Jakarta, 20 Rajab 1435/19 Mei 2014 (MINA) – Amir Dakwah Jamaah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jabodetabek, Ustadz Drs. Syamsuddin Ahmad, MM, menyimpulkan bahwa parlemen yang ada saat ini sama halnya dengan Darunnadwah pimpinan Abu Lahab pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Berikut ini adalah petikan wawancara reporter MINA, Rudi Hendrik, dengan Ustadz Syamsuddin Ahmad, Ahad malam (18/5) di kediamannya, Cengkareng, Jakarta Barat:
MINA: Bagaimana pandangan Ustadz tentang pemilu legislatif yang baru saja berlalu?
Syamsuddin Ahmad: Legislatif di dalam pandangan syariat Islam, sama seperti Darunnadwah milik Abu Lahab di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Di mana semua yang ada di dalamnya merupakan orang yang melaksanakan ro’yu, melaksanakan filsafat, sehingga pada masa ini seorang Muslim melaksanakan pemilihan legislatif harus flashback kembali bahwa cara-cara itu sudah keluar dari contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang justeru membatasi, mendinding para sahabat agar tidak mendekati Darunnadwah.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
MINA: Dalam setiap pemilu, suara umat Islam diperebutkan, tapi setelah para tokoh memerintah, suara umat Islam terabaikan. Penyebabnya?
Syamsuddin Ahmad: Penyebab utamanya adalah karena apa yang dilaksanakan umat Islam ini bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan berpolitik itu. Pada hakekatnya, para politikus ingin terbebas dari hukum-hukum Allah. Apa bila umat Islam sudah memberikan suara, maka senanglah hati mereka, tetapi untuk mengakomodir aturan-aturan syariat Islam dari yang memberikan amanat, mereka tidak mau. Karena sekali lagi, itu akan bertentangan dengan konsep dari perpolitikan mereka. Kalau pun sampai ada syariat Islam, itu pun sifatnya hnya parsial saja, hanya beberapa yang sifatnya menguntungkan. Jika tidak menguntungkan mereka buang.
MINA: Apakah demokrasi cocok bagi umat Islam?
Syamsuddin Ahmad: Kalau dilihat dari Al-Quran, demokrasi itu sangat bertentangan dengan ayat-ayat Allah. Di antaranya adalah Qs. Al-An’am ayat 116.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
Sedangkan dalam politik, kendaraannya adalah demokrasi. Demokrasi kita tahu adalah dengan voting, dengan suara terbanyak. Itulah standar dari ukuran kebenaran, ukuran seseorang bisa jadi pemimpin, bisanya diambil suatu keputusan. Jadi kebenaran diukur dengan standar suara mayoritas. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu dari Tuhan-mu, maka janganlah ragu sedikit pun dari kebenaran itu.
MINA: Ada pemikiran yang menyatakan, bahwa jika umat tidak ikut pemilu, non-Muslim akan berkuasa dan memimpin. Menurut, Ustadz?
Syamsuddin Ahmad: Kalau di negara Barat, negara adidaya, jelas parlemen mereka dikuasai oleh mayoritas non-Muslim. Orang-orang Muslim pun bisa hidup di tengah-tengah mereka. Hanya saja hukum yang dipraktekkan oleh mereka adalah hukum jahiliyah, hukum di luar Quran dan Sunnah.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Di Indonesia yang mayoritas Muslim, dengan menempuh cara-cara parlemen, yang mayoritas Muslimin di dalamnya, kurang lebih apa yang mereka hasilkan sama seperti negara-negara yang parlemennya mayoritas non-Muslim, paling tidak, kurang mengakomodir hukum-hukum Allah.
MINA: Lalu apa solusinya bagi Muslimin jika demokrasi atau pemilu bukan bagian dari Islam?
Syamsuddin Ahmad: Solusi yang terbaik bagi umat Islam, sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, bahwa umat Islam diwajibkan untuk ber-jamaah, ada sentral kepemimpinan umat Islam yang mengendalikan kehidupan umat Islam dengan dasar Kitabullah dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Di ayat lain, umat Islam dilarang berwalikan orang-orang di luar Islam, terutama titik beratnya adalah Yahudi dan Nasrani. Pada hakekatnya, pada keduanya lebih memfokuskan untuk kesatuan mereka. Ada pun bersatu dengan kaum Muslim itu hanya kamuflase.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Ketika menjaring suara, mereka butuh Muslimin, tapi ketika menjalankan hukum, Muslimin itu tidak akan diperhatikan, baik usul maupun tawaran dari Muslimin.
MINA: Tentang ber-jamaah (bersatu) dengan satu sentral kepememimpinan ini kurang populer, bagaimana supaya Muslimin mayoritas mengetahui tentang sistem kepemimpinan Islam ini?
Syamsuddin Ahmad: Sudah waktunya umat Islam ini, terutama para alim dan dai untuk mendakwahkan kewajiban ber-jamaah ini, karena pada dasarnya hal ini sudah jelas di dalam Al-Quran, dalil yang qath’i yang tidak bisa dibantah lagi kebenarannya.
Juga dalam sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan dalam praktek beliau itu, tidak pernah berkolaborasi dengan kepemimpinan di luar syariat Islam, seperti dengan Abu Lahab dan para pembantunya.
Kepemimpinan Rasulullah diteruskan dalam bentuk Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian yang pernah dicontohkan oleh Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ada pun yang sekarang ini, rancu tentang pemahaman sebagian ulama kita ini, bahwa mendudukkan kepemimpinan negara ini identik dengan kepemimpinan khilafah, identik dengan kepemimpinan Nabi. Padahal Nabi dan kepemimpinan Khulafaur Rasyidin atau Khilafah itu, sangat tidak identik dengan kepemimpinan di negara yang seluruh manusia beraklamasi, seakan-akan untuk melaksanakan hukum-hukum di luar hukum Allah Subhana Wa Ta’ala.
Perlu disadari oleh seluruh umat Islam bahwa kita harus kembali meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sebagai mana dalam QS. Al-Anbiyaa’ ayat 21. Contoh terbaik dalam segala sesuatu bagi umat Islam adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, termasuk dalam memimpin umat manusia.
Jadi yang beliau pimpin bukan hanya umat Islam. Jadi memimpin dengan syariat Islam yang di dalamnya bisa saja terdapat orang-orang non-Muslim. Contoh, ketika beliau memimpin di Madina, di dalamnya ada orang-orang Nasrani dan Yahudi. Bahkan tiga kelompok utama suku Yahudi. Sampai pada titik puncak kepemimpinan itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani mendapat perlindungan dalam kepemimpinan Al-Quran dengan syarat mereka membayar jizyah (pajak). Sementara umat Islam membayar zakat.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
MINA: Pandangan ustadz tentang manuver-manuver koalisi sekarang ini?
Syamsuddin Ahmad: Saya melihat bahwa manuver-manuver koalisi ini, seakan-akan umat Islam mengemis-ngemis terhadap partai politik nasionalis yang memenangkan pemilu. Sehingga kita melihat betul bagaimana umat Islam ini, karena ingin mendapatkan jabatan di berbagai posisi, mereka mendekatkan diri dengan pemimpin dan pengurus partai yang menang.
MINA: Seandainya Jokowi yang menurut banyak media didukung oleh kekuatan non-Islam menang sebagai Presiden, sikap apa yang seharusnya umat Islam ambil?
Syamsuddin Ahmad: Sebelum ada kata “andai” tadi, umat Islam harus sudah mulai berpikir mana yang lebih baik, mana yang lebih dekat kepada Islam. Ini jalan terakhir setelah kita menemui kegagalan yang pertama (dalam pemilu legislatif) karena umat tidak memahami jalur sebenarnya yang harus ditempuh Muslimin, yaitu dengan ber-jamaah.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Setelah itu, hal yang kedua, kaum Muslimin menempuh jalur kepartaian, yang akhirnya gagal juga untuk bersaing dengan orang-orang non-Muslim dan nasionalis.
Kemudian, sekiranya terjadi sebagaimana yang dimaksud tadi (Jokowi sampai terpilih dan dibelakangnya kekuatan non-Muslim), terpilih menjadi presiden, dalam hal ini umat Islam harus benar-benar mengambil sikap oposisi. Harus benar-benar ada oposisi yang solid untuk menandingi produk-produk hukum yang lahir, yang pada dasarnya semua hukum yang dilahirkan oleh negara tidak ada yang condong kepada syariat Islam. Paling tidak dapat mengimbangi agar hati umat Islam tidak terlalu dalam kecewanya, dengan sudah tidak diakomodir hukumnya. Padahal negara ini direbut dengan darah dan nyawa umat Islam, para ulama.
Syukur nanti setelah ini, para ulama dan umat Islam pada umumnya bisa berpikir bahwa denga cara ini (demokrasi) beberapa kali kita tidak memperoleh hasil signifikan supaya bisa bersuara mengeluarkan hukum syariat Islam yang bisa diamalkan oleh umat Islam. (L/P09/R2)
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)