Tanggal 31 Oktober 2016 adalah hari yang Ifra Shakour tidak akan pernah lupa. Di hari saat ia selama satu jam tidak sadarkan diri.
Ifra yang berusia 14 tahun itu masih ingat saat ia membungkuk untuk memasukkan buku-buku sekolahnya hingga berjejal di dalam tas. Hari itu ia ujian kelas delapan.
Tiba-tiba gadis itu mendengar suara tembakan gas air mata yang belakangan akrab terdengar. Suara itu berasal dari pasar lokal. Seketika kekhawatirannya muncul saat ia menyadari bahwa adiknya tidak ada di rumah.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Apa yang terjadi di luar?” tanyanya kepada ibunya.
Namun ibunya tidak menjawab. Ia menutup bukunya dan segera pergi.
Ifra hanya sampai dan berhenti di gerbang depan rumahnya. Hal terakhir yang dia lihat saat itu adalah dua polisi berseragam berjalan ke arahnya.
“Ketika saya melihat mereka, saya takut. Itu sebabnya saya lari,” katanya kepada wartawan Al Jazeera yang mewawancarainya.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Namun, polisi itu berhasil menangkap Ifra dengan menjambak rambutnya lalu menyeretnya. Setelah itu, Ifra dipukuli dengan tongkat. Ternyata dengan pukulan para polisi itu pun belum puas, sehingga polisi menembak Ifra dengan senapan angin bersenjata peluru logam pelet.
Senapan pompa ini telah menjadi senjata pilihan bagi pasukan keamanan India di Kashmir selama bertahun-tahun. Senjata ini diklasifikasikan sebagai “non-mematikan”, yang digunakan untuk melukai, bukan membunuh korbannya.
Setiap tembakan melesatkan ratusan peluru pelet berukuran kecil, lebih kecil dari biji pepaya, mengenai para demonstran tanpa pandang bulu.
Ifra mengatakan bahwa polisi menembaknya dari jarak titik nol.
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
“Setelah saya ditembak, saya tidak bisa melihat apa-apa. Darah keluar dari mata saya,” katanya.
Setelah peristiwa kejam itu, Ifra hanya berpikir tentang bagaimana ia bisa melihat lagi, sehingga ia bisa belajar, pergi keluar bersama teman-teman, guru, keluarga dan tetangganya. Ia hanya selalu berdoa kepada Allah agar membuatnya bisa melihat lagi, sehingga ia bisa menjadi seorang dokter.
Protes dipicu oleh kematian Burhan Wani
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Penembakan Ifra terjadi selama protes terburuk di Negara Bagian Jammu dan Kashmir. Protes besar-besaran rakyat Kashmir yang menentang pemerintah India dipicu oleh pembunuhan terhadap Burhan Wani, seorang komandan muda militan yang bergabung dengan jaringan gerilyawan bawah tanah.
Wani adalah ikon dan bintang media sosial dengan ribuan pengikut online. Pembunuhannya oleh polisi India mengirimkan gelombang kejutan di negara bagian yang berpenduduk mayoritas Muslim itu. Pengunjuk rasa yang marah membanjiri jalan-jalan, melemparkan batu kepada pasukan keamanan dan menuntut kemerdekaan.
Selanjutnya, pemerintah bertindak keras. Korban dari warga sipil berjatuhan. Rumah sakit berjuang untuk mengatasi korban yang mati dan terluka. Sebagian telah dipukuli dan yang lain menderita luka peluru pelet.
Dokter mata di Rumah Sakit Singh Hari Shri Maharaja di Srinagar mengatakan, mereka melakukan operasi siang dan malam, mengobati sedikitnya 1.000 pasien dengan peluru pelet yang bersarang di mata mereka.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Sebagian bernasib seperti Ifra, menjadi benar-benar buta.
Rubeena, bibinya Ifra bercerita, “Dia menjerit. Ada darah yang keluar dari matanya, telinganya, hidungnya. Saya sangat stres. Saya tidak bisa melihat dia. Saya pikir dia akan mati.”
Ifra mendapat tiga pelet di mata kanannya dan dua di mata sebelah kiri.
“Dia telah pergi untuk membawa pulang adiknya, karena ada yang menembak dan pertempuran terjadi,” kata Rubeena. “Apakah yang dia lakukan salah? Dia tidak memiliki batu atau pistol di tangannya. Dia baru saja pergi untuk mencari adiknya.”
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Tidak ada aturan hukum di sini
Pemerintah India telah menolak tekanan yang menuntut pelarangan penggunaan senjata pelet terhadap demonstran dan warga sipil.
“Melarang itu akan membawa kita langsung kepada penggunaan peluru, jadi lebih jahat,” kata Naeem Akhtar, seorang menteri senior dalam pemerintah negara bagian. “Kami ingin menciptakan suasana di mana kita tidak harus menggunakannya. Ini harus menjadi pilihan terakhir karena itu bukan untuk manusia.”
Namun, aktivis dan pemimpin politik Kashmir telah menuduh pemerintah India tidak jujur. Selama beberapa dekade, pengacara hak asasi manusia telah merekam katalog keluhan terhadap pasukan keamanan, termasuk kasus pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dalam tahanan dan pemerkosaan. Mereka percaya pelanggaran di Kashmir dilakukan sistemik.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
“Sama sekali tidak ada demokrasi di sini, tidak ada aturan hukum di sini, tidak ada akuntabilitas di sini,” kata Umar Farooq, seorang pemimpin pergerakan dan kepala keagamaan Muslim Kashmir. “Setiap kali (ada protes) reaksinya adalah kekerasan. Membunuh warga Kashmir, melukai mereka, membutakan mereka.”
Keluarga Ifra tidak memiliki harapan bahwa kasusnya akan diselidiki. Mereka belum mengajukan keluhan kepada polisi.
“Jika kami mengeluh, siapa yang tahu? Mungkin mereka akan mengambil keponakan kecil saya dan menempatkan dia di penjara,” kata Rubeena. “Itu sebabnya kami takut dan kami tidak akan mengeluh. Hari ini bisa terjadi pada keponakan saya. Hari lain, itu akan terjadi kepada orang lain, dan orang lain di hari setelah itu. Itu sebabnya kami mengatakan kami ingin Kashmir independen (merdeka).”
Ifra telah menjalani tiga kali operasi untuk memulihkan penglihatannya, tapi pandangannya masih terbatas.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Kerabatnya mengatakan, dia telah berhenti belajar dan nyaris tidak mau makan. Dia menghabiskan sebagian besar hari-harinya duduk sendirian di halaman luar rumahnya.
“Dulu teman saya datang menemui saya setiap pagi, tapi sekarang dia tidak datang,” keluhnya. “Saya tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia sibuk belajar dan pergi ke sekolah. Dia akan lulus, tapi apa yang saya lakukan?” (RI-1/P1)
Sumber: tulisan Karishma Vyas di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)