Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA, Pengasuh Ma’had Tahfidz Nurut Jannah Pandeglang (Manjada) Banten
Imam Asy-Syafi’i telah menjadi Hafidz Al-Quran sejak usia 7 tahun, dan hafidz banyak hadits semenjak berusia 9 tahun. Selanjutnya ia menjadi Mufti (pemberi fatwa, ulama, kyai) sejak usia 14 tahun.
Berarti saat usia 14 tahun, atau usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), Imam Asy-Syafi’i yang menjadi imam besar rujukan Madzhab Syafi’i, telah menguasai ilmu-ilmu Al-Quran dan Al-Hadits (Ulumul Quran wal Hadits).
Tentu penyusun ilmu fiqih dalam Kitab Al-Umm ini tidak serta merta langsung menjadi ulama pada usia muda. Ada tahapan dan proses yang telah ditempuhnya dengan susah payah.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Ibnu Hajar Al-Asqalani, penyusun Kitab Fathul Bari dan Kitab Bulughul Maram, saat berumur 12 tahun sudah ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram (tahun 785 H.). Al-Asqalani menjadi Imam Masjid di Kota Suci Makkah Al-Mukarramah seusia muda itu, tentu wajib hafidz Al-Quran dan murottal yang bagus, faham Al-Hadits, menguasai ilmu-ilmu Al-Islam dengan baik.
Dari kalangan sahabat, ada Ali bin Abi Thalib, yang dikenal ‘alim dan faqih dalam ilmu-ilmu Islam. Sahabat yang pernah diutus Nabi ke Yaman ini, dididik langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak usia sekitar 10 tahun. Maka, dalam usia belasan tahun saja Sahabat ‘Ali pun telah menjadi ‘gudangnya Ilmu’ agama Islam.
Dalam hal ini pada usia pra-sekolah dasar, kaderisasi itu dimulai. Pada usia 4-6 tahun anak-anak sudah dikenalkan ilmu pokok yaitu membaca Al-Quran. Daya rekam yang masih sangat jernih dan tajam, membuat anak dengan tetap usia bermainnya akan dapat menghafal minimal 1-2 juz. Musa asal Bangka Belitung, bahkan mampu menghafal Al-Quran sejak usia 5 tahun.
Athirah Mustajab dalam artikel Kiat Membimbing Anak Usia Lima Tahun dalam Menghafal Quran menekankan, bahwa pendidikan Islam diberikan kepada anak sejak dini yang pokok berupa membaca dan menghafal Al-Quran serta mengajarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah perkara yang agung.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Pada zaman sekarang, anak-anak kurang dikenalkan pada sahabat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Mush’ab bin Umair, atau para ulama seperti Imam Asy-Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan seterusnya. Juga para pejuang Muslim seperti Nuruddin Zanki, Imaduddin Zanki, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, Sultan Abdul Hamid II, dll.
Pada usia pra-sekolah ini, ada beberapa cara untuk mengajarkan Al-Quran pada anak usia lima tahunan. Di antaranya: mulai menalqin (menuntun) atau terus memperdengarkan murottal yang paling mudah, dimulai dari surat Al-Fatihah. Kemudian lanjutkan dengan juz 30 (juz ‘amma). Mengawali dengan yang mudah akan membantu untuk langkah selanjutnya.
Selanjutnya, sering muraja’ah (mengulang-ulang) sampai benar-benar hafal. Jangan sampai ada hari yang terlewati tanpa hafalan baru maupun mengulang hafalan yang lalu.
Jika sang adik sudah mencapai usia wajib-shalat dan berakal, ajarkan dia agar mengulangi hafalannya dengan cara membaca (surat yang telah dihafalnya) dalam shalat, baik shalat fardhu maupun nafilah (sunnah).
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Ulangi hafalannya dengan mendengar kaset atau komputer, agar terpadu antara baiknya pelafalan dan baiknya cara baca. Kesempatan ini juga bermanfaat untuk mengulang hafalan dan memperkuatnya.
Lainnya adalah memilih waktu yang sesuai untuk menghafal, tidak sibuk dan tidak banyak urusan. Misalnya pilih waktu setelah fajar (subuh) atau waktu antara maghrib dan isya. Jauhi masa ketika lapar, capek, atau mengantuk.
Selanjutnya, pada anak usia tingkat dasar (7-12 tahun), kaderisasi itu fokus pada pemantapan hafalan Quran hingga mencapai hafidz 30 juz pada usia 12 tahun dengan mutqin dan bersanad.
Kompetensi penunjang lainnya bertumpu pada calistung (baca, tulis, hitung). Ketiga kemampuan ini diberikan kepada anak agar mereka dapat membaca imu pengetahun, menulis materi-materi pelajaran dan berhitung.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Bahasa keseharian pun sudah mulai dilaksanakan di samping bahasa Nasional Indonesia, juga dua bahasa internasional, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Soal bahasa ini jangan khawatir bahwa anak akan tambah susah. Bukan. Sebab bahasa itu cuma soal kebiasaan saja.
Mana-mana percakapan sehari-hari tinggal dialihbahasakan saja. Dan anak-anak jauh lebih cepat dan mudah beradaptasi.
Maka dengan demikian pada usia Menengah Pertama (13-15 tahun), tinggal melengkapi anak dengan ilmu-ilmu syariat Islam yang bertumpu pada ‘Ullumul Quran dan ‘Ullumul Hadits.
Sehingga setamat usia ini kader-kader dakwah ini sudah mengenal ilmu-ilmu Islam secara lengkap, materi keislaman sudah habis, selesai. Mulai dari aqidah (tauhidullah), rukun Islam yang lima, fiqih ibadah, akhlak kehidupan, hukum, waris dan bidang-bidang muamalah.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Anak-anak sudah bisa melaksanakan shalat tahajud dan dhuha dengan kontinyu, dzikir dan doa sesudah shalat dengan lengkap, bahkan bisa memimpin doa, mampu menjelaskan perbedaan madzhab fiqih, menghitung waris dan zakat, mengukur rukyatul hilal, mengurus jenazah, dan mampu qira’ah murattal yang bagus mengikuti para syaikh terkemuka (Syaikh As-Sudais, Syaikh Misyari Rasyid, Syaikh Al-Muaqly, dsb).
Mengikut jejak Imam Asy-Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Asqalani hingga Ali bin Abi Thalib, memang jelas tidak sehebat mereka. Tapi visi besar ini harus terus digemakan.
Siap Berdakwah
Pada usia Sekolah Menengah Atas (SMA), anak-anak sudah memiliki kesiapan sebagai da’i-da’i milenial, da’i-da’i Al-Jama’ah, da’i-da’i Al-Quran.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Mereka pun telah hafal ayat-ayat beserta tafsirnya, yang berkaitan dengan Jama’ah, Imaamah dan Bai’at serta aplikasi amaliyahnya. Termasuk memahami hakikat Khilafah Non-Politik tinjauan syar’i, ilmu dan fakta, sejarah perjuangan Sabiqunal Awwalun dalam penegakkan Al-Jama’ah, wadah persatuan dan kesatuan umat Islam yang bersifat rahmatan lil ’alamin, serta mengikuti perkembangan Al-Jama’ah di berbagai wilayah dalam dan luar negeri.
Termasuk Dirosah Al-Quds wal Maqdisiyah, sebagai bagian dari Ghazwah Farth Al-Aqsha, upaya pembebasan Masjidil Aqsha dan kemerdekaan Palestina. para kader da’i menghayati dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits, sejarah, geografi dan geopolitik, serta hal-hal lain terkait Al-Aqsha dan Palestina. Termasuk membedah Proyek Zionisme Internasional serta upaya menghadapinya.
Selanjutnya, melengkapi wawasan kader da’i, perlu dilakukan metode training-training bidang leadership (kepemimpinan), entrepreneurship (kewirausahaan), sirah (sahabat, tabi’in, ulama, pejuang), wawasan perkembangan dunia (sosial, politik, budaya) dan komunikasi dakwah (public speaking, media massa dan media sosial), plus life skill (seperti kemapuan mengelola home industri, teknologi pertanian dan peternakan, bekam/hijamah, dsb).
Mater-materi Fiqhud dakwah pun wajib dikuasai, mulai dari Perumusan Dakwah, Teknik Khutbah Jum’at, Psikologi Dakwah, Manajemen Dakwah, Praktikum Dakwah, Retorika Dakwah, Dakwah di dunia Cyber & IT, Tehnik Penulisan Media Dakwah (Jurnalistik dan Penulisan Makalah Ilmiah), Dakwah Melalui Konseling dan Psikoterapi, hingga Peta/Mapping Dakwah. Ditambah pembekalan kepengajaran, seperti Metodologi Pengajaran, Psikologi Pembelajaran dan Komunikasi Massa.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Mereka da’i-da’i muda itu pun harus siap diterjunkan ke berbagai pelosok penjuru tanah air, hingga ke dunia internasional, ke negara-negara yang Muslimnya berkembang seperti di Rusia, Jerman, Inggris dan Jepang. Siap juga ke negeri Muslim minoritas seperti ke China dan India.
Kader da’i ini pun dibekali dengan kompetensi komunikasi dalam bahasa-bahasa negara tujuan, seperti bahasa Rusia, bahasa Jepang, bahasa China, dll.
Semoga kita dapat menyiapkan kader-kader da’i Al-Jama’ah, yang siap diterjunkan secara khusus untuk mengembangkan dan memberdayakan wilayah-wilayah hingga ke niyabah dan riyasah, secara mandiri, bi idznillaahi ta’ala. Termasuk mengembangkan biro-biro Kantor Berita Islam MINA, menggerakkan Lembaga Kepalestinaan Aqsa Working Group (AWG), mengkreasi kegiatan tarbiyah Al-Fatah, memiliki kemampuan Resque, serta mendesain sumber-sumber keuangan (maliyah) untuk perjuangan.
Ini semua tentu tidak bisa sim salabim, abrakadabra, menunggu mukjizat dari langit. Namun harus ada upaya kerja keras, ekstra sungguh-sungguh, istiqomah dan terus-menerus dijalankan dengan berbagai variasi, improvisai dan kreativitas dakwah dan tarbiyah.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Untuk itu, kita bukan hanya perlu kekuatan 100 persen lagi. Namun mungkin harus lebih dari 300 persen! Mengingat tantangan hegemoni global, kebutuhan umat serta perjalanan Al-Jama’ah yang harus terus dikawal dengan kehadiran para da’i Qurani Al-Jama’ah. Insya-Allah. Aamiin. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)