebak di sana, sekitar 25 sampai 30 titik. Sementara upaya untuk bisa membersihkan jalur itu hanya bisa dilakukan dari arah Palu, dari arah luar, dari satu sisi. Longsor terjadi karena hujan. Menurut warga, jika hujan lebat, bukit-bukit di situ memang rawan longsor. Struktur tanahnya labil.
MINA: Ada berapa relawan MER-C yang tersisa di Palu?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Arief: Relawan gabungan MER-C dan Ukhuwah Al-Fatah Rescue (UAR), kemarin yang terjebak longsor sebanyak 12 orang. Sementara di Palu dua tim medis MER-C dan delapan relawan Al-Fatah.
Senin pagi berangkat dua orang lagi dari Yogyakarta. Sementara besok rencananya dua orang dokter dan seorang perawat dari Jakarta akan kembali dari Palu. Untuk relawan, kami targetkan sekurangnya tujuh hari.
Secara umum, untuk medisnya kami masih akan pantau sampai pertengahan November nanti. Di awal pekan ini, kita akan memulai upaya-upaya rehabilitasi yang dimulai dari Desa Sibalaya di Sigi, tim konstruksi juga sudah masuk ke Palu dan sudah sampai di Sibalaya.
MINA: Apakah MER-C juga melakukan pembangunan bangunan?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Arief: Terkait dengan kesehatan. Di Sibalaya itu ada 500 jiwa, jadi kurang lebih 100 KK. Dari temuan tim, di Sibalaya itu, mereka hanya memiliki satu MCK, jadi selebihnya untuk buang hajat mereka sembarangan. Jadi kemudian, prioritas utama disamping pembangunan yang sementara, kita membangun MCK-nya sebagai fasilitas untuk mencegah timbulnya masalah kesehatan.
MINA: Ada desa binaan, tujuannya apa?
Arief: Desa binaan adalah Desa Sibalaya. Tujuannya untuk memfokuskan bantuan ke Sibalaya. Di Sibalaya cukup lengkap kebutuhan pengungsinya. Artinya, logistik mereka butuh, pendidikan mereka butuh, dakwah mereka juga bisa dibantu, hampir semua sisi bisa kita masuki.
Dengan kita masuk ke Sibalaya saja, kita bisa mengerahkan banyak tenaga dari berbagai elemen. Kita tidak bisa secara menyeluruh (empat kabupaten) karena lokasinya terlalu luas. Kebutuhan dari masing-masing pengungsian berbeda-beda.
Ada satu titik yang sama sekali tidak butuh bantuan kesehatan, mereka pindah karena takut ada gempa susulan, takut ada tsunami. Mereka tidak mengalami cedera sedikit pun.
MINA: Bagaimana kondisi kamp-kamp terakhir di Palu dan kabupaten lainnya?
Arief: Kondisinya juga berbeda-beda. Situasi kamp tergantung dari seberapa informasi sampai kepada lembaga-lembaga yang memberikan bantuan. Ada kamp-kamp yang mendapatkan cukup banyak bantuan sampai berlebihan, ada juga kamp-kamp yang mendapat bantuan masih minim.
Kita tetap berusaha untuk tetap berkoordinasi dengan semua pihak untuk mendapatkan informasi itu, melakukan assesment (peninjauan) dan survei. Jadi ketika informasi masuk, katakanlah ada satu pengungsian di titik A yang membutuhkan bantuan, sebelum kita mengirim bantuan kita mengonfirmasi ulang. Kita berharap semua bantuan yang disalurkan efisien.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
MINA: Masih adakah daerah yang terisolasi atau tidak tersentuh?
Arief: Saat ini, untuk yang terisolasi total tidak karena sejak dua pekan lalu, upaya untuk membuka isolasi seperti daerah Sirenja (Kab. Donggala) sudah mulai menggunakan jalur udara. Jadi logistik, tim medis ditransportasi menggunakan helikopter TNI.
Pagi mereka masuk, sore hari mereka pulang. Jika ada beberapa lembaga yang mereka mau tinggal di dalam, mungkin dua atau tiga hari mereka akan keluar bergantian. Jadi jika yang terisolasi total, sepertinya sudah tidak ada.
Biasanya di daerah Sigi. Kondisi geografi Palu, Donggala dan Sigi itu semakin masuk ke daratan semakin berbukit, jadi potensi longsornya besar. Relawan-relawan yang bergerak mengandalkan transportasi darat, susah masuk di awal-awal karena jalan yang ada memang rusak berat, bahkan ada beberapa yang putus. Belakangan kondisi itu ditambah lagi dengan adanya longsoran.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
MINA: Bagaimana dengan ancaman penyakit pascagempa dari jenasah-jenasah yang sudah tidak bisa dievakuasi?
Arief: Ancaman kesehatan dari jenasah yang tidak dievakuasi, minimal. Artinya, publik juga harus ditenangkan bahwa (isu) kontaminasi akibat jenasah-jenasah yang tidak dievakuasi itu juga berlebihan.
Waktu itu ada kekhawatiran jika hujan terjadi, kemudian basah, maka air-air yang menggenang atau mengalir bisa membawa kuman penyakit. Memang betul iya, tapi tidak kemudian bisa menimbulkan wabah yang besar. Dalam artian, apabila upaya-upaya yang prepentif seperti masih tersedianya air bersih untuk cuci tangan, kemudian pola hidup sehat sendiri dari masyarakat, buang hajat sembarangan bisa dikontrol, kondisi itu tidak akan terjadi.
Sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesehatan yang berada di bawah klaster kesehatan adalah untuk meminimalisir terjadinya bencana kedua, yaitu gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, dan gangguan kulit. Apalagi ada di antara mereka yang dalam usia-usia yang rawan seperti balita atau lansia.
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Jadi, kondisi sekarang yang sering hujan menyebabkan dingin saat di malam hari. Tenda yang tertutup, selimut dan alas tidur, perlu dibagikan kepada mereka-mereka yang memerlukan. Upaya-upaya penyediaan sumber air bersih harus ditingkatkan sehingga kemudian masyarakat bisa lebih sering untuk bersih-bersih.
MINA: Bagaimana penilaian MER-C terhadap kinerja pemerintah di sana?
Arief: Kita masih melihat adanya kegagapan saat waktunya bekerja. Artinya, hampir satu bulan dari bencana ini, aktor lokal yang seharusnya sudah bisa memegang peran itu masih sedikit. Beberapa memang sudah mencoba untuk mengambil peran, misalnya bupati atau wakil bupati, atau kalau di Palu wakil walikotanya. Hanya kemudian untuk level yang lebih rendah, di tingkat lapangan, hal itu masih kurang, tidak terjadi.
Semisal kebijakan yang diputuskan di level unit kesehatan kemudian tidak jalan sampai ke bawah, sehingga relawan di lapangan agak sulit berkoordinasi karena banyak fasilitas kesehatan yang ditinggalkan oleh stafnya. Ada kondisi-kondisi puskesmas ketika ditinggalkan tapi terbuka, jadi relawan bisa mengoptimalkan.
Ada pula kondisi seperti puskesmas yang ditinggalkan tapi terkunci, sehingga tidak bisa dimamfaatkan. Ini jadi isu tersendiri dan sudah disampaikan sejak pekan lalu ke kantor kesehatan dan pihak dinas kesehatan sudah mewanti-wanti, dalam jangka waktu tertentu, jika puskesmas yang dikunci stafnya tidak kembali, maka akan dibongkar atau dibuka, sehingga relawan atau tenaga kesehatan lain bisa diperbantukan untuk melayani masyarakat.
MINA: Sampai kapan MER-C akan menghentikan bantuannya untuk Palu?
Arief: Kita melanjutkan program ini patokannya dua, yaitu masih ada kebutuhan dan masih ada dana. Artinya, ketika fase tanggap bencana sudah beralih ke rehabilitasi, maka kita juga akan berpindah kegiatan menjadi kegiatan yang sifatnya rehabilitatif. Seperti sekarang, kegiatan yang sifatnya tindakan-tindakan medis, mungkin hanya 30-40 persen, 60 persen sudah lebih banyak kepada penyaluran logistik, kemudian upaya-upaya yang sifatnya rehabilitatif.
Ke depan tentu proporsinya akan semakin sedikit lagi, bahkan bukan tidak mungkin nanti upaya-upaya kesehatan pun sifatnya sudah menjadi rehabilitasi, tidak lagi menemukan kasus-kasus baru, tapi lebih fokus pada bagaimana kami melakukan kontrol kepada pasien-pasien yang kemarin dioperasi dan mengawasi agar kondisinya lebih baik. Apakah didatangi satu-satu ke tendanya atau diberi jadwal berkala untuk bisa kontrol ke rumah sakit dan sebagainya.
Porsi itu akan semakin kecil dan selebihnya peran-peran relawan dari nonmedis, dalah hal ini konstruksi, nanti akan jauh lebih besar sampai nanti program itu selesai dan diserahkan kepada masyarakat terdampak atau kemudian dana yang kami terima sudah habis. (W/RI-1/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)