Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ (الملك[٦٧]:٢)
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS Al- Mulk [67]: 2).
Baca Juga: Ustadz Hidayaturrahman: Lima Langkah Mentadaburi Al-Qur’an Dengan Metode Tathbiqi
Imaam Al-Qurtubi menafsirkan ayat di atas, bahwa tidak ada satu pun dari manusia yang lepas dari ujian Allah. Karena ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan menimpa siapa saja, baik orang kaya maupun miskin, baik yang sehat maupun yang sakit, yang tua maupun yang muda, yang besar maupun kecil.
Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny dalam bukunya “Untaian Mutiara Hikmah” mengatakan bahwa kata “hayah” dan “maut” merupakan dua hal saling berkaitan, karena kematian akan ada jika ada kehidupan. Kematian merupakan unsur penting bagi kelangsungan kehidupan. Antara keduanya saling membutuhkan dan melengkapi.
Beberapa pekan terakhir ini, hampir setiap hari kita mendengar kabar duka dari keluarga, handai taulan, dan rekan-rekan seperjuangan. Mereka semua dipanggil Allah di tengah wabah yang masih melanda berbagai negara di seluruh dunia, termasuk negeri kita tercinta.
Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia WHO, (diakses 10/7/2021), angka kematian akibat pandemic covid-19 di dunia mencapai empat juta jiwa. Sementara di Indonesia, angka kematian mencapai 63 ribu jiwa (data Satgas Covid-19 RI).
Baca Juga: Islam Memuliakan Kaum Perempuan, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Imam Al-Ghazali memaknai kematian bukan sebagai tiadanya kehidupan (nafi al-hayah), tetapi sebagai perubahan keadaan (taghayyur hal). Dengan kematian, kehidupan orang beriman bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna. Sementara bagi orang Kafir, mereka akan mengalami penderitaan.
Dalam Al-Quran, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyebut kematian.
Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Al-maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali, misalnya dalam Allah Subhanahu wa Ta’ala:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ (الانبياء[٢١]: ٣٥)
Baca Juga: Ketika Umat Islam Diberi Anugerah Kekuasaan Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (Q.S Al-Anbiya[21]: 35)
Kedua, kata al-wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النحل[١٦]: ٣٢)
“Yaitu orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik. Para malaikat itu berkata (kepada mereka): “Salaamun ‘alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An-Nahl [16]: 32)
Baca Juga: Shalat Tahajud Penyebab Kemenangan dalam Jihad Melawan Musuh
Ketiga, kata al-ajal. Kata ini diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari, sedangkan ajal tidak bisa bertambah.
Kata ajal di antaranya terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ (الاراف [٧]:٣٤)
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS al-A’raf [7]: 34).
Baca Juga: Urgensi Tulisan, Alat Tulis dan Penulis dalam Peradaban, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Keempat, kata al-ruju’ (raji’) yang bermakna kembali atau pulang. Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal-muasalnya, yaitu kepada Allah. Karena itu, jika kita mendengar berita kematian, maka disunnahkan membaca kalimat istirja’, yaitu (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ) “Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji’un” (QS. Al-Baqarah [2]: 156).
Macam-macam Kematian
Dalam tinjauan penulis, ada beberapa macam kematian yang terjadi, antara lain:
- Kematian biologis
Kematian biologis ditandai dengan kematian milyaran sel-sel tubuh. Karena tidak ada regenerasi sel, tanda-tanda kematian jelas terlihat.
Baca Juga: Meneladani Kepribadian Rasulullah dengan Mengikuti Sunnahnya, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Kulit jasad menunjukkan bercak-bercak kematian dan jasad menjadi kaku. Proses pembusukan juga dimulai dan berlangsung cepat. Pada fase ini sudah tidak diragukan lagi. bahwa makhluk hidup sudah mati.
- Kematian sebagian (parsial)
Kematian sebagian artinya, ada bagian anggota tubuh yang sudah tidak lagi berfungsi secara normal. Hal ini biasanya ditandai dengan tidak berfungsinya syaraf-syaraf pada anggota tubuh tersebut sehingga tidak dapat merespon perintah dari otak.
- Kematian hati
Hati yang mati adalah milik orang-orang Kafir. Ia tidak dapat menerima hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala disebabkan hatinya yang tertutup. Ketika diberi peringatan, ia menolaknya, bahkan ada yang melawan orang yang memberi peringatan.
Imaam Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Sa’id Radhiallahu anhu bahwa ada empat macam hati yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu alahi wa salam:
Baca Juga: Kajian Surah Al-Jinn: Iblis dari Golongan Jin
Pertama, Qalbun Ajrad (hati yang murni), yaitu hati laksana lentera yang memancarkan cahaya. Hati ini membuka pintu-pintunya untuk mendengar dan menerima kebenaran (Al-Haq). Itulah hati orang-orang Mukmin yang menjalankan ketaatan kepada Allah dan RasulNya secara konsisten. Jenis hati ini disebut juga sebagai Qalbun Shaleh (hati yang sehat).
Kedua, Qalbun Aghlaf, (hati yang keras dan tertutup). Ia tidak mau menerima kebenaran dan petunjuk dari Allah. Ia disebut juga sebagai Qolbun Mayyit (hati yang mati) karena tidak mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Ketika diseru pun ke jalanNya, maka seruan itu tidak berfaedah sama sekali disebabkan hatinya sudah tertutup. Jenis hati ini adalah hatinya orang-orang kafir.
Ketiga, Qalbun Mankus (hati yang terbalik), yaitu hati orang-orang munafik. Hati ini sebetulnya mengetahui kebenaran Islam, akan tetapi ia mengingkari. Bahkan ia memusuhi dan menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti kebenaran tersebut.
Keempat, Qalbun Mushfah (hati yang berlapis), yaitu hati yang di dalamnya terdapat dua unsur sekaligus, keimanan dan kemunafikan. Kedua unsur ini saling tarik-menarik sehingga terkadang hati tersebut condong dan dekat kepada keimanan dan terkadang kepada kekufuran, tergantung kepada salah satu yang mendominasinya.
Baca Juga: Semangat Hijrah dan Memperselisihi Orang Yahudi, Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
Jenis hati ketiga dan kempat ini disebut Qalbun Maridh (hati yang sakit) karena terdapat penyakit yang menyerangnya, yaitu berupa fitnah syahwat (nafsu) dan shubhat (sikap ragu) yang datang dari syaitan yang terkutuk.
- Kematian sementara (tidur)
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengangkat roh seseorang ketika dia mati dan ketika tidur. Maka di tanganNya, roh seseorang yang ditakdirkan mati atau dikembalikan lagi kepada orang yang tidur sampai ajal yang telah ditentukan. Hal itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَٱلَّتِى لَمْ تَمُتْ فِى مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيْهَا ٱلْمَوْتَ وَيُرْسِلُ ٱلْأُخْرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَأٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الزمر[٣٩]: ٤٢)
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar [39]: 42)
Baca Juga: Berdirinya “Negara Israel”, Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)
Sebuah penelitian yang dilakukan Ketua Departemen Electrical and Electronic di British University, Dr. Arthur J Alison, pernah melakukan penelitian lewat alat-alat elektronik tentang fenomena tidur dan mati.
Hasil riset selama enam tahun ini menjelaskan, memang ada sesuatu yang keluar dari tubuh manusia ketika tidur dan masuk kembali ketika terbangun. Namun, untuk orang mati, sesuatu itu tidak kembali. ‘Sesuatu’ yang terdeteksi oleh alat elektronik Dokter Alison boleh jadi merupakan roh yang dijelaskan Al-Quran.
Karena itu, tidur dapat direnungkan sebagai simulasi mati. Baik dalam tidur maupun mati, roh sama-sama pergi dari tubuh manusia. Namun, perbedaannya ada yang dikembalikan sehingga bisa kembali bangun.
Rasulullah Shallallahu alahi wa salam memberi contoh untuk membaca doa, yang seolah menyiapkan mati saat menjelang tidur. (بِاسْمِكَ اللّٰهُمَّ اَحْيَا وَبِاسْمِكَ اَمُوْتُ) “Dengan namaMu Ya Allah aku hidup dan (dengan namaMu) aku mati.”
Baca Juga: Lima Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Yakhsyallah Mansur)
- Kematian akal
Kematian akal adalah tidak berfungsinya akal sehat. Akal sehat adalah yang mampu menangkap, menganalisa dan mengambil hikmah dari kebesaran ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dalam bentuk qouliyah (ayat-ayat Al-Quran) maupun kauniyah (alam semesta). Sementara akal yang mati adalah yang tidak peduli dan tidak bisa menangkap sinyal-sinyal kebesaran-Nya sehingga mereka menganggap hal itu sebagai kejadian alamiah saja.
Orang-orang yang tidak bisa mengambil hikmah dan ibrah dari ayat-ayat Allah disebut sebagai orang jahiliyah. Di antara mereka ada yang cerdik pandai, tetapi akal pikiran mereka tidak mampu memahami kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara hikmah kematian antara lain:
- Bagi orang beriman, kematian sesungguhnya adalah pintu gerbang menuju kehidupan abadi yang penuh dengan kenikmatan yang hakiki. Kematian adalah pintu masuk menuju surga yang kekal dan abadi. Maka bagi mereka, kematian bukan bencana, tetapi merupakan anugerah dan rahmat dari Allah Yang Mahakuasa.
- Kematian juga bisa menjadi sarana bagi seseorang untuk bisa lepas dari segala rasa sakit. Jika dalam hidupnya, seseorang diuji dengan musibah sakit, mungkin sudah bertahun-tahun lamanya ia derita, sudah ke mana-mana ia berobat, namun belum kunjung mendapat kesembuhan, maka yang dapat memutus rasa sakit itu adalah kematian. Bagi orang-orang yang bersabar dan ridha dengan ujian sakit itu, kematian adalah hadiah terbaik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya dapat beristirahat dari penderitaan akibat sakit.
- Bagi mereka para pejuang, aktifis, relawan kemanusiaan, atau mereka yang bekerja giat, ulet dan tekun selama hidupnya, maka kematian adalah sarana bagi mereka untuk beristirahat dari segala aktifitas perjuangan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mencukupkan usaha yang ia lakukan dan saatnya bagi mereka menikmati buah dari hasil perjuangannya yang ia persembahkan ikhlas untuk Allah semata.
Bagi mereka para istri yang mendukung perjuangan suaminya, anak-anak yang konsisten membantu perjuangan Sang Ayah, Bapak dan (atau) Ibu yang mendukung perjuangan anak-anaknya, maka jika menemui ajalnya, maka Allah mencukupkan dukungannya itu dan Allah pasti akan balas dukungan itu dengan pahala terbaik di sisiNya.
Kecuali bagi mereka orang-orang kafir dan munafik, maka bagi mereka siksa sebagai akibat dari perilaku buruknya di kehidupan dunia. Bagi mereka, kematian adalah awal dari kesengsaraan yang tiada bertepi dan kecelakaan yang tidak dapat mereka lari darinya.
- Kematian juga sebenarnya merupakan sarana terjadinya keseimbangan alam (Equilibrium). Bayangkan jika tidak ada orang yang mati, sudah pasti dunia ini akan penuh sesak dengan manusia. Jika tidak ada kematian, niscaya manusia akan kekurangan makanan, kekurangan tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Teori Malthus (1998) yang menyatakan bahwa produksi pangan itu seperti deret hitung (berdasar penjumlahan), sementara pertumbuhan penduduk seperti deret ukur (berdasarkan perkalian). Maka jika jumlah penduduk terus meningkat, tanpa adanya kematian, sudah pasti, produksi pangan tidak akan dapat mencukupi kebutuhan manusia.
Jadi, dengan adanya kematian, maka ketersediaan pangan bagi manusia akan dapat tercukupi sehingga kehidupan bisa berjalan normal dan keseimbangan alam akan terwujud.
- Terhentinya kemaksiatan dan kerusakan
Bagi orang-orang yang durhaka, kematian menjadi sarana seseorang berhenti dari perbuatan maksiat. Dengan kematian itu, ia sudah tidak bisa lagi meneruskan kedzalimannya kepada orang lain. Orang orang yang merasa terdzalimi akan bergenbira dengan kematian orang-orang durjana.
Sebagai contoh, kematian Fir’aun dan Qarun tentu membuat Bani Israil bergembira. Kematian Presiden Zionis Israel Ariel Sharon tentu membuat bangsa Palestina senang karena kedzaliman yang ia lakukan sudah terhenti.
Mengingat Kematian bagi yang Masih Hidup
Orang yang banyak mengingat kematian oleh Nabi Muhammad Shallallahu alahi wa salam dikatakan sebagai orang yang paling cerdas.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah Shallallahu alahi wa salam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah).
Berikut ini manfaat yang dapat kita peroleh dari mengingat kematian:
- Menjadi jalan taubat
Dengan banyak mengingat-ingat kematian, maka seseorang akan senantiasa bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang dilakukannya serta berhati-hati agar tidak melakukan kemaksiatan lagi. Mengingat kematian menjadi amal salih yang akan diganjar pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Menjauhkan dari perbuatan zalim
Orang yang banyak mengingat kematian akan jauh dari perbuatan manzalimi diri sendiri dan orang lain. Karena ia mengetahui bahwa apa yang ia lakukan akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.
- Membuat hati lapang
Rasulullah Shallallahu alahi wa salam bersabda, “Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Al Baihaqi).
- Menambah khusyuk dalam beribadah
Salah satu cara untuk khusyuk dalam salat adalah dengan memperbanyak mengingat kematian sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alahi wa salam,“Ingatlah kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat mati dalam salatnya, maka ia akan memperbagus salatnya. Salatlah seperti salat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan salat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang kelak engkau meminta udzur (meralatnya) (karena tidak bisa memenuhinya).” (HR. Ad Dailami)
- Mendorong seseorang memantaskan diri menghadapi kehidupan akhirat
Semua orang menginginkan kematian yang baik (husnul khatimah), terlepas dari siksa kubur dan dibangkitkan dalam keadaan yang baik. Untuk itu, orang yang banyak mengingat kematian dan peristiwa yang akan dilalui setelah kematian akan selalu berusaha memantaskan dan mempersiapkan diri sebelum menemuinya.
(A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)