KHILAFAH.jpg">KHILAFAH-300x200.jpg" alt="KHILAFAH" width="378" height="252" />Oleh Bahron Ansori / Redaktur MINA
Jama’ah Muslimin ditetapi kembali setelah muktamar Masyumi IV di Yogyakarta dan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1-5 Rabiul Awal 1369 H/20-25 Desember 1949 M), kami mengadakan pertemuan di kediaman kami di Margo Kridonggo No.16 Yogyakarta.
Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Kyai Muhammad Ma’sum, seorang ‘alim ahli hadits, M. Saleh Suaedy, dan Mirza Sidharta dari kalangan pemuda, serta para ikhwan lainnya.
Masalah yang dibicarakan adalah penyatuan muslimin secara apa yang tampak pada sistem kepartaian. Namun, pertemuan tersebut, belum mampu menghasilkan cara terbaik untuk menghimpun umat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian ikhwan yang hadir mengusulkan untuk mendirikan partai politik. Namun, usul tersebut tidak dapat kami terima, sebab pendirian partai politik hanyalah mencari kedudukan melalui jalan lain, dan ini tidak ada artinya dalam ad-Dien. Dan jika mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam, ini bukan lagi masalah prinsip, tetapi masalah kursi.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Kami terus mencari serta meneliti tentang cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun muslimin dalam memperhambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan atau pengaruh politik. Hal ini ditujukan untuk persaksian sejarah, tidak ada maksud lain. Allah mengetahuinya. Demikian juga para ikhwan (rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan/pen) yang masih hidup pun dapat menyaksikan jalan sejarahnya.
Pada awal tahun 1372 H (1953 M), mulai tampak bintik-bintik terang. Allah menunjukkan pengertian kepada kami tentang bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama-sama umatnya berhimpun mengamalkan wahyu-wahyu Allah dan bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam.
Dengan takdir serta izin Allah semata, setelah berulang kali didiskusikan dan dimusyawarahkan, pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), ditetapilah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang sebelumnya bernama Gerakan Islam “Hizbullah”. Ini bukan organisasi, partai, perserikatan dan bentuk lain yang sifatnya politis, melainkan berbentuk Jama’ah.
Ditetapinya kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah) ini merupakan perwujudan ketaatan dalam memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta’ala, yang disebutkan dalam Al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan kamu berserah diri (kepada Allah); Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al-Qur`an) seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah. Dan ingatlah oleh kamu akan nikmat Allah, yaitu ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati kamu; kemudian dengan nikmat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian, mudah-mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102-103)
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan, “…Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka!” Sebagaimana hadits Nabi yang lengkapnya sbb, “Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?”
Rasulullah menjawab, “ Ya!” Aku bertanya, “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasulullah menjawab, “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).” Aku bertanya, “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab, “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku.” Dalam Riwayat Muslim, “Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.”
Aku bertanya, “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab, “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab, “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?”
Rasul bersabda, “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya, “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda, “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Surat Ali ‘Imran ayat 103:وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواdapat dijadikan suatu pegangan bahwa Allah sendiri yang memperingatkan kepada muslimin, sejak diturunkannya ayat tersebut sampai hari kiamat. Peringatan tersebut ialah agar muslimin berpegang teguh pada tali Allah, yaitu Al-Qur`an, dalam keadaan “Jami’an” dan jangan berpecah belah.
Sebagian mufasirin dengan tegas menjelaskan jami’an dengan berjama’ah. Itulah sebabnya kata jami’an diikuti kalimat walaa tafarraquu yang artinya, “Jangan kamu berpecah belah.” Namun, sekarang ini jami’an hanya diartikan kamu sekalian, bukan dalam arti keadaan berjama’ah, sehingga pengertian kalimat walaa tafarraquu menjadi keliru. Jadi, ada kata-kata, “Janganlah berpecah belah, bergolong-golongan, atau terpisah satu sama lain, berfirqah-firqah (yang merupakan mahfum mukhallafah atau larangan sebaliknya dari perintah wajibnya berjama’ah).”
Jama’ah tidak hanya jama’ah shalat atau jama’ah haji saja, melainkan kebersamaan kaum muslimin dengan satu Imamnya. Kebersamaan kaum muslimin secara berkelompok-kelompok bukan merupakan Jama’ah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Surat Ali Imran ayat 102-103 dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mengandung satu kesatuan muslimin dengan satu pimpinan pula. Kalau menurut teori umum, ini berarti menyatupadukan muslimin sebagaimana yang dikehendaki Allah, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, “Perumpamaan mukminin dalam belas kasih dan hubungan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita, menjalarlah penderitaan itu ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa tidur dan (merasa) panas.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhu; Shahih Bukhari, Darul Ma’rifah, Beirut, 1978 bab Rahmatunnasi wal Baha-im, juz 4 halaman 53. Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dzihim, juz 2 halaman 431).
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Rasulullah pun menyatakan bahwa ikatan muslimin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan. Beliau bersabda, “Seorang mukmin pada sesama mukmin itu bagaikan bangunan yang sebagian menguatkan bagian lainnya.” (HR.. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radliallahu ‘anhu. Shahih Bukhari, bab Ta’awanul mu’minin ba’dhuhum ba’dha, juz 4 halaman 55, Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dihim, juz 2 halaman 431).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jama’ah Muslimin adalah bersatunya kaum muslimin laksana satu tubuh. Jika sebagian muslimin menderita, akan dirasakan penderitaannya itu oleh seluruh kaum muslimin.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memerintahkan kaum muslimin untuk menetapi satu Jama’ah dengan satu Imamnya juga mengandung satu arti konsolidasi. Kaum muslimin yang kini telah terpecah-belah menjadi firqah-firqah -dengan berbagai corak, seperti politik, sosial, dan ubudiyah-, agar menjadi satu ummat. Satu Jama’ah dengan motif mencari rahmat Allah, ridla Allah, memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan Kitab-Nya, Al-Qur`an. Bukan bermotif ekonomi, sosial, politik, dan lain-lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahwasanya dari hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan Nabi bukan pula syuhada. Mereka menyerupai Nabi-Nabi dan syuhada-syuhada dalam kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang berkasih-kasihan karena rahmat Allah, bukan karena hubungan kekeluargaan dan bukan pula karena harta benda yang saling memberikan di antara mereka. Maka demi Allah, sesungguhnya wajah-wajah mereka itu nur dan bahwa mereka itu di atas nur dan tidaklah mereka gentar tatkala orang-orang merasa takut, dan tidaklah mereka bersedih hati ketika manusia bersedih hati.”
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Ketahuilah bahwa kekasih-kekasih Allah itu tidak gentar dan tidak pula mereka itu bersedih.” (HR.. Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, Sunan Abu Dawud, bab Rahn, juz 3 halaman 288 hadits nomor 3527).
Menetapi Jama’ah Muslimin dan Imamnya adalah sesuai dengan wajibnya ada pimpinan bagi umat Islam sedunia dan wajib adanya Jama’ah yang menyertainya. Dimana Muslimin Kini Berada? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah. Misykatul Mashabih: Bab Al-Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India, halaman 461. Musnad Ahmad, Juz 4 halaman).
Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.
Mengenai situasi perubahan dan peningkatan dari keadaan buruk sampai terwujudnya kembali zaman Khilafah, tergambar dengan jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu. Hadits ini menunjukkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mewujudkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah dengan melaksanakan perintah Rasulullah, “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam bagi mereka.”
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Kecuali, bila peningkatan maksimal itu sudah tidak memungkinkan lagi -karena arus kejabariyyahan masih menderas, baik yang langsung melanda fisik, maupun yang melanda mental, yaitu meliputi bidang ilmu dan cara berpikir-, maka muslimin diperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk, “Tinggalkan semua cara-cara (firqah-firqah), yang mencerai-beraikan umat itu!” Berdasarkan akhir dari dua hadits:sehingga tidak ada lagi ciri-ciri muslimin dalam masyarakat. Ini artinya manusia akan menghadapi kerusakan secara total, atau tegasnya Kiamat (wallahu ‘alam bish shawwab).
Sekarang timbul pertanyaan, “Dalam fase manakah kita dewasa ini?” Secara historis, dewasa ini kita berada dalam fase Khilafah dan Jama’ah. Karena itu, janganlah kita melewatkan fase tersebut, walau zaman yang sedang kita hadapi di dalamnya terjadi berbagai kerusakan dan hal-hal lainnya yang merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Insya Allah, kita belum sampai pada fase terakhir, yakni fase i’tizal.
Dengan memperhatikan sungguh-sungguh peredaran tarikh Islam sejalan dengan peredaran sejarah dunia, Insya Allah, kenyataan menunjukkan mulkan-mulkan itu telah berlalu. Di kalangan muslimin, mulkan-mulkan itu berakhir pada zaman ‘Utsmaniyyah di Turki dan Insya Allah, sesudah itu tidak ada lagi fungsi semacam kerajaan dalam memimpin ummat Islam. Di dunia Barat pun kita jumpai satu demi satu kerajaan atau monarki tumbang dan beralih pada demokrasi.
Mulkan-mulkan atau kerajaan Islam yang ada pada saat ini hanya tinggal beberapa buah saja. Dan lagi, bila ditinjau dari peredaran tarikh Islam itu sendiri, kerajaan-kerajaan itu hanyalah sisa-sisa dari mulkan-mulkan yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beralih ke zaman Khilafah, yaitu Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Zaman ini adalah zaman furqan, pemisah.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Kalau muslimin cenderung pada sistem Barat, mereka beralih pada demokrasi. Sebaliknya, bila cenderung pada Islam, mereka akan kembali pada apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pada sistem kenabian atau Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.(T/R2/E01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)