Hanan al-Hroub (43 tahun), seorang guru Muslimah asal Tepi Barat, Palestina, dinobatkan sebagai juara pada kompetisi guru internasional Global Teacher Prize 2016, yang diselenggarakan Valley Park Foundation berpusat di London, Inggris.
Hanan al-Hroub, yang juga ibu rumah tangga dari lima anak, tampak masih terlihat cantik bersahaja, pengajar di kamp pengungsi Deheishe, sebelah selatan Bethlehem, diumumkan sebagai pemenang guru terbaik dalam mendidik anak-anak di Palestina, saat upacara penghargaan di Dubai, Ahad (13/3).
Sekitar 8.000 guru dari seluruh dunia telah bersaing untuk penghargaan tersebut. Salah satu tim pengujinya adalah Prof Stephen Hawking, fisikawan terkemuka saat ini. Pemenang mendapat hadiah uang senilai 1 juta dolar AS (Rp13 miliar lebih),
Berikut wawancara seusai penganugerahan di Dubai yang dimuat media berbahasa Italia, Repubblica, yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Media: Apa komentar pertama Anda?
Saya masih tidak percaya bahwa saya telah memenangkan Hadiah Guru Teladan ini. Ya, saya hanya ingin menjadi guru terbaik bagi anak-di anak kamp pengungsi. Tanah kami Palestina dirampas karena kami bodoh.
Saya ingin menjadikan anak-anak di sana hidup dalam tenang damai. Saya lahir dan dibesarkan di sebuah kamp pengungsi yang penuh kekerasan, penindasan dan ketegangan sehari-hari. Saya tidak memiliki masa kecil sebagaimana layaknya anak-anak di dunia yang bisa tertawa, bermain, dan belajar dengan tenang.
Media: Apa yang ingin Anda katakan kepada siswa-siswa Anda besok?
Saya ingin katakan bahwa kalian adalah masa depan umat manusia, bahwa senjata kalian adalah pendidikan. Dengan itu kalian dapat mengubah dunia, membuatnya menjadi tempat yang lebih adil dan damai.
Apa yang akan Anda lakukan dengan hadiah sebanyak itu?
Saya ingin menggunakannya untuk membantu orang-orang yang ingin belajar, di negara manapun, atau bagi guru yang ingin belajar seperti metode yang saya gunakan untuk memerangi kekerasan dan agresi.
Bagaimana Anda pertama kali menerapkan metodenya?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Saya belajar bahasa Inggris di universitas. Suatu hari suami saya, dalam perjalanan pulang dengan anak-anaknya, terluka oleh tembakan dari tentara Israel. Anak-anak merasa tak berdaya, saya melihat darah berlumuran di tanah.
Anak-anak tidak lagi dapat belajar. Untuk keluar rumah saja sudah sulit, harus melewati check point atau risiko penangkapan. Setelah itu saya memutuskan untuk meninggalkan universitas, dan saya langsung terjun menjadi guru bagi anak-anak saya dan anak-anak lainnya di rumah.
Saya melihat mereka tertekan, maka saya membawa mereka ke studi dengan permainan. Hari demi hari, bahkan pihak sekolah datang kepada kami. Sekolah ingin menerapkan metode yang saya ajarkan. Sayapun memutuskan untuk mengajar di kelas.
Bagaimana Anda mengajar?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Awalnya, sangat sulit belajar bagi anak-anak yang tumbuh dalam iklim kekerasan, ketidakadilan dan penyalahgunaan. Jiwa anak-anak mudah menjadi agresif, sedih, dan frustrasi dengan kenyataan.
Jadi ketika mereka tiba di sekolah, saya mencoba untuk menjadi seorang guru dan orangtua bagi mereka, berusaha mengetahui siapa mereka secara utuh. Saya mencoba mengetahui kelemahan mereka sekaligus masalah mereka.
Melalui pendidikan bermain mereka saya ajak untuk mendengarkan orang lain, memahami pendapat yang berbeda, untuk menerima kekalahan tanpa amarah, menciptakan iklim kerjasama, kepercayaan, dan rasa hormat. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka terlihat tidak lagi seperti semula, mental anak-anak menjadi lebih baik .
Apa maknanya bagi perjuangan Palestina?
Ya, saya memenangkan ini bagi semua guru dari negara saya. Saya mendedikasikan kemenangan saya kepada mereka dan juga untuk semua guru yang mengajar dalam kondisi sulit. Saya percaya bahwa pendidikan dan pengetahuan, adalah senjata untuk perubahan. Masa depan kita, Palestina dan dunia adalah karena pengetahuan. Dari waktu ke waktu kita dapat melakukan hal-hal untuk memberikan harapan .
Pesan Anda?
Saya masih tak percaya dengan kemenangan ini. Saya selalu bicara tentang pentingnya guru dalam menandai makna kehidupan generasi. Saya benar-benar ingin memerangi kekerasan dan hidup dengan damai melalui pendidikan, metode bermain dan jiwa kasih sayang. (T/P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel