Imam Malik: Itikaf Makruh

Taufiqurrahman,

Redaktur MINA Bahasa Arab

Sesaat lagi kita memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Salah satu ibadah yang disyariatkan di fase itu adalah itikaf. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya hingga wafat.

Secara bahasa itikaf berarti mendiami sesuatu dan mendawamkannya. Secara istilah berarti mendiami masjid Allah dalam rangka ibadah. Tidak ada ibadah khusus dalam itikaf selain hanya fokus beribadah. Tujuannya menemukan lailatul qadr.

Agar fokus, orang yang itikaf (mutakif) tidak dianjurkan terlalu sering berinteraksi dengan orang lain. Bukan hanya urusan dunia, urusan keumatan (dakwah, pendidikan & sosial) pun sebisa mungkin ia tidak terlibat di dalamnya kecuali yang memang benar-benar tidak bisa ditinggalkan seperti zakat.

Untuk itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, para istri dan sebagian sahabat membuat khibaa alias tenda pribadi di dalam masjid. Tidak keluar dari dalamnya kecuali untuk shalat lima waktu atau kebutuhan manusiawi seperti bersuci, makan & minum.

Para ulama sepakat, selain nadzar, itikaf hukumnya sunnah. Namun Ibnu Rusyd, dalam Bidayatul Mujtahid-nya, menyebut Imam Malik menghukuminya makruh. Namun bukan makruh mutlak, melainkan muqayyadah (terikat) pada keadaan tertentu. Yakni bila seseorang tak mampu memenuhi syarat-syaratnya maka makruh baginya itikaf. Bahkan ia wajib beritikaf jika sudah niat. Jika di saat itikaf ia batal, maka wajib baginya qodho. Demikian ringkas pandangan Imam Malik terkait itikaf. Anda bisa membacanya dalam Mukhtasar Fikih Itikaf karya Syeikh Nashir bin Sulaiman al ‘Umari.

Berikutnya, saya tidak akan menjelaskan kritik ulama atas pendapat Imam Malik yang memakruhkan itikaf. Yang lebih menarik bagi saya mendiskusikan mengapa syariat yang biasa dilakukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hingga wafat ini ia hukumi makruh.

Itikaf itu berat. Setidaknya itu yang sedikit saya fahami dari beberapa syaratnya dan bagaimana ulama memperdebatkannya. Karena beratnya memenuhi syarat-syarat itu, Imam Malik cenderung memakruhkannya.

Rukun itikaf hanya satu, yaitu mendiami masjid. Artinya keluarnya mutakif dari masjid jadi sebab batalnya itikaf. Namun ada satu hadits yang menyebut ada kebutuhan tertentu di luar masjid yang tidak membatalkan itikaf. Ini haditsnya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
Dari Aisyah radliallahu’anha, ia menuturkan, “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia,”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).

Aktifitas keluar dari masjid lalu dikelompokkan para ulama dalam beberapa kategori. Mana diantara kategori itu yang tergolong kebutuhan manusia yang tidak membatalkan dan mana yang membatalkan. Diantaranya keluar separuh badan, keluar seluruh badan tanpa udzur, keluar menunaikan hajat thabi’i dan syar’i, keluar untuk qurbah. Beberapa rincian dari setiap kategori itu diperdebatkan oleh para ulama. Dan dari sini kita tahu itikaf bukan perkara mudah.

Mengapa para ulama perlu membedakan keluar separuh badan dan seluruh badan? Dan bahwa separuh badan tidak membatalkan, sedangkan seluruh badan bila tanpa udzur membatalkan. Hal itu menunjukan mutakif harus berhati-hati dari beraktifitas di luar masjid. Sebab berpotensi membatalkan itikaf.

Keluarnya mutakif dari masjid, meski udzur syari, seperti buang air, dalam waktu yang lama usai menunaikan hajatnya pun bisa membatalkan itikaf. Bahkan dalam kitab Syarh al ‘Umdah karya Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dijelaskan seseorang tidak perlu berlari memasuki masjid usai menunaikan hajatnya. Keterangan itu menegaskan mutakif tidak dibolehkan memanfaatkan keluarnya dari masjid untuk aktifitas lain, seperti bercengkrama, bercanda dan lain-lain. Dan ia harus segera fokus kembali pada itikafnya, tanpa perlu berlari.

Dalam Madzhab Syafi’iyah dan Hanafiah, mutakif tidak dibolehkan bersuci di luar masjid seperti di rumah bila ada tempat bersuci di masjid. Bahkan dalam pandangan Hanabilah, Mutakif tidak boleh pulang ke rumah untuk bersuci jika di dekat masjid ada toilet.

Soal makan minum, mayoritas ulama tidak membolehkan mutakif keluar masjid untuk itu kecuali bila tidak disediakan di masjid. Adapun Syafi’iah memandang ia boleh makan di luar bila model bangunan masjidnya berpintu. Sebab makan merupakan aktifitas yang sebaiknya tidak terlihat.

Bahkan untuk keperluan menuntut ilmu, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah pun membatalkan itikaf jika itu tidak disyaratkan dalam niat mutakif. Padahal itu termasuk ibadah qurbah.

Apalagi urusan duniawi seperti bekerja dan berdagang. Meski menyebut itu dalam syarat niatnya, Mutakif yang keluar masjid untuk keperluan itu berarti membatalkan itikafnya.

Itu semua menegaskan mutakif benar-benar dituntut untuk lebih menyibukkan diri beribadah di dalam masjid. Mengurangi interaksi dengan orang lain dan mengekang dirinya dengan Allah Ta’ala, saja.

Satu ketika ‘Aisyah radliallahu’anha yang tengah itikaf keluar masjid, memasuki rumah untuk menunaikan hajatnya. Di dalamnya terdapat orang sakit. Dan ia tidak berbicara dengannya kecuali hanya lewat saja.

Mengapa Ummul Mukminin perlu menjelaskan dirinya tidak berbicara apapun dengannya saat memasuki rumah? Mengapa ia bercerita dirinya hanya melewatinya saja? Keterangannya mengisyaratkan dengan jelas berinteraksi dengan orang lain dapat mengurangi kualitas itikaf.

Tentu situasi demikian bukan perkara mudah. Sebagai makhluk sosial, bermuamalah dengan orang lain menjadi kebutuhan asas. Namun saat itikaf justru kita dituntut melepas identitas kita sebagai makhluk sosial. Beralih dari sibuk cengkrama ke sibuk dzikir dan doa, dari nikmat membaca koran ke asyik tilawah Al Qur’an, dari kenyang tidur ke banyak tafakkur, dari bekerja giat menjadi khusyu shalat, dari buruknya ghibah ke indahnya muhasabah.

“Diantara penyebab konsentrasi hati terpecah,” jelas Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad-nya, “adalah berlebihan dalam makan, minum, bergaul, berbicara dan tidur. Hal tersebut dapat menyebabkan fokusnya menuju Allah terputus, melemah dan berhenti.”

Dengan itikaf kesibukan kita dengan manusia akan teralihkan pada kesibukan kepada Allah saja. Sehingga hatinya tenang karena Allah, bukan karena makhluk. Ia pun memandang ketenangan hidup itu kelak berbuah kebahagiaan baginya di alam kubur.

Pandangan Imam Malik di atas memang lemah. Tapi kita jadi tahu banyak orang yang gagal itikaf gara-gara lebih sibuk pada perkara di luar ibadah di dalam masjid. Main HP, bercanda dan tidur lama. Sebabnya karena mereka tidak memahami itikaf sebagaimana pandangan ulama. (RA/02/P1)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.