Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ (ال عمران [٣]: ١٩١)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 191).
Sayyid Qutb dalam Tafsir “Fii Dzilalil Qu’ran” menjelaskan ayat di atas, tafakkur atau berpikir yang benar akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya tidak ada yang sia-sia. Semuanya tidak ada cacat, dan semuanya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berpikir yang benar juga melahirkan kedekatan kepada Allah, mengakui kelemahan makhluk, mengakui kekuasaan Allah, sehingga seseorang akan memperbanyak doa kepada-Nya.
Baca Juga: Ustadz Hidayaturrahman: Lima Langkah Mentadaburi Al-Qur’an Dengan Metode Tathbiqi
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan hamba-Nya untuk merenungkan penciptaan alam, langit dan bumi. Allah mengarahkan agar hamba-Nya mempergunakan pikirannya dan memperhatikan pergantian antara siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Fenomena pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia ini juga membuktikan betapa lemahnya manusia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan manusia, kecuali semua itu atas qudrah wa iradah (takdir dan kehendak) Allah semata.
Negara Cina yang mengaku paling kuat, tidak tertandingi dalam hal militer dan ekonomi, ternyata bagi Allah sangat mudah menghancurkannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Ankabut [29] ayat 41:
مَثَلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْلِيَآءَ كَمَثَلِ ٱلْعَنكَبُوتِ ٱتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ ٱلْبُيُوتِ لَبَيْتُ ٱلْعَنكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ (ٱلْعَنكَبُوتِ [٢٩]: ٤١)
Baca Juga: Islam Memuliakan Kaum Perempuan, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”
Pandemi Covid-19 membuat banyak perubahan di berbagai sektor kehidupan manusia. Namun, pandemi itu juga memberi banyak pelajaran bagi kehidupan manusia, terutama terkait pentingnya usaha-usaha pencegahan dan mengatasi hal itu agar kehidupan bisa kembali normal.
Tentu saja ada dampak positif dan negatif atas mewabahnya Corona di seluruh dunia. Berikut ini beberapa hal yang terjadi sebagai dampak dari menyebarnya Corona, yaitu:
Dampak Negatif
Baca Juga: Ketika Umat Islam Diberi Anugerah Kekuasaan Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
- Kesehatan Terganggu
Kesehatan merupakan sektor yang paling terimbas dari Covid-19. Tidak hanya pasien yang meninggal dunia, para dokter dan perawat juga menemui ajalnya karena tertular Corona dari para pasien.
Di Indonesia saja, hingga akhir Juni 2021 tercatat sebanyak 1.066 tenaga kesehatan (nakes) meninggal dunia akibat terpapar Covid-19. Mayoritas dari mereka adalah adalah dokter, yakni 405 orang (data dari Lapor Covid-19.id).
Para nakes meninggal karena kurangnya kelengkapan alat pelindung diri (APD), jam kerja yang berlebihan sehingga mereka kelelahan, hingga karena pasien yang tidak berterus terang dengan riwayat penyakitnya ketika berkonsultasi sehingga menyebabkan penularan masif.
Sementara itu, di Jakarta yang merupakan epicentrum Corona di Indonesia, setiap harinya memakamkan rata-rata 50 orang dengan menggunakan protokol Covid-19. Dengan diberlakukannya Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat sejak awal Juli 2021, pemerintah berharap masyarakat yang terpapar Covid bisa turun.
Baca Juga: Shalat Tahajud Penyebab Kemenangan dalam Jihad Melawan Musuh
- Pertumbuhan Ekonomi Menurun
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan kerugian akibat pandemi virus corona (covid-19) akan mencapai 9 triliun dollar AS pada 2020-2021, atau setara Rp 144.000 triliun. Angka tersebut, jauh lebih besar dari gabungan Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman dan Jepang.
Di dalam keterangan tertulisnya, Ekonom dan Direktur Riset IMF Gita Gopinath mengatakan, tidak ada satupun negara yang selamat dari krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Negara-negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada layanan pariwisata hingga hiburan bakal mengalami disrupsi yang hebat. Adapun negara berkembang bakal mengalami tekanan terhadap perekonomian mereka akibat arus keluar modal asing karena meningkatnya risiko perekonomian global, selain itu juga mengalami tekanan mata uang.
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani juga menjelaskan, kerugian ekonomi RI Tahun 2020 mencapai Rp 1.356 Triliun. Jumlah itu setara dengan 8,8 persen dari PDB Indonesia. Untuk sektor penerbangan saja, potensi pendapatan penerbangan yang hilang tahun ini mencapai US$ 314 miliar karena 240.000 penerbangan yang dibatalkan di seluruh negara.
Baca Juga: Urgensi Tulisan, Alat Tulis dan Penulis dalam Peradaban, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
- Pembelajaran Kurang Efektif
Salah satu dampak pandemi Corona bagi pendidikan adalah semua institusi pendidikan terpaksa meniadakan pembelajaran langsung (tatap muka). Tak hanya di Indonesia saja, hal ini juga berdampak terhadap institusi pendidikan mancanegara. Bahkan, terdapat beberapa negara yang sudah lebih dulu memberlakukan sistem ini. Meskipun begitu, selalu terdapat dua sisi dari setiap cerita dan kejadian.
Saat semua jenis pembelajaran daring (dilakukan secara online), terdapat kesenjangan dari segi fasilitas. Banyak murid yang selama ini bergantung pada fasilitas pendidikan yang disediakan oleh sekolah dan juga kampus. Pasalnya, tidak semua murid atau mahasiswa memiliki fasilitas yang memadai. Baik itu gadget, koneksi internet, atau bahkan listrik.
Apalagi, murid dan mahasiswa yang tinggal di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Terluar) sulit mendapatkan fasilitas pendukung pembelajaran online.Beberapa murid dan mahasiswa merasa bahwa pembelajaran dari rumah terasa lebih berat dari sebelumnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh pemerhati pendidikan, The Conversation, beberapa orang tua murid menyarankan agar pembelajaran jarak jauh tidak terbatas pada pemberian tugas saja. Ada baiknya jika sesi penyampaian materi juga diperbanyak, agar murid dapat benar-benar merasa seperti belajar dan tidak hanya diberi tugas saja.
Baca Juga: Meneladani Kepribadian Rasulullah dengan Mengikuti Sunnahnya, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Pakar Pendidikan Munif Chatib menyarankan kepada pemerintah agar membangun juga gencar jaringan di samping infrastruktur. Mengapa? Karena dunia pendidikan sangat membutuhkan hal itu, demikian juga bidang agama, ekonomi dan sektor fundamental lainnya.
Sementara itu, laporan dari Lembaga Pendidikan PBB, UNICEF menyatakan, meningkatnya waktu murid belajar dan bersosialisasi secara online di internet dapat meningkatkan risiko berbahaya, khususnya untuk murid pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama). Beberapa risiko tersebut antara lain cyberbullying, juga konten negatif yang tersebar di internet berpotensi membahayakan anak.
- Pengamalan Ibadah Tidak Maksimal
Untuk mengantisipasi laju penyebaran Covid-19 ini, Pemerintah membuat aturan membatasi sementara kegitan di tempat-tempat ibadah demi mengurangi kerumunan massa yang banyak. Akibatnya kegiatan-kegiatan ibadah di masjid, mushala, gereja, wihara, pura dan tempat lainnya praktis terhenti.
Sementara itu, bagi ummat Islam yang saat ini sedang menghadapi bulan Haji dan Idul Adha 1442 H, hal ini menjadi ujian tersendiri. Pasalnya mereka terbiasa memakmurkan masjid dan mushala dengan berbagai kegiatan ibadah seperti penyembelihan dan penyaluran qurban dan lainnya, di masa PPKM ini harus memastikan tidak adanya kerumunan massa.
Baca Juga: Kajian Surah Al-Jinn: Iblis dari Golongan Jin
Dampak selanjutnya, tentu bagi asatidz, mubaligh dan para pemuka agama lainnya dalam melakukan pembinaan kepada ummat mengalami masalah serius.
Beberapa masjid mencoba membuat inovasi dengan membuat program-program penyantunan umat dengan pengajian dan diskusi secara on-line. Akan tetapi, tidak semua pengurus tempat ibadah dapat melakukan hal itu karena keterbatasan dana, pengalaman, jaringan hingga finansial.
Sementara untuk ibadah haji, pemerintah Saudi memutuskan tidak menerima jamaah haji dari luar negaranya. Bagi Indonesia, hal itu akan semakin menambah panjang daftar antrian haji yang saat ini sudah mencapai 21 tahun lamanya.
- Problematika Sosial Bermunculan
Pandemi Covid-19 jelas sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dalam masyarakat. Beberapa pengamat memprediksi lebih kurang 50 juta orang terancam kehilangan pekerjaan akibat dampak dari pandemi, mulai dari buruh pabrik hingga pelaku usaha kecil menengah. Sulit untuk dibayangkan bila terjadi pengangguran, maka masalah sosial selanjutnya akan terus bermunculan.
Baca Juga: Semangat Hijrah dan Memperselisihi Orang Yahudi, Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
Selain itu, dalam pergaulan antar masyarakat, timbulnya rasa curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap orang-orang yang ada di seputaran kita atau yang baru kita kenal. Komunikasi antar masyarakat tidak dapat berjalan normal lantaran saling waspada jangan sampai tertular Covid-19. Mereka lantas tidak berjabat tangan dan saling menjaga jarak ketika bertemu. Senyum yang indah antar teman ketika bertemu pun terhalang akibat masker yang harus di pakai setiap berkegiatan keluar rumah.
Sebuah survey yang dilakukan oleh “The SMERU Research Institute” menyampaikan hasil surveinya yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan, tiga dari empat rumah tangga mengalami penurunan pendapatan atau sebesar 75 persen akibat kehilangan pekerjaan selama pandemi. Sementara itu, satu dari dua rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan untuk bertahan hidup karena sektor pendapatan bisnis rumah tangga 90 persen mengalami kemunduran di tahun 2020.
- Politik Tidak Stabil
Di Indonesia, masyarakat yang sebenarnya berangsur sembuh dari perpecahan akibat Pilpres, Pemilu dan Pilkada, kini mulai terluka lagi akibat ketidakpuasan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi pandemi ini.
Banyak kalangan, baik dalam negeri maupun negara tetangga mengatakan, Indonesia tergolong lambat dalam mencegah penyebaran COVID-19.
Baca Juga: Berdirinya “Negara Israel”, Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)
Pemerintah berupaya memperbaiki kekeliruan tersebut, di antaranya dengan membentuk gugus tugas percepatan penanganan COVID-19. Setelah itu, pemerintah daerah juga berinisiatif menyiapkan fasilitas dan tenaga kesehatan untuk mengantisipasi lonjakan pasien. Personel pertahanan dan keamanan pun terlibat secara langsung dalam upaya mitigasi, misalnya pendirian rumah sakit khusus Covid di DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, penyediaan sarana transportasi dan logistik untuk distribusi alat kesehatan ke berbagai daerah, serta pengamanan fasilitas publik.
Pemerintah menyediakan anggaran untuk penanganan Covid sebesar Rp. 1.035,2 triliun yang terbagi dalam empat pos utama, yaitu: pembiayaan pemulihan ekonomi nasional, perlindungan sosial, belanja bidang kesehatan, dan insentif pajak termasuk stimulus kredit usaha rakyat.
Meski ada perkembangan positif dalam penanganan COVID-19, seperti peningkatan pasien sembuh, usaha mitigasi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah sejauh ini masih dipandang belum maksimal. Tingkat kesiapan tenaga medis dan fasilitas kesehatan pun terus diuji karena pertambahan pasien dari hari ke hari. Hingga bulan ini (Juli 2021) Indonesia dilanda gelombang kedua Covid-19, padahal negara-negara Eropa sudah mulai melaksanakan kehidupan normalnya.
Dampak Positif
Baca Juga: Lima Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Yakhsyallah Mansur)
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam ayat di atas, bahwa semua yang diciptakan-Nya tidaklah sia-sia. Begitu juga dengan pandemi Covid-19 yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengingatkan betapa lemahnya umat manusia di hadapan-Nya.
Covid-19 di samping membawa dampak negatif seperti diuraikan di atas, juga memberikan dampak positif bagi kehidupan. Hal itulah yang harus direnungkan oleh kaum Muslimin sehingga semakin menambah keimanan dan kedekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Menunjukkan Kebenaran Syariat Islam
Melalui Corona itu, banyak manusia kini menyadari bahwa ajaran (syariat) Islam benar-benar membuat orang menjadi sehat. Di antara syariat yang berhubungan dengan pencegahan Corona antara lain; memakan makanan yang halal dan thayib, membiasakan wudhu, tidak sembarang berjabat tangan (salaman) dengan orang banyak (bukan mahram), hingga menutup muka (cadar) dan lainnya. Hal ini sejalan dengan anjuran pemerintah untuk melaksanakan 5 M (mencuci tangan, memakai masker, menjauhi kerumunan, menjaga jarak dan mengurangi aktifitas)
Memakan makanan sembarangan jelas menjadi sumber utama penyakit, utamanya Corona itu. Sebagaimana asal mula Covid-19 itu merupakan jenis virus yang terdapat pada hewan (kelelawar dan trenggiling), kemudian menular ke manusia. Prosesnya adalah melalui makanan yang mereka makan.
Sementara itu, dalam syariat wudhu, ada proses mencuci tangan, berkumur, membersihkan hidung, membersihkan muka, membasahi rambut, dan membersihkan kaki. Jika anggota tubuh itu dibersihkan minimal lima kali dalam sehari, sangat mungkin virus corona tidak menempel pada tubuh.
Menurut psikiater dan neurolog asal Austria, Prof Leopold Werner von Ehrenfels, wudhu dapat menstimulasi pusat syaraf dalam tubuh manusia. Wudhu bisa menstimulasi lima organ panca indra yaitu mata, telinga, hidung, mulut, tangan dan kaki.
Stimulus itu akan dihantarkan melalui meridian ke sel, jaringan, organ dan sistem organ yang bersifat terapi. Bagian yang dibasuh juga merupakan pintu masuk bagi ribuan kuman,virus, dan bakteri.
Tidak berjabat tangan dengan sembarang orang juga merupakan salah satu cara agar tidak tertular penyakit (Corona). Maka Islam telah memberi petunjuk agar kepada yang bukan mahram sebaiknya tidak bersalaman. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa kita hormat dan simpati kepada orang lain tanpa harus berjabat tangan dan pelukan.
Masalah cadar, beberapa tahun terakhir, di Negara-negara Eropa tengah ramai melarang penggunaan cadar. Menganggap cadar merupakan bentuk eksklusifitas seseorang terhadap lingkungan sekitar. Namun saat ini, hampir semua orang Eropa, bahkan warga dunia menutup muka ketika keluar rumah karena takut tertular virus Corona.
Walhasil, para pihak yang masih merasa takut dengan Islam (Islamophobia) perlahan namun pasti mereka sadar, terbuka wawasannya bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia, menjaga dan menyelamatkan manusia dari berbagai penyakit dan kerusakan lainnya.
- Tumbuhnya Kesadaran Mandiri Pangan
Seiring mewabahnya Corona, muncul kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan. Hal itu menuntut kewaspadaan dari semua kalangan. di Indonesia, beberapa Lembaga masyarakat (seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya) dan Lembaga filantropi (seperti Dompet Dhuafa (DD), Rumah Zakat (RZ), Majelis Waqaf Jama’ah Muslimin dan lainnya) mucul inisiasi dan inovasi untuk dapat mendorong masyarakat berdaya dan mandiri pangan.
Mereka membuat program Desa Mandiri Pangan dengan mengajak warga masyarakat menanam tanaman pangan seperti ubi-ubian, menanam sayuran, serta budi daya ikan dengan memanfaatkan pekarangan yang belum ditanami.
Sementara di perkotaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga-lembaga filantropi membuat inovasi RW Berdaya dengan menanam tanaman pangan dan sayuran di dalam pot. Mereka juga mengumpulkan donasi untuk membantu warga yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dengan menyediakan sembako.
- Meningkatnya Kerjasama antar Masyarakat
Di masa pandemi ini, kesadaran Negara-negara di dunia untuk saling bahu membahu, bekerjasama menyelamatkan rakyatnya dari Covid-19 semakin kuat kita rasakan. Dalam forum Liga Muslim (Muslim Leauge) semua anggota berkomitmen saling bertukar pengalaman, memberi bantuan dan berbagi informasi tentang penanganan Corona itu.
Sebagai contoh, Indonesia banyak menerima bantuan dari Qatar, UEA, dan organisasi Rabitha Alam Islami berupa alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis. UEA juga memborong beberapa hasil pertanian Indonesia sebagai bentuk solidaritas.
Tidak hanya itu, Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam OKI, seperti Cina, mengirimkan tenaga medis dan obat-obatan kepada Italia untuk membantu Negara itu mengobati pasien Corona. Demikian juga Taiwan yang punya pengalaman berhasil mengendalikan Corona di negaranya, siap berbagi pengalaman kepada siapa saja negara yang memerlukan.
- Polusi Udara Menurun
Transportasi menyumbang 23% dari emisi karbon dalam skala global. Tapi berkat kebijakan lockdown dan PSBB yang berdampak pada penutupan sementara transportasi seperti penerbangan, kapal dan kendaraan darat, maka polusi udara dan efek gas rumah kaca menurun signifikan. Faktanya, kadar polusi udara yang lebih rendah menyebabkan kualitas udara bersih dan segar meningkat. Untuk kali ini, lapisan ozon bumi sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
Di Italia yang merupakan negara dengan kasus terbanyak Corona, ada kemenangan kecil yang menghampiri negara itu, yaitu Sungai Venesia yang kini memperlihatkan kejernihan airnya. Beberapa orang mengunggah foto-fotonya ke grup Facebook bernama Venezia Pulita (atau Clean Venice), memperlihatkan keindahan airnya yang jernih, yang kini dihuni kembali oleh ikan-ikan kecil, lengkap dengan pesan-pesan inspiratif, seperti: Alam melanjutkan hidupnya, Betapa indahnya dan lainnya.
Sementara sebagian Negara-negara di dunia memberlakukan lockdown, social dan physical distancing, aktivitas wisata di pantai pun lebih sepi. D India, tepatnya di pantai bagian timur dari Odisha, dilaporkan 475.000 penyu laut Olive Ridley yang hampir punah kini mengunjungi pantai, menggali tanahnya, dan mulai bertelur hingga jumlahnya mencapai 60 juta, seperti yang diberitakan The Mind Unleashed.
- Keakraban dalam Rumah Tangga
Menurut Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), I. Agustina Erni Susiyanti, pandemi Covid-19 memiliki dampak positif bagi rumah tangga.
Agustina mengungkap, sejumlah penelitian menyebutkan, di masa pandemi, komunikasi dan keharmonisan keluarga meningkat. Sebelum COVID-19 menghantui, anggota keluarga sering berkegiatan di luar rumah, berangkat pagi dan pulang sore atau malam. Namun di tengah pandemi ini, waktu dengan keluarga lebih banyak.
Dengan lebih banyak waktu di rumah, suami istri bisa lebih banyak berdiskusi, lebih memperhatikan tumbuh kembang anak-anak, dan membangun keakraban.
Kebijakan bekerja dari rumah (work from home/WFH) juga membuat suami, istri, dan anak-anak berada dalam satu suasana sehingga berbagai kegiatan rumah tangga pun bisa dilakukan bersama-sama. Begitu juga dengan tuntutan belajar daring, masing-masing anggota keluarga akan meningkatkan keilmuan dan keterampilan sehinga bertambah wawasan mereka dalam mengatasi problematika masa kini dan mendatang. (A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)