Oleh: Abdul Kadir Jailani, Duta Besar RI untuk Kanada
Vaksin untuk virus corona adalah kunci dari usaha global untuk menghentikan pandemi Covid-19. Tanpa vaksin itu, kita tidak akan pernah mempunyai kehidupan “normal” kembali.
Dengan alasan itu, berbagai negara dan perusahaan sedang mempertaruhkan miliaran dolar berlomba-lomba untuk menemukan vaksin yang efektif dan aman.
Setelah ditemukan, perusahaan farmasi besar akan mulai memproduksinya dalam jumlah massal untuk keuntungan yang lebih besar dan melayani berbagai agenda politik pasca-pandemi
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Menyediakan akses vaksin virus corona yang terjangkau akan menjadi sangat penting dalam perang melawan pandemi ini.
Kita tidak ingin sebuah skenario di mana vaksin itu tersedia di beberapa negara tapi enggan untuk memberikannya ke negara berkembang.
Jika vaksin tersedia di negara-negara berkembang, kita juga harus memastikan bahwa vaksin itu terjangkau oleh kelompok yang paling rendah pendapatannya.
Sayangnya, rezim paten global telah membuat harga produk farmasi meroket setinggi langit. Akses vaksin Covid-19 yang terjangkau mungkin menjadi mewah di luar jangkauan kebanyakan orang di negara-negara berkembang.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Hal itu menjadi tantangan terbesar bagi diplomasi Indonesia dalam pandemi saat ini.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi telah menghadapi tantangan secara langsung dengan melakukan serangkaian langkah tegas dalam “diplomasi vaksin.”
Dalam Kelompok Koordinasi Internasional Covid-19 yang dipimpin oleh Kanada, Menlu RI memperjuangkan akses yang sama untuk mendapatkan vaksin virus corona begitu tersedia.
Salah satu sarannya adalah dengan menggunakan Perjanjian tentang Aspek Terkait Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual (Trips Agreement) untuk memastikan akses vaksin yang mudah untuk semua orang.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Fleksibilitas Perjalanan
Meskipun Trips Agreement telah dianggap sebagai sebuah komponen dari proteksionisme teknologi, ia juga memiliki ketentuan yang dapat bekerja untuk kepentingan negara-negara berkembang.
Perjanjian tersebut menegaskan kembali hak negara untuk melindungi kesehatan warganya. Khususnya, pada pasal 31 yang memungkinkan negara-negara untuk memproduksi dan mengekspor versi generik obat-obatan atau vaksin yang dipatenkan tanpa izin dari pemegang hak paten ketika ada keadaan darurat nasional atau keadaan lain yang sangat mendesak.
Ketentuannya secara umum dikenal sebagai lisensi wajib. Di negara-negara yang tidak memiliki kapasitas produksi dalam negeri, lisensi wajib mungkin kurang efektif dalam mengamankan akses vaksin Covid-19 yang terjangkau.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Meskipun Trips Agreement juga memungkinkan suatu negara untuk mengimpor versi generik dari vaksin yang diproduksi oleh negara lain di bawah skema lisensi wajib, meyakinkan negara untuk mengekspor persediaannya pada pandemi ini akan sangat menantang.
Sebagi alternatif, negara-negara juga dapat mempertimbangkan untuk menggunakan pasal 31 Trips Agreement, yang memungkinkan untuk melakukan tindakan yang mereka angga penting untuk melindungi kepentingan keamanan penting pada saat darurat.
Namun, langkah ini dapat menarik tantangan hukum melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia.
Selain itu, tidak ada negara dalam posisi untuk menggunakan pendekatan ini karena tidak ada hukum domestik yang tersedia untuk menerapkannya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Jika Trips Agreement tidak menawarkan jalan lain, negara-negara berkembang memiliki satu opsi terakhir yaitu, melepaskan kewajiban mereka berdasarkan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal IX.3 Perjanjian WTO.
Konferensi Tingkat Menteri dapat memutuskan untuk mengesampingkan kewajiban yang dikenakan oleh perjanjian berdasarkan WTO, termasuk Trips Agreement.
Tantangan sebenarnya adalah bagaimana to membuat Konferensi Tingkat Menteri memutuskan situasi mengambil keputusan dalam situasi saat ini. Ada tantangan praktis dan prosedural yang tidak akan mudah dipenuhi.
Cara-cara Inovatif
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Peraih Nobel, Joseph Stiglitz, mengimbau bahwa sekaranglah saatnya komunitas internasional mengambil tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengatasi pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya tersebut.
Ia mengatakan, dengan tidak adanya intervensi publik, kita akan tetap bergantung pada sistem monopoli yang digerakkan untuk mendukung keuntungan perusahaan farmasi transnasional dalam mendapatkan vaksin Covid-19.
Presiden Kosta Rika Carlos Alvarado Quesada telah mengajukan proposal kepada Organisasi Kesehatan Dunia yang menyerukan pembentukan kelompok sukarela hak paten untuk akses gratis atau lisensi dengan persyaratan yang masuk akal dan terjangkau di setiap negara anggota.
Pendekatan ini bisa disebut “sains terbuka.”
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Penelitian telah menunjukkan bahwa kelompok paten telah bekerja di bidang bioteknologi. Ini dapat melayani kepentingan kesehatan masyarakat maupun industri swasta.
Namun, beberapa negara atau farmasi besar mungkin memiliki pendapat yang berbeda tentang bagaimana sains terbuka dapat dan harus berinteraksi dengan berbagai rezim intelektual.
Kabar baiknya adalah bahwa gagasan-gagasan tersebut telah disetujui oleh direktur jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Beberapa negara sekarang mendesak WHO untuk secara sukarela mengumpulkan kekayaan intelektual sebagai bagian dari rencana untuk memastikan “akses yang adil” ke vaksin dengan harga terjangkau
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Di Jalur yang Benar
Skala pandemi Covid-19 saat ini membuat akses langsung ke teknologi, terutama untuk mengembangkan vaksin yang efektif, lebih mendesak daripada sebelumnya.
Diplomasi Indonesia dalam mengejar vaksin untuk Covid-19 telah berada di jalur yang benar. Kita harus terus berusaha mencapai keseimbangan antara melindungi kesehatan masyarakat dan hak paten.
Fleksibilitas dalam sistem WTO tidak memadai untuk memastikan respons yang efektif, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dapat mempertimbangkan untuk mengeksplorasi cara-cara inovatif lainnya untuk memastikan akses yang adil ke vaksin yang terjangkau, termasuk pembentukan kumpulan paten sukarela WHO. (AT/RE1/P2)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Mi’raj News Agency (MINA)