Pernahkah kita merenung dari mana peperangan antar umat manusia bermula? Kekisruhan, pertikaian, permusuhan antar suku, agama, budaya, latar belakang dan sebagainya menjadikan kita begitu berbeda dengan yang lainnya.
Pernahkah kita merenungkan bagaimana indahnya hidup dalam perdamaian seperti yang terjadi beberapa abad silam di tanah suci Al-Quds (Yerusalem), ketika Kristen maupun Yahudi hidup berdampingan di bawah kekuasaan Muslim saat itu. Kenapa bisa? Karena Islam memiliki ajaran paling adil dan merepresentasikan ketauhidan dari sejak Adam dan Hawa turun ke bumi ini.
Dalam perenungan itu, saya mendapat email dari seorang keturunan Samaritan (baca: Samaria) di Indonesia, tepatnya di Surabaya. Email itu membawa saya ke kota yang dijuluki sebagai kota Pahlawan itu untuk bertemu dengan Yaqob Bar-Karoza.
Orang Samaria adalah penduduk wilayah Palestina bagian utara, yang dulunya menjadi wilayah kerajaan Israel Utara dulu kala. Berakar dari Yudaisme yang sama, orang Samaria dan Yahudi memiliki perbedaan besar dalam meyakini situs sakral mereka. Yahudi percaya bahwa situs suci mereka ada di Yerusalem (Al-Quds) oleh karenanya mereka berusaha menguasai lokasi tersebut. Sementara Samaria percaya bahwa situs tersuci dalam Yudaisme adalah gunung Gerizim yang berada di utara Palestina, bukan Yerusalem. Perbedaan ini menjadi salah satu perselisihan sepanjang sejarah kedua belah pihak.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Yahudi menyebut kepercayaan kaum Samaria sebagai “keyakinan tak sempurna dalam Yahudi” dan itulah mengapa orang Samaria dipandang rendah oleh Yahudi pada umumnya. Daripada mencemari diri mereka dengan melewati wilayah Samaria, orang-orang Yahudi yang bepergian dari Yudea ke Galilea atau sebaliknya lebih memilih menyeberang sungai Yordan yang lebih jauh rutenya.
Di masa lalu, banyaknya kaum Samaria berpindah kepercayaan menjadi Muslim dikarenakan keyakinan Yudaisme mereka berdekatan dengan ketauhidan dalam Islam. Samaria dikenal ramah dan menyanjung harmonisasi dalam kehidupan dari sejak masa lampau. Buktinya, kaum ini banyak menyanjung kehidupan harmonisasi seluruh agama ketika Muslim menguasai seluruh wilayah Palestina di masa lalu. Dan kesaksian ini ada dalam wawancara saya bersama Yaqob Bar-Karoza, salah satu dari sedikit kaum Samaria yang masih ada hingga saat ini. Yaqob menikahi warga Indonesia keturunan Cina dan memiliki dua putri darinya. Berikut petikan wawancara eksklusifnya bersama Mi’raj Islamic News Agency (MINA):
MINA: Apa arti Samaria menurut Anda?
Yaqob Bar-Karoza: Samaria adalah kata dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin. Selama Kekaisaran Romawi, mereka menggunakan kata-kata ini untuk menggambarkan orang-orang yang tinggal di wilayah Israel utara (tanah yang diduduki Israel di Palestina) utamanya di daerah yang disebut Samaria. Tapi sebenarnya kami tidak menyebut diri kami sebagai orang Samaria, tapi sebagai Shamerin (diambil dari kata dalam bahasa Ibrani kuno), itu berarti penjaga asli kitab Taurat.
Kami terus menjaga keaslian Taurat. Jadi secara etnis kami berasal dari keluarga yang sama seperti orang-orang Yahudi. Tapi kami bukan Yahudi. Moyang kami adalah Ibrahim dan kami dari keturunan Ishak. Tapi kami tidak datang dari suku-suku ibrani selatan (Yahudiin), melainkan dari suku-suku utara, dari nabi Yusuf. leluhur saya datang dari dia. Kami datang dari cabang keluarga yang berbeda, tapi kami saling terkait.
Alasan mengapa kami begitu sedikit hari ini, kurang dari seribu diseluruh dunia,adalah karena penganiayaan. Pada zaman kuno kami memiliki kerajaan Israel di utara, dan orang-orang Yahudi memiliki kerajaan Yudea di Selatan, dan kita (Yahudi dan Samaria) terus berperang. Yang saya sedihkan adalah karena kami keluarga. Akhirnya setelah kerajaan kami dihancurkan, sebagian dari kami memilih pergi dan berimigrasi. Ketika Romawi mengambil alih Kristen, mereka menganiaya orang-orang kami. Namun setelah Muslim berkuasa, kami mampu hidup dalam damai selama ribuan tahun. Kami hidup dalam damai di Palestina. tanah air kami adalah Palestina dan Nablus.
Keluarga saya telah tinggal di luar tanah Israel selama ribuan tahun. Kami menyebutnya diaspora. Dan saya bagian dari itu. Di Israel (tanah Palestina yang dijajah) saat ini ada sekitar delapan ratusan orang Samaria. Mereka terbagi di antara dua kota. Palestina adalah tempat suci bagi kami. Jadi ketika saya mendengar warga Palestina dianiaya setiap harinya itu mengganggu saya. Secara genetic, setidaknya dari 20 sampai 40% populasi Palestina adalah keuturan Samaria yang memeluk Islam di masa lalu.
MINA: Apa yang kaum Samaria percayai?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Yaqob Bar-Karoza; Ada kitab suci kuno yang kita miliki dan belum berubah selama sekitar tiga ribu tahun. Dan menjaga hal itu membuat kami menjalani kehidupan dengan cara kuno. Sebagian Kristen menggunakan Taurat yang dipakai orang Yahudi saat ini. Sebagai yang melanjutkan Kristiani, kami percaya pada Tuhan, kita memiliki ritual sujud seperti Muslim. Kami juga melakukan wudhu, kami melakukan banyak hal yang sama seperti yang Muslim lakukan. Itulah cara kuno kami. Kami juga masih berbicara bahasa kuno (Ibrani kuno). Kami percaya Isa Al Masih (Yesus) sebagai nabi, seorang pria, tetapi sebagaimana konsep “Ittihad” dalam Sufi, Isa Al Masih memiliki hadiah dari Tuhan, seperti Isa diberkati dengan sifat-sifat roh Tuhan.
MINA: Jadi apakah Samaria bagian dari Kristen atau yang lain?
Yaqob Bar-Karoza: Secara tradisional, ada gereja-gereja Kristen Samaria yang salah satunya telah didirikan oleh Yesus (Isa Al Masih). Ia pergi ke Samaria sebelumnya dan membangun sebuah komunitas di sana. Tetapi selama zaman Romawi, gereja banyak yang dihancurkan. Orang-orang kami dipaksa untuk mengikuti ajaran gereja katolik. Di zaman modern, kita bebas di Amerika. Dan keluarga saya mencoba untuk mengembalikan budaya leluhur kita, dan itulah yang saya lakukan di Indonesia di sini. Budaya kita (Samaria, red) relatif sama dengan kehidupan Muslim.
MINA: Berapa banyak orang Samaria di Indonesia sejauh yang Anda tahu?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Yaqob Bar-Karoza: Hanya keluarga saya. Biasanya ke mana pun kita pergi, hanya ada sedikit dari kita. Kami tersebar, tapi kami masih ada hingga saat ini.
MINA: Saya mendengar ada “Syahadat” dalam kepercayaan Samaria, apakah itu benar?
Yaqob Bar-Karoza: Ya kita memilikinya. Aku membacanya sepanjang waktu. Bahkan sehari saya bisa sampai 7 kali membacanya dalam ibadah saya. Ibadah kami dimulai dengan pernyataan pujian, “shoobkha l’Elaha” (bahasa Aram) berarti pujian kepada Allah, dan juga kata-kata Syahadat kami dalam bahasa Ibrani mengatakan “tidak ada Tuhan selain satu”, itu bagaimana kita merujuk Dia satu sebagai yang kekal. dan saya selalu mengatakan berulang. Mirip dengan Islam. Dan kami juga melakukan sujud.
MINA: Berapa kali Anda berdoa pada waktu tertentu?
Yaqob Bar-Karoza: Ada dua doa resmi, dan ketiga ditambahkan pada hari Sabat. Waktu suci bagi kita dimulai pada Jumat malam. Kami mengikuti kalender lunar dan hari baru menurut calendar ini dimulai saat matahari terbenam, jadi kami mulai hari Sabat kami sejak Jumat malam dan berakhir pada matahari terbenam keesokan harinya. Selama doa, kami menyanyikan lagu-lagu kuno dalam bahasa Aram dan Ibrani. Pada waktu hari Sabat kami memiliki doa rutin di pagi hari, dan pada siang hari kami datang dan membawa keluar Taurat asli kami ke Masgada (Masjid dalam Islam) dari tempat Imam, tempat suci. Saya seorang Kristen dan saya masih melakukan ritual ini.
MINA: Apa ritual lain dari kaum Samaria?
Yaqob Bar-Karoza: Pada zaman kuno ada ritual pengorbanan. Sekarang kita hanya menyembelih domba selama hari Paskah (Easter). Kami masih makan domba sembelihan, tapi kita tidak harus menyembelihnya, karena saat ini sulit untuk menyembelih sehingga kita membeli daging dan memasaknya. Ini untuk mengingat dan menghormati tradisi di masa lalu.
Kisah penyembelihan domba ini kembali pada masa eksodus. Dalam Taurat, ketika orang-orang kami menjadi budak di Mesir, dan teraniaya. apa yang Tuhan lakukan untuk membawa kami keluar dari aniaya itu adalah saat ia memiliki sepuluh tulah yang menyebabkan masyarakat Mesir goyah. Dan kesepuluh tulah dari yang terburuk yang Allah beri untuk menghukum Mesir adalah kematian anak-anak pertama. Tuhan mengatakan kepada kami, “Aku akan turunkan malaikat maut dan dia akan datang ke seluruh penjuru kota, satu-satunya cara dia akan tahu jika kalian adalah hamba-KU adalah dengan memberi tanda darah di pintu kalian. Jadi sembelihlah domba dan ambil darahnya dan kemudian usapkan darah itu ke pintu depan kalian. kemudian masaklah dagingnya dan makanlah. Jangan sampai tersisa sampai pagi. ”
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
MINA: Apa cerita serupa pada kaum Samaria dan Muslim?
Yaqob Bar-Karoza: Ada banyak hal. Salah satunya tentang kisah Isa Al Masih, ketika ia masih muda ia mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi seekor burung dan mampu menghidupkannya. AlQuran dan kitab-kitab kami memiliki cerita itu, sementara injil tidak memilikinya.
MINA: Siapa yang menulis Taurat Samaria?
Yaqob Bar-Karoza: Taurat versi Samaria ditulis oleh Abisa, ia adalah imam dan anak cicit dari Nabi Harun, saudara Musa. Dia adalah orang pertama yang menulis seluruh Taurat dan satu dokumen utama. Dan ia letakkan di Gunung Gerizim, utara Israel, tidak di Yerusalem. Yerusalem bukanlah kota Israel sampai saat Daud, sebelumnya Yerusalem itu milik orang Pagan. Tapi orang-orang Yahudi, karena mereka membenci kita, mereka mengubah Taurat.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
MINA: Bagaimana Anda menjaga bahasa Ibrani kuno sampai hari ini?
Yaqob Bar-Karoza: Saya dibesarkan satu kaki sebagai Samaria, dan satu kaki di Sinagog. Tidak ada Samaria di Sinagog Amerika, jadi saya belajar dari orang-orang Yahudi dan belajar bahasa Ibrani di sana. Ketika saya memulai mencari leluhur saya di Samaria pada tahun 2012, beberapa perbedaan mengejutkan saya karena saya menemukan yang berbeda dengan bahasa Ibrani kuno Samaria. Dan teman saya di Samaria memberikan salinan asli Taurat dan saya mulai belajar sejak saat itu. (R04/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)