Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dubes Wahid: Peningkatan Kerja Sama Ekonomi RI-Rusia Melalui Diplomasi Budaya

Rana Setiawan - Selasa, 8 September 2020 - 18:06 WIB

Selasa, 8 September 2020 - 18:06 WIB

5 Views

Tim Wartawan Kantor Berita MINA mengadakan wawancara eksklusif dengan Mohammad Wahid Supriyadi yang baru saja mengakhiri tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia (Dubes LBBP RI) untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus.

Tim Kantor Berita MINA terdiri dari Pemimpin Redaksi Ismet Rauf, Redaktur Senior Widi Kusnadi, Kepala Peliputan Rana Setiawan, Kepala Redaksi Arab Rifa Berliana Arifin, dan Kepala Redaksi Bahasa Inggris Sajadi.

Dubes Mohamad Wahid Supriyadi (61) mengawali masa tugas sebagai Duta Besar di Federasi Rusia dan Republik Belarus terhitung sejak bulan April 2016 hingga akhir tugasnya pada Juli 2020. Sebagai diplomat karier, sebelumnya ia pernah bertugas di Australia (tiga kali terakhir sebagai Konsul Jenderal RI Melbourne, 2004-2007), dan Duta Besar di Uni Emirat Arab.

Dalam wawancara di Jakarta pada Sabtu (5/9) ini, Dubes Wahid antara lain mengungkapkan peluang-peluang besar kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Rusia melalui diplomasi budaya. Dia juga menjelaskan kedekatan hubungan masyarakat muslim Rusia dengan Indonesia.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Dubes Wahid mengatakan Rusia memiliki kebijakan luar negeri yang sama dengan Indonesia dalam menyikapi konflik Palestina-Israel dengan mendukung prinsip solusi dua negara (two state solution).

Sebagai penggagas banyak acara yang bertujuan memperluas hubungan antara Indonesia dan Rusia, termasuk empat festival besar-besaran budaya Indonesia dan forum bisnis di Rusia.

Festival Indonesia dianugerahi Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) karena penyelenggarannya selama empat kali berturut-turut. Dubes Wahid juga menerima Primaduta Awards dalam kategori Pasar Ekspor Potensial pada Trade Expo Indonesia di Indonesia Convention Exhibition – ICE BSD City, Tangerang pada 16 September 2019. Dia juga mendapat gelar Profesor Kehormatan untuk Hubungan Internasional dari Tomsk State University. Tercatat sebelumnya hanya Presiden Pertama RI Sukarno yang mendapat gelar tersebut dari Moscow State University.

Menjelang berakhirnya tugas Dubes Wahid di Rusia pada akhir Juli 2020, dia mendapat penghargaan Medal of Muslims of Russia “For Services” dari Dewan Mufti Rusia, diberikan langsung oleh Wakil Ketua Dewan Mufti Rusia, Rushan Abbyasov, di Kantor Dewan Mufti Rusia di Moskow, Rabu 29 September 2020.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

Penghargaan diberikan atas kontribusi Dubes Wahid selama bertugas di Rusia dalam mengembangkan dan memperdalam hubungan kebudayaan dan keagamaan antara bangsa Rusia dan Indonesia.

Dia adalah penulis banyak artikel tentang hubungan internasional di surat kabar The Herald Sun, The Age, Image Indonesia, Harian Kompas, Suara Pembaruan Daily, dan majalah International Life, termasuk di Kantor Berita MINA.

Berikut kutipan wawancara selengkapnya:

MINA: Bagaimana kesan-kesan Bapak setelah mengakhiri tugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus?

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Dubes Wahid: Kesan pertama saya, saya pernah membaca sebuah buku yang berjudul “Russia: A 1000-Year Chronicle of the Wild East” karya jurnalis BBC Martin Sixsmith menceritakan bahwa sejarah Rusia didominasi oleh kepala negara yang otoriter, jadi kalo pemimpinnya sudah mulai lemah, hancurlah negara itu seperti Mikhail Sergeyevich Gorbachyov periode 1985.

Bayangan saya nama Gorbachyov harum di mana-mana, namun ternyata tidak, malahan ia dianggap bertanggung jawab atas perpecahan Uni Soviet. Intinya mereka perlu pemimpin yang kuat, makanya Putin walaupun saat ini turun ratingnya tapi tetap yang tertinggi (59%) untuk sebuah demokrasi.

Kemudian satu hal yang saya pelajari di sana adalah, orang Rusia itu sangat senang dengan budaya, bahkan banyak bermunculan seniman-seniman, yang bahkan dieksekusi khususnya pada jaman Stalin.

Pada hari kedua saya memulai tugas di sana, saya keluar wisma, saya melihat banyak orang sedang antre memasuki sebuah gedung. Saya bertanya orang itu lagi ngapain, ternyata sedang mengantre ke sebuah museum, sampai-sampai mereka mengajak anak-anak. Sepekan kemudian saya datang ke sebuah museum lukisan, dan dari situ ingatan tentang sejarah Rusia mulai muncul kembali. Jadi ternyata orang Rusia kalo mempelajari sejarah dengan langsung datang ke museum.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

Di situ lah saya merancang sebuah Festival Indonesia. Tidak hanya seni dan budaya Indonesia yang disajikan dalam acara tersebut, akan tetapi juga perdagangan, investasi, dan juga interaksi antarindividu. Dari penyelenggaraan pertama (2016) hingga yang keempat (2019) pengujungnya selalu meningkat dari sekitar 68 ribu, 91 ribu, 137 ribu dan terakhir 117 ribu. Memang ada penurunan yang terakhir, hal ini karena hujan lebat di hari kedua dan internet Moskow di-black out karena terjadi demontrasi besar di Kremlin. Festival itu menjadi ikon dan disebut oleh kantor Walikota Moskow sebagai festival terbesar yang diselenggarakan oleh Kedutaan asing.

Maka pendekatan saya melalui budaya, karena dalam budaya itu terdapat nilai ekonominya. Semua yang dijual di stan rata-rata habis, bahkan pertunjukan budaya seperti wayang dan tari sangat diminati oleh orang Rusia. Karena keberhasilan tersebut saya mendirikan sanggar yang diisi oleh orang-orang Rusia, bahkan mereka tidak meminta bayaran untuk itu.

Setelah menjabat sebagai kepala perwakilan di Merlbourne Australia dan menjadi duta besar di Uni Emirat Arab dan Rusia. saya baru merasakan menjadi dubes yang sebenarnya di Rusia. Saya merasakan perlakuan dan sambutan yang diterimanya ketika melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah di Rusia sangat luar biasa.

Pada waktu itu saya melakukan kunjungan ke Ufa (1.339,4 km dari Moskow), ibu kota dan kota terbesar di Republik Bashkortostan. Petugas protokoler setempat menyampaikan kepada staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mendampingi saya menyediakan sebuah mobil sedan, sedangkan sang staf disediakan sebuah minibus. Karena saya terbiasa kasual, saya meminta untuk satu mobil saja dengan sang staf.

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Akan tetapi, hal itu tidak dapat dipenuhi petugas protokoler dengan alasan tidak sesuai dengan protokol yang berlaku. Ketika saya membuka pintu sedan Mercedes S600, saya sadar bahwa itu adalah mobil antipeluru, sama seperti yang digunakan Presiden Jokowi di Indonesia. Jadi, mereka benar-benar menghargai saya sebagai wakil negara.

Dubes Mohamad Wahid Supriyadi (tiga dari kiri) bersama Tim Kantor Berita MINA.(Foto: Doc. MINA)

MINA: Peluang-peluang apa yang terbuka untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dengan Rusia?

Dubes Wahid: Hubungan kedua negara saat ini sedang menuju pada tingkat yang lebih tinggi yaitu dalam bentuk Kemitraan Strategis.

Kedua negara memiliki banyak potensi dan peluang kerja sama di berbagai bidang, baik ekonomi, perdagangan, investasi, energi, pariwisata, iptek, pendidikan, sosial budaya, keamanan, dan teknik militer.

Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya

Rusia sebagai pasar potensial bagi produk Indonesia, seperti minyak sawit, produk ikan, kopi, garmen, sedangkan Rusia menawarkan gandum dan produk-produk berteknologi tinggi kepada Indonesia.

Kerja sama ini dapat saling melengkapi satu sama lainnya. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, nilai perdagangan Indonesia dengan Rusia tahun 2018 sebesar USD 2,55 milyar, dan pada periode Januari-November 2019 mencapai USD 1,92 miliar. Nilai ini sebenarnya sangat kecil dibanding potensi yang ada.

Rusia adalah kekuatan ekonomi nomor 12 dunia sementara Indonesia nomor 16.

Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi Rusia, seperti investasi pembangunan kilang minyak senilai USD 16 miliar di Tuban.

Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap

Berdasarkan data BKPM RI, nilai investasi Rusia ke Indonesia pada periode Januari-September 2019 naik 10 kali lipat sebesar USD 17,29 juta dari USD 1,7 juta pada periode yang sama tahun 2018. Angka ini sebenarnya jauh dari nilai yang sebenarnya mengingat sebagian besar investasi Rusia ke Indonesia melalui negara ketiga.

Potensi kerja sama baik perdagangan maupun investasi kedua negara dinilai belum optimal akibat di antara keduanya terbentang jarak geografis, ekonomis, dan psikologis.

Rusia merupakan negara anggota G-20 dengan PDB nominal sebesar USD 1,7 triliun (2019) dan pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 1,3% pada tahun yang sama. Di sisi lain Indonesia merupakan emerging market dengan PDB nominal sebesar USD 1,1 triliun dan pertumbuhan sekitar 5,2%.

Sementara angka perdagangan bilateral Indonesia-Rusia yang berada di kisaran USD 2,5-3 miliar masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total perdagangan bilateral Rusia-Vietnam mencapai USD 6,1 miliar (2018).

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 3)

Mayoritas barang impor Rusia berupa mesin, peralatan kendaraan, peralatan telekomunikasi. Selain itu, komoditas lain seperti bahan industri kimia, farmasi dan komoditas alam lain juga banyak diimpor dari luar negeri. Produk makanan dan minuman seperti buah-buahan, sayuran dan makanan olahan juga banyak diimpor oleh Rusia.

Pada tahun 2019, Indonesia menjadi pemasok ke-4 dari negara-negara ASEAN setelah Vietnam, Malaysia dan Thailand. Ini suatu peningkatan, sebelumnya kita nomor 5 setelah Vietnam, Singapura, Thailand, dan Malaysia.

MINA: Bagaimana peluang bisnis di Rusia?

Dubes Wahid: KBRI Moskow dapat menjadi jendela bagi pengusaha Indonesia untuk dapat melihat peluang bisnis di Rusia. Namun demikian keseriusan sikap, kesiapan untuk membuka diri dan keaktifan mencari peluang bisnis merupakan penopang bagi kesuksesan dalam membina jejaring kerja dan deal bisnis di Rusia.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 2)

Komoditi utama ekspor Indonesia ke Rusia adalah kelapa sawit, karet, produk makanan jadi, alas kali serta produk hortikultura dan perikanan.

Produk hortikultura ini termasuk kopi, teh dan buah tropis yang mulai populer di Rusia.

Beberapa produk canggih seperti kapal boat untuk pasukan khusus Rusia dan produk alat kecantikan Indonesia juga telah memasuki pasar Rusia. Demikian juga produk jadi yang memiliki nilai tambah seperti kopi instan, produk makanan, mie instan dan sebagainya.

Pengalaman perusahaan atau pebisnis Indonesia di Rusia dapat menjadi best practices bagi para pebisnis yang akan atau sudah memasuki pasar Rusia untuk dapat memaksimalkan ekspor Indonesia ke Rusia.

Baca Juga: Wawancara dengan MER-C: Peran dan Misi Kemanusiaan MER-C di Afghanistan

Mayora contohnya telah mengekspor 1.000 kontainer produk mereka pada tahun 2019 dan diharapkan dapat meningkatkan penjualannya di masa mendatang. Sementara itu, Tanamera Coffee yang mengikuti Festival Kopi Pertama di Rusia pada tahun 2019 langsung bertemu buyer-nya untuk ekspor perdana kopi premium sebesar 19,2 ton pada akhir tahun yang sama.

Indonesia juga telah menjadi salah satu tujuan utama wisatawan Rusia.

Festival Indonesia yang telah menjadi ikon promosi terpadu pariwisata, perdagangan, dan investasi oleh KBRI Moskow memberikan bobot tersendiri bagi hubungan dan kerja sama kedua negara.

Hasil nyata dari kegiatan yang diselenggarakan 2016-2019 tersebut selain terjalinnya kontak dan kontrak bisnis yang mencapai USD 10,7 juta juga kunjungan wisman Rusia ke Indonesia yang meningkat hampir 100% dari tahun 2016 (80.514) hingga tahun 2019 (158.943).

MINA: Selamat atas penghargaan Medal of Muslims of Russia “For Services” dari Dewan Mufti Rusia yang diberikan menjelang berakhirnya tugas Bapak.  Bagaimana kondisi ummat dan kehidupan Islam di Rusia?

Dubes Wahid: Banyak pihak di Indonesia yang tidak mengetahui bahwa Rusia adalah sebuah negara multi-kultural yang terdiri dari sekitar 120 suku bangsa (mereka menyebut nationalities) dengan berbagai ragam bahasa dan budaya. Walaupun mayoritas beragama Kristen Ortodox, sekitar 14% atau sekitar 24 juta penduduknya adalah penganut agama Islam, mungkin yang terbesar di daratan Eropa.

Beberapa negara bagian seperti Tatarstan, Dagestan, Chechnya dan Bashkortostan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sejak runtuhnya Uni Soviet, sekitar 8.000 masjid telah didirikan dan menjadikan Islam sebagai agama yang paling pesat pertumbuhannya di Rusia.

Ada cerita menarik. Pada tahun 988, Prince Vladimir yang juga dikenal sebagai Grand Prince of Kiev and All Russia, sebelum menentukan Kristen Ortodox sebagai agama negara, beliau telah mempertimbangkan Islam dan Yahudi sebagai pembanding.

Islam kemudian tidak diterima karena melarang minum alkohol, sementara Judaisme karena dinilai tidak berhasil mendorong kaum Yahudi mengambil tanah kelahirannya. Islam ketika itu banyak dianut oleh masyakat di Volga Bulgars (saat ini negara bagian Tatarstan).

Islam sendiri sebenarnya sudah masuk Rusia sekitar 10 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Pada tahun 734 di masa kekhalifahan Ummayah, telah didirikan sebuah masjid yang disebut Masjid Juma di kota tua Derbent, masuk wilayah Dagestan saat ini. Masjid itu masih berdiri kokoh sampai sekarang walau pernah diterpa gempa bumi yang hebat.

Kedekatan hubungan masyarakat muslim Rusia dengan Indonesia, terutama sekali karena peran kunjungan Presiden Soekarno ke Saint Petersburg tahun 1956 dengan difungsikannya kembali Masjid Agung Saint Petersburg sebagai tempat ibadah umat Muslim.

Tidak sedikit kunjungan delegasi dan warga Indonesia ke Moskow yang selalu menyempatkan berkunjung ke Masjid Agung Moskow.

Pemerintah Rusia sendiri menjamin kebebasan beribadah. Ini ditunjukkan dengan bagaimana saat pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, pemerintah mengizinkan jalan-jalan di sekitar masjid di seluruh Rusia untuk dipakai dengan perlindungan dari aparat setempat.

Saya juga telah banyak memperkenalkan Islam di Rusia kepada masyarakat Indonesia. Saya juga selalu menyempatkan berkunjung ke masjid-masjid pada saat kunjungan kerja ke berbagai daerah di Rusia, dan keikutsertaan pada peresmian sejumlah masjid baru.

Himpunan Persaudaraan Islam Indonesia (HPII) Moskow menjadi satu-satunya komunitas warga muslim Indonesia di Rusia yang mengkoordinir pelaksanaan Shalat Idul Fitri atau Idul Adha di KBRI Moskow.

Kami menggarisbawahi pentingnya juga kerja sama sektor wisata halal atau ramah Muslim. Pasar di kedua negara sangat menjanjikan karena Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan Rusia merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak di Eropa.

Kunjungan wisatawan Indonesia ke Rusia pun meningkat, utamanya pada wisata ramah Muslim hal ini ditandai dengan penyelenggaraan paket wisata Umroh plus Rusia. Masjid-masjid tertua dan bersejarah di Rusia menjadi destinasi wisata muslim yang paling sering dikunjungi.

Indonesia aktif dalam mengembangkan kerja sama, seperti keikutsertaan pada Kazan Summit dan Russia Halal Expo di Kazan, serta Moscow Halal Expo. Sebenarnya tahun ini kami mau mengirimkan pelaku usaha Indonesia ikut serta dalam pameran halal Rusia, namun acara ini dibatalkan karena pandemic Covid-19 yang terjadi saat ini.

Kami juga mendorong Dewan Mufti Rusia untuk terus mengembangkan kerja sama dengan Indonesia, termasuk dengan organisasi keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Muncul keinginan dari pihak Asosiasi Pengusaha Muslim Rusia untuk mendalami Sertifikasi Halal dan Ekonomi Islam dengan Indonesia.

MINA: Secara geopolitik yang multidimensi saat ini, bagaimana posisi Rusia seperti dalam masalah Palestina, apakah Rusia mendukung konsep dua negara?

Dubes Wahid: Tentu semua negara di dunia ini terkena dampak krisis akibat pandemi Covid-19 tidak peduli apakah negara itu demokrasi atau tidak. Krisis yang terjadi berupa krisis ekonomi dan krisis politik serta munculnya konflik antar negara, seperti yang terjadi sekarang yakni hubungan antar negara Amerika Serikat, Tiongkok dan Rusia yang sedang bersitegang. Rusia sendiri memiliki banyak permasalahan yang kompleks, baik dengan kedua negara adidaya, maupun dalam wilayah domestiknya.

Rusia sekarang yang telah menjadi negara federasi sering menjembatani isu-isu politik internasional seperti Suriah, Palestina, seiring dan sama dengan apa yang dilakukan oleh Indonesia.

Rusia saat ini turut aktif menjaga kestabilan geopolitik kawasannya, terlebih Islam menjadi agama kedua terbesar yang dianut masyarakat Rusia dan hingga saat ini terus tumbuh pesat.

Rusia memiliki kebijakan luar negeri yang sama dengan Indonesia dalam menyikapi konflik Palestina-Israel dengan mendukung prinsip solusi dua negara (two state solution).

Rusia mendukung Palestina dengan solusi dua negara, selain itu juga memiliki prinsip tidak mencampuri urusan domestik negara lain, lihat Suriah, Rusia masuk Suriah atas permintaan Suriah bukan atas inisiatifnya, berbeda dengan Amerika Serikat.

Sebagai contoh, peran Rusia dalam konflik Suriah yang begitu intensif membantu pemerintah Suriah dari serangan ISIS. Seandainya Rusia tidak masuk Suriah, Suriah bisa habis diserang ISIS.

MINA: Apa pesan dan rencana bapak setelah melaksanakan tugas sebagai Dubes RI di Rusia dan Belarus?

Dubes Wahid: Saya ditawari ngajar. Sebelum kerja di Kemlu (Kementerian Luar Negeri) saya mengajar, sebagian menikmati pensiun dan ada rencana menulis buku, tapi sebenarnya ingin memberi motivasi (utamanya kepada generasi muda Indonesia) bahwa walaupun orang kampung seperti saya yang hidup boleh dibilang sederhana mempunyai cita-cita tinggi akhirnya tercapai juga.

Waktu kecil, saya sering mendengarkan Radio Republik Indonesia (RRI). Dari beberapa program di RRI, siaran bahasa Inggris Radio Australia (ABC) yang paling masuk. Walaupun tidak mengerti artinya tapi enak didengarnya, kemudian saya bilang bapak saya, dan dia secara sederhana bilang, kalo mau ke luar negeri harus bisa bahasa Inggris. Hal tersebut memotivasi saya untuk belajar bahasa Inggris, bahkan saya mengirim surat ke Radio Australia dan dikirimi kaset belajar bahasa Inggris secara gratis. Kemudian saya mulai sedikit-sedikit belajar.

Sampai akhirnya saya bergabung dengan Kemlu dan penempatan pertama saya di Canberra, Australia sebagai Sekretaris III Pensosbud. Sewaktu penempatan kedua sebagai Konsul Muda Pensosbud otomatis sebagai juru bicara, dan saya diwawancari Radio Australia. Bayangkan dulu yang saya agung-agungkan para penyiar Radio Australia, kini mewancarai saya, dunia seperti terbalik. Dan waktu ulang tahun ke-70 ABC, satu-satunya diplomat yang diundang adalah saya.(W/R1/P2-RA-1-RE-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Internasional
Ambassador Talks
Ambassador Talks
Breaking News