Kampanye Pilkada, Hati-hati Umbar Janji

Ilustrasi karikatur kampanye. (Kendari Pos)

 

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis MINA

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ إِذَا عَـٰهَدتُّمۡ وَلَا تَنقُضُواْ ٱلۡأَيۡمَـٰنَ بَعۡدَ تَوۡڪِيدِهَا وَقَدۡ جَعَلۡتُمُ ٱللَّهَ عَلَيۡڪُمۡ كَفِيلاً‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا تَفۡعَلُونَ

Artinya, “Dan tepatilah perjanjianmu apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl [16] ayat 91).

Kamis, 15 Februari 2018, masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 resmi dimulai. Para pemburu kursi jabatan pemimpin daerah pun mulai berlari dan bekerja, dengan berbagai upaya dan strategi untuk tampil maksimal di ajang final pada hari pencoblosan tanggal 27 Juni 2018.

Pilkada 2018 akan tergelar lebih meriah dan besar dibandingkan Pilkada tahun lalu. Rencananya, ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018 ini dengan rincian: 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.

Bukan hanya pasangan calon (paslon) yang bekerja ekstra maksimal untuk tampil sempurna dengan pengajuan programnya kepada rakyat, tim sukses dari partai politik pengusung pun ikut bekerja non-stop hingga bergerilya demi melambungkan tingkat elektabilitas jagonya di mata rakyat agar banyak dipilih nantinya.

Dana besar pun akan digelontorkan besar-besaran dalam ajang perburuan kursi nomor satu di daerah ini. Meski Komisi Pemilihan Umum menetapkan batas dana kampanye hanya kisaran Rp825 juta, tapi siapa yang bisa mengontrol banyaknya uang yang ditabur di lapangan kala kampanye.

Di masa kampanye inilah waktunya para jagoan calon pemimpin mengumbar janji kepada rakyat di forum terbuka. Namun, tidak bisa dipungkiri pula ada umbar- di balik pintu yang tertutup.

Umbar janji adalah bagian yang tidak terpisah dari paket kampanye. Budaya dalam ajang perburuan kursi kepemimpinan itu tidak akan pernah berhenti membujuk rakyat dengan janji-janji, dan rakyat pun tidak bisa menolak selain disirami janji-janji manis. Meski kemudian setelah paslon yang dipilih berkuasa, semua janji seolah hanyalah candaan di masa lalu.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangat mengingatkan dalam firman-Nya,

وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِ‌ۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـُٔولاً۬

Artinya, “… Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra [17] ayat 34).

Tak pandang Muslim atau non-Muslim yang berlaga, tak pandang seorang alim atau awam yang berkompetisi, dan tak pandang orang sekuler atau ulama yang maju, hampir semuanya berubah menjadi tidak mengenal ayat tersebut.

Sistem perpolitikan dan demokrasi yang dianut bangsa ini telah memaksa rakyat dan umat harus menempuh cara-cara politik yang benar-benar politik untuk memilih pemimpinnya.

Sangat gamblang dan jelas kita melihat, orang-orang yang diusung partai politik atau yang mengajukan diri agar dipilih sebagai pemimpin adalah orang-orang yang meminta tugas yang sangat besar, yaitu meminta amanah. Untuk menepis tudingan minta amanat itu, mereka pun berdalih bahwa mereka maju demi kepetingan rakyat, umat atau agar rakyat tidak dipimpin oleh orang yang salah.

Kisah populer telah tertuliskan dalam kitab-kitab ilmu dan sejarah, ketika Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meminta suatu jabatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Abu Dzar berkata, “Tidakkah engkau mengangkatku menjadi pegawai?” Maka Rasulullah pun memukulkan kedua tanganya di kedua pundak Abu Dzar seraya berkata, ”Sesungguhnya engkau adalah lemah dan perihal yang engkau minta adalah amanah, dan sesungguhnya kelak di hari kiamat akan jadi kesedihan dan penyesalan, kecuali bagi orang mengembannya dengan hak dan menunaikan kewajiban dari kepemimpinannya.”
Jabatan yang menggiurkan

 

Ilustrasi: karikatur kursi jabatan. (Teliksandi45.com)

Begitu memikatnya kursi kepemimpinan daerah, sehingga bukan lagi perindividu yang begitu tergiur, tapi berbagai kelompok. Demi memenangkan paslon yang mereka usung, tak jarang koalisi antarkelompok di bangun dengan melupakan berbagai sengketa di masa lalu. Maka tepatlah pepatah “tidak ada kawan dan lawan yang abadi” di dalam dunia politik.

Terkadang sebagai masyarakat bertanya, “Apa enaknya menjadi gubernur, walikota atau bupati?”

Jadi pejabat daerah, terutama gubernur, walikota atau bupati, memang menjadi impian setiap orang yang haus akan jabatan dan kekuasaan. Apapun akan dilakukan, yang penting jabatan itu bisa didapat.

Ternyata, apa yang akan didapat jika menang menjadi pemimpin, seolah layak diperebutkan untuk barometer kehidupan dunia.

Menjadi gubernur, bupati atau walikota selain mendapat jabatan terhormat, bergengsi dan tercatat dalam sejarah, juga sangat bergelimang kesenangan dan kemewahan. Semua hidupnya difasilitasi uang rakyat yang melimpah. Ia juga bisa mengeruk uang lalu mengumpulkannya untuk membangun dinasti baru. Bahkan ada yang mengatakan, tidurnya saja dibayar.

Ia akan tinggal di rumah dinas yang sama dengan istana. Segala fasilitas dibayar oleh uang negara. Mulai dari minum dan makan, sandal sepatu, baju, tempat tidur, hingga obat nyamuk, semua dibayar dengan uang negara. Semuanya dibiayai dengan uang rakyat dan itu semua diluar gaji dan tunjangan-tunjangan resmi lainnya.

Berangkat kerja ia pun mulai berhadapan dengan berbagai kenikmatan. Pakaian gagah, mobil dinas mewah dikawal polisi dan pejabat lainnya.

Di kantor ia akan menikmati nyamannya suasana ruangan kelas super VVIF.

Dana taktis jumlahnya banyak dan itu sudah masuk dalam anggaran APBD. Namun tak jarang seorang kepala daerah juga telah menyiapkan dana non budgeter yang disisihkan dari dana suap atau uang fee proyek yang diterima dari kontraktor.

Jika ada acara ke luar biasanya berangkat ke luar negeri atau ke luar kota, semua ada anggarannya.

Dari anggaran APBD atau APBN yang masuk, biasanya gubernur, bupati dan walikota mendapatkan banyak keuntungan. Tiap proyek, sudah menjadi rahasia umum di lingkungan kontraktor, sedikitnya jatah yang harus disetor untuk pejabat itu adalah 10 persen dari nilai proyek. Bahkan jika proyek empuk dan besar, mintanya bisa lebih dari itu.

Jika anggaran sebuah proyek Rp 1 miliar, maka jatah gubernur, bupati atau walikota itu minimal 100 juta. Bayangkan jika proyek itu puluhan atau ratusan miliar.

Selain dana dari tak resmi seperti itu ada juga dana resmi yang lumayan banyak jumlahnya.

Dan masih banyak lagi saluran untuk memasukkan aliran uang, baik untuk sendiri atau pun untuk partai pengusung.

Dari fakta yang ada dan sistem pemilihan pemimpin yang tak sesuai ajaran Islam, kita hanya bisa berharap, calon pemimpin yang menang adalah orang-orang yang benar-benar kuat dan menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin dan menunaikan semua janjinya kepada rakyat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu.

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا

Artinya, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (Shahih Bukhari)
(A/RI-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.