Jakarta, MINA – Idul Fitri menjadi momen yang paling ditunggu muslim di seluruh dunia. Mayoritas umat muslim menyiapkan beragam jenis penganan di hari itu. Salah satu yang tak pernah luput adalah kue kering sebagai camilan khas Idul Fitri. Biasanya, penganan ini menjadi sajian untuk tamu yang bersilaturahim ke rumah.
Penganan ini sering kali dibuat secara homemade. Karena itu, pembuat dapat menyeleksi sendiri bahan-bahan yang digunakan. Meski begitu, beberapa bahan utama memiliki titik kritis halal. Mari kita ulas satu per satu.
Halal Audit Quality Board Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Dr. Ir. Mulyorini R. Hilwan, M.Si, menjelaskan, tepung terigu menjadi salah satu bahan utama dibuatnya kue kering. Bahan ini kaya akan kandungan karbohidrat, namun sangat sedikit kandungan vitamin dan mineralnya.
Dalam rilis LPPOM MUI yang dikutip MINA, Selasa (3/5), dia mengatakan, untuk memperkaya kandungan nutriennya, beberapa bahan tambahan pangan sering ditambahkan sebagai fortifikan tepung terigu, yang meliputi: zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1, vitamin B2, serta asam folat. Vitamin-vitamin tersebut berubah status menjadi tidak halal manakala diproduksi secara mikrobiologis menggunakan media yang tidak halal.
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan
Kemudian, margarin dibuat dengan bahan dasar lemak tumbuhan. Dalam proses pembuatannya, sering kali ada bahan penstabil (stabilizer), pewarna, maupun penambah rasa (flavor) yang ditambahkan yang perlu dikritisi kehalalannya.
Gula pasir melalui beberapa tahapan, mulai dari proses ekstraksi, penjernihan, evaporasi, kristalisasi, hingga pengeringan. Tahapan-tahapan proses ini berpeluang menggunakan bahan dekolorisasi yang menggunakan karbon aktif.
“Apabila karbon aktif ini berasal dari hasil tambang atau dari arang kayu, maka tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, apabila menggunakan arang tulang, maka harus dipastikan status kehalalan asal hewannya. Arang aktif yang dipakai harus berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat Islam,” ungkap Mulyorini.
Sementara Direktur Utama LPPOM MUI Ir. Muti Arintawati, M.Si, mengatakan, bahan lain yang sering menjadi topping atau campuran kue adalah keju dan cokelat. Keju berasal dari susu sapi, domba, kambing, atau unta. Kemudian dibutuhkan mikroorganisme (seperti: enzim rennet, pepsin, renin, renilasi) dalam proses penggumpalan susu.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
“Enzim rennet yang dipakai bisa berasal dari proses mikrobial atau lambung anak sapi. Jika berasal dari proses mikrobial, maka harus dipastikan media yang dipakai untuk pertumbuhan mikrobanya tidak mengandung bahan yang diharamkan. Sementara jika berasal dari lambung anak sapi, cara penyembelihan menjadi penentu kehalalannya,” jelasnya.
Pada cokelat, lanjut Muti, terkadang membutuhkan emulsifier dalam proses pembuatannya. Bahan ini berasal dari produk nabati atau hewani. Selain itu, penggunaan flavor, laktosa, dan whey juga merupakan hal lumrah dalam cokelat. Laktosa dan whey menjadi bahan kritis karena bisa berasal dari hasil samping produksi keju yang mungkin menggunakan bahan haram dalam proses pembuatannya.
Hal ini dapat diantisipasi dengan terus memilih produk dengan kemasan berlabel Halal MUI. Jika kurang yakin, kehalalan produk bisa dicek melalui website www.halalmui.org, majalah Jurnal Halal, atau HalalMUI Apps di Android.
Jangan lupa untuk memperhatikan kondisi kemasan yang tidak rusak, bocor dan sirup yang keruh. Masa berlaku atau expired date juga mesti diperhatikan agar sirup yang akan kita konsumsi selain halal namun juga aman (thayyib) untuk dikonsumsi. Mari budayakan memilih bahan-bahan halal, minimal untuk menjaga diri sendiri dan keluarga kita.(R/R1/P1)
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia