Bungkus Cabe Yang Hasilkan Hafidz dan Hafidzah

Oleh Etha Rachmah, Mahasiswi IAIN Raden Intan Lampung

Seorang ibu berjilbab panjang dipadukan dengan jubah, siang di penghujung Oktober itu menemui dua orang akhwat di ruang tamu  bercat merah muda yang dilengkapi sebuah lemari berisi beberapa piala hasil lomba MTQ dan STQ mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional, yang diraih oleh anak-anaknya.

Uswatun Hasanah, ibu rumah tangga kelahiran Pringsewu, 25 Juli 1973 itu bisa jadi adalah wanita luar biasa, karena lima diantara delapan anaknya – berumur antara 23 tahun (sulung) dan dua tahun – adalah para penghafal Al-Quran. Dua orang sudah menyelesaikan hafalannya dan dua lagi akan segera menyusul.

Tinggal di kompleks Ponpes Al Fatah, Muhajirun, Natar, Lampung Selatan, wanita ini bersuamikan Abdulrahman Shaleh – ustadz di pondok tersebut yang juga adalah guru kimia di sana.

Pada awalnya Uswatun belum terfikirkan untuk menjadikan anak-anaknya hafidz dan hafidzah, namun dia kemudian terinspirasi oleh selembar selebaran berisi sebuah artikel – yang dia peroleh ketika membeli cabai di warung. Sesampainya di rumah, bungkus cabai itu dibuka dan iseng-iseng dibaca. Isinya, kisah seorang ibu dari delapan anak yang semuanya penghafal Al Quran.

Wanita dalam artikel itu berumur 60 tahun dan memasukkan beberapa anaknya ke pesantren. Ketika salah satu anaknya pulang dari pesantren dia agak heran, “kok anak ini sudah bisa menghafal Al-Quran, padahal waktu di rumah ngak pernah diajari menghafal, bahkan belajar ngaji saja di TPA.”

Begitu juga saat si adik pulang dari pondok pesantren yang berbeda, ternyata juga sudah hafal Al Quran. Si ibu yang sudah lansia itu mulai berfikir,jika anak-anak bisa menghafal Al Quran, kenapa dia tidak. Maka mulailah wanita baya tersebut belajar membaca kitab suci itu dan berhasil menyelesaikan hafalannya 30 juz.

Mulanya Uswatun ragu-ragu untuk mendorong anak-anaknya belajar tahfidz, karena dia sendiri juga belum mahir membaca Al Quran. Tetapi suaminya optimis dan sangat mendukung niatnya itu. Waktu itu Ummul, anak pertamanya saja masih duduk di bangku MI, tetapi di ponpes ada tahfidz, kenapa tidak dimanfaatkan? Mulai saat itulah suaminya menyuruh Ummul untuk masuk ke tahfidz.

“Di ponpes ini biasanya setiap habis shalat subuh suka ada ngajinya di masjid, lalu sambil jalan anak saya suka menghafal Al Quran. Kemudian saya berfikir, anak saya saja bisa,” katanya.

Wanita itu mengaku memang tidak mudah mendorong anak-anak masuk tahfidz. “Dulu Ummul ketika mau berangkat, selalu mau menangis. Maklum masih kelas 1 MTs. Namun setelah berjalan, lama-lama ya alhamdulillah. Kemudian menyusul adiknya, Hamzah disuruh masuk tahfidz, juga saat anak itu kelas satu MTs.”

Melihat kedua kakaknya berada di tahfidz, akhirnya adik-adiknya tergerak untuk masuk ke sana atas keinginan mereka sendiri. “Pernah waktu itu anak keempat saya, Khaldun yang duduk di kelas 4, saya ajak ke tukang jahit untuk mengukur seragam sekolahnya. Tetapi tiba-tiba dia menolak dan bilang tidak mau sekolah.”

Tentu saja Uswatun kaget mendengar anakya capek sekolah dan ingin tahu apa sebabnya. “Saat saya tanya, Khaldun menjawab  ‘aku mau di tahfidz saja.’ Ya Allah saya kira ada apa ngak mau sekolah, ternyata dia mau masuk tahfidz.”

Tanpa diduga, ketika anak-anaknya berada di Taahfidzul Qur’an, ternyata mereka mengikuti perlombaan MTQ dan STQ dari tingkat kabupaten sampai nasional. Anak keduanya, Hamzah pernah mengikuti lomba MTQ kategori 20 juz tingkat provinsi tahun 2014 dan berhasil menjadi juara satu serta meraih hadiah umrah.

Lalu anak keempatnya, Khaldun juga pernah mengikuti beberapa perlombaan MTQ yang salah satunya pada tahun 2013 kategori 10 juz dan berhasil merebut juara satu. Salah satu hadiahnya adalah umrah, dan hadiah itu diserahkan kepada ayahnya.

Anak-anaknya yang lain juga pernah mengikuti lomba MTQ dari tingkat kabupaten hingga nasional dan berhasil masuk dalam kategori tiga besar. Uswatun menyebutkan, “saya memasukkan anak-anak ke tahfidz bukan untuk lomba, hanya agar bisa mengaji dan menghafal, tetapi jika mereka ingin ikut lomba-lomba ya silahkan saja.”

Mengisahkan pegalamannya menghafal Al Quran, Ummul Mukminat mengaku mengalami perubahan ahlak, “dulu waktu ketika masih di MI saya nakal. Setelah masuk di tahfidz mulai berubah, apalagi saat masuk ke kampus Darul Fattah, semakin baik. Saya ikut lomba niatnya mencari pengalaman saja.”

Menurut dia menghafal Al Quran itu mudah, semua orang bisa tetapi menjaganya yang paling susah. “Kemarin waktu ngafal kayaknya lancar, kok sekarang sudah lupa lagi. Menghafal itu tidak instan, karena itu hafalan Al-Quran bisa diibaratkan seperti unta, kalau tidak diikat ya kabur, makanya hafalan itu harus diiket, dengan murajaah.”

Ketika  masih di Al-Fatah, dia fokus pada Al-Quran, tapi saat sudah kuliah dia mengaku fokus dengan kuliah. Begitu pula waktu sudah bekerja fokus pada pekerjaan, kadang jarang murajaah. Ujian bagi penghafal Al-Quran ada tiga, pertama faktor keluarga yang kurang  mendukung. Kedua, faktor ekonomi, ketiga godaan dari lawan jenis.

Ummul juga mengaku, ada kalanya penghafal itu merasa bosan. Untuk mengatasi kejenuhan itu biasanya dia mengutak-atik atau menukar-nukar jadwal. Misal bila biasanya di jam sekian itu tugasnya menghafal, maka ditukar menjadi murajaah. “Ya mencari kiat supaya semuanya berjalan lebih santai dan bervariasi.” (Etha/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: habibi

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.