Meneladani Rasulullah Sebagai Pemimpin Keluarga

Oleh: KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33] ayat 21)

Setiap langkah hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah teladan yang tidak sulit dipraktikkan termasuk keteladanan beliau dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam membangun rumah tangga sama sekali tidak mementingkan bentuk luar. Beliau tidak tertarik untuk membangun rumah dengan sesuatu yang menyengsarakan akal, hati dan jiwa penghuninya. Rumah ideal bagi beliau adalah rumah yang penghuninya berdiri kokoh di atas nilai keimanan, moralitas dan keutamaan rumah yang diliputi ketenangan, dilimpahi cinta dan kasih sayang sebagaimana firman Allah:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30] ayat 21)

Rumah yang ideal bagi beliau adalah rumah yang setiap individu di dalamnya berdiri sama, tidak ada belenggu pengikat jiwa dan bahaya yang mengancam keutuhan rumah tangga. Rumah yang melahirkan generasi pembangun kehidupan sosial yang damai, sejahtera, saling memberi dan saling pengertian. Rumah tangga ideal seperti di atas dapat terwujud karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai kepala rumah tangga dapat berfungsi secara maksimal dalam ber-muassyarah (mempergauli) seluruh penghuni rumah tangga dan unsur-unsur yang terkait rumah tangga tersebut.

Di sini akan disampaikan secara singkat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hidup dalam beraktifitas di tengah-tengah rumah tangganya sebagai suami dan ayah.

  1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai suami

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai suami saat beliau berumur 25 tahun, sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul. Beliau menikah pertama kali dengan bin Khuwailid, janda yang dua kali bersuami karena kedua suaminya meninggal dunia dan wanita yang telah berumur 40 tahun.

Walau umur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Khadijah terpaut agak jauh, tapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat memfungsikan dirinya sebagai suami dengan baik termasuk mengasuh dua anak Khadijah dari suami sebelumnya dan sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai bapak tiri. Keduanya sangat mencintainya dan memanggilnya “bapak”.

Perkawinan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Khadijah telah melahirkan rumah tangga yang damai, tentram dan bahagia tiada tara. Dari Khadijah, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menemukan curahan cinta dan kasih sayang yang melimpah. Jiwanya yang sejak kecil dihimpit aneka penderitaan kini mulai tenang dan hidup. Sementara Khadijah sendiri merasa sangat bahagia di samping Muhamammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam suami yang telah berhasil membuatnya lupa atas kesedihan masa lalunya karena kehilangan dua suaminya yang terdahulu.

Sebagai seorang suami, walaupun istrinya kaya raya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak berpangku tangan. Beliau menyibukkan diri dengan usaha perdagangan. Bersama mitra dagangnya bernama Saib bin Abi Saib, beliau berdagang di pasar-pasar sekeliling kota Makkah dan kembali ke rumah dengan membawa rizki yang baik dan halal. Keluarga Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khadijah makin semarak dengan lahirnya beberapa anak, dua orang putra bernama Qasim dan Abdullah (Tayyib/Thohir) dan empat putri yang bernama Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan si bungsu Fatimah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berumah tangga dengan Khadijah selama 25 tahun. Tidak ada satu pun petunjuk bahwa selama berumah tangga dengan Khdijah beliau pernah mengatakan niat untuk menikah lagi atau tergoda dengan perempuan lain. Kesetiannya terhadap Khadijah, beliau jalani hingga Khadijah wafat secara mendadak. Saat itulah beliau kehilangan pendukung utama dakwah sekaligus muara cinta dan kasih sayang. Lama sekali Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak berkeluarga setelah itu. Beliau menduda dan sama sekali tidak menaruh hati kepada wanita. Kehidupannya mengalir dalam arus kenangan cinta Khadijah yang mempesona.

Tapi rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali tidak berbeda dengan rumah manusia lain. Kehadiran wanita mutlak diperlukan untuk menjaga rumah, mengingat makin tingginya aktifitas beliau dalam menyebarkan risalah. Juga merawat putra-putrinya yang masih kecil terutama Fatimah. Atas pertimbangan ini, maka ketika seorang kerabat wanita beliau menawari kawin, beliau tidak menolak dan akhirnya, setelah empat tahun menduda beliau menikah dengan Saudah binti Zainab, seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 orang anak.

Setelah itu karena pertimbangan dakwah  dan perintah Allah beliau menikah dengan wanita-wanita lain yag semuanya janda kecuali Aisyah. Istri-istri beliau adalah Zainab binti Jahsy, 45 tahun; Ummu Salamah, 62 tahun; Ummu Habibah, 47 tahun; Juwairiyyah binti Al-Harits, 65 tahun dengan 17 anak; Shafiyah binti Huyyai, 53 tahun dengan 10 anak; Maimunah binti Harits, 63 tahun; Zainab binti Harits, 50 tahun; Hafsah binti Umar, 35 tahun dan Mariah al-Qibthiyah, 25 tahun, bekas budak yag dimerdekakan.

Adapun tentang Aisyah, satu-satunya gadis yang dinikahi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika itu umurnya masih 6/7 tahun. Tapi menurut penelitian para ulama kontemporer riwayat ini hanya mitos. Dari beberapa riwayat yang valid, mengindikasikan bahwa ketika dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, umur Aisyah minimal 15 tahun atau 19 tahun.

Pergaulan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan istri-istrinya adalah teladan mengagumkan. Istri-istri beliau yang berasal dari latar belakang suku, negeri, umur dan agama yang berbeda-beda dapat beliau rangkum bak seikat bunga yang berwarna-warni yang memancarkan keharuman dan keindahan yang luar biasa.

Keagungan belia dari aspek sosial terlihat nyata pada kemampuan beliau mengatur dan memimpin mereka, serta membuat mereka rela dan menerima. Beliau kadang keras, kadang lunak, sejauh hal itu tidak melampaui syariat.

Beliau tidak pernah memukul seorang pun di antara mereka walaupun dalam kondisi tertentu dibolehkan, asal tidak menimbulkan bekas, baik dengan tangan maupun dengan benda yang lain. Bahkan beliau melarang, sebagaimana sabdanya:

 (يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يْوِمِهِ (البخاري

“Bagaimana mungkin salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukuli budaknya lalu malamnya dia kumuli.” (HR.Bukhari)

  1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai ayah

Sebagaimana yang disebutkan, bahwa sebelum menjadi rasul beliau mempunyai dua putra yaitu Qasim dan Abdullah serta empat putri yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Qultsum dan Fatimah. Setelah menjadi rasul, di akhir kehidupannya lahirlah Ibrahim dari istri beliau Maria al-Qibtiyah. Di samping itu beliau memiliki beberapa anak tiri dari istri-istrinya yang lain.

Beliau juga memiliki satu orang anak angkat  yang bernama Zaid bin Haritsah. Ia asalnya seorang budak yang dibeli Khadijah di pasar Ukazh. Setelah kebiasaan pengangkatan anak dibatalkan oleh Allah (Q.S Al-Ahzab (33): 5), Zaid dimerdekakan. Meski demikian, beliau tetap baik kepadanya. Sikap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap anak-anaknya merupakan puncak peradaban dan keadaban manusia. Ini tercermin dari kelembutan, cinta dan kasih sayang beliau yang luar biasa besar kepada mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Belum pernah aku melihat seseorang mencintai keluarganya melebihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR. Muslim)

Setiap anak dalam rumah tangga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki kedudukan dan arti penting  di sisi beliau. Mereka adalah curahan cinta, kasih sayang dan kelembutan beliau. Lewat di depan mereka, beliau mengucapkan salam. Pulang dari bepergian, merekalah yang pertama kali beliau jumpai. Mereka dipeluk, disayang dan ditanya dengan riang.

Sesuai tradisi jahiliyyah, orang Arab pada umumnya keras dan kasar kepada anak. Ketika mereka datang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu melihat beliau mencium putra-putrinya, mereka tercengang heran. Dengan penuh ta’jib sebagian dari mereka bertanya, “Apakah engkau mencium anak-anakmu?” Beliau menjawab, “ya.” Mereka berkata, “Tetapi kami, demi Allah, tidak pernah mencium mereka.” Lalu beliau bersabda, “Atau jangan-jangan Allah telah mencabut cinta dan kasih sayang dari hati kalian.” (HR. Al-Bukhari).

Apabila di antara keluarga beliau ada yang mengeluh sakit atau mengalami musibah, beliau selalu menunjukkan perhatian dan rasa kasihan. Zainab, putri beliau pernah mengutus seseorang masuk memanggil beliau karena anaknya sakit keras. Beliau segera bangkit menuju rumah Zainab disertai beberapa sahabat. Anak yang sedang di ambang maut itu, beliau angkat ke bilik beliau. Air mata beliau berlinang-linang menahan rasa kasihan melihat anak itu tersengal-sengal nafasnya. Melihat kejadian itu Saad bertanya, “Apa-apaan ini, ya Rasulullah?” Kemudian beliau menjawab, “Inilah kasih sayang yang ditanam Allah dalam hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan Allah tidak menyayangi hamba-hambaNya kecuali yang pengasih dan penyayang. (HR. Bukhari-Muslim)

Sebagai seorang ayah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah cermin ayah yang penuh kesabaran, tawakal dan ayah yang berserah diri secara total kepada ketetapan Allah. Beliau ditinggal mati anak-anaknya semasa hidupnya, kecuali Fatimah. Mereka secara bergilir, satu per satu dipanggil Allah di hadapannya.

Tragedi ini dimulai dari meninggalnya putera pertamanya Qasim, yang disusul adiknya Abdullah, ketika beliau masih di Makkah. Setelah beliau hijrah ke Madinah, sepulang dari perang Badar (tahun 2 H) putrinya Ruqayyah meninggal dunia. Pada tahun ketujuh hijriyah menyusul Ummi Kultsum menghadap Illahi dan pada tahun kedelapan hijriyah mendadak, putrinya yang kedua Zainab meninggal dunia dan putra beliau yang terakhir Ibrahim, wafat pada tahun 10H pada usia satu serengah tahun. Beliau sangat sedih dengan kepergian putra yang beliau harapkankan menjadi penerus keturunannya. Akhirnya beliau melepas si buah hati ke liang kubur dengan hati hancur. Beliau sangat terpukul dan sedih. Ketika itu beliau bersabda:

إن العين تدمع، والقلب يحزن، ولا نقول إلا ما يُرْضِى ربنا، وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون” رواه البخاري

“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati bersedih. Namun, kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak  diridai Rabb kami. Sungguh kami bersedih karena berpisah denganmu, hai Ibrahim.” (HR. Bukhari).

Tinggallah Fathimah Al-Zahra, satu-satunya putri beliau yang hidup. Fatimah adalah belahan hati beliau yang paling dicintai. Beliau curahkan cintanya murni untuk putri yang tinggal seorang dan pelanjut keturunan beliau.

Begitu dekat hubungan beliau dengan Fatimah. Bila datang dari perjalanan jauh, beliau selalu menemuinya lebih dahulu. Bila Fatimah berkunjung ke rumah, beliau berdiri menyambutnya, mencium kepalanya atau kening antara kedua matanya, memuliakannya dan mendudukkannya di tempat duduk beliau. Dipanggilnya dengan julukan “ummu abika”, ibu sang ayah.

Begitu Fatimah menginjak usia menikah, beliau nikahkan putrinya dengan , sepupunya. Rumah tangga Fatimah tidak berbeda dengan wanita pada umumnya. Ia lakukan sendiri semua urusan rumah tangganya. Ia menyapu, memasak, mengadon, membuat roti dan menguliti biji kurma untuk untuk kuda suaminya sehingga kedua tangannya melepuh.

Untuk meringankan beban pekerjaannya, ketika mendengar pasukan Islam pulang dari peperangan membawa tawanan yang banyak, Fatimah  dan Ali menemui beliau untuk meminta satu orang tawanan guna dijadikan pembantu. Meski begitu cintanya beliau kepada keduanya, beliau menolak permintaan keduanya, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberi apa yang kalian minta. Aku tidak akan membiarkan ahlu shuffah kelaparan. Tawanan akan aku jual, uangnya untuk nafkah mereka.”

Terhadap anak-anak tirinya Rasulullah telah memberi contoh cemerlang dalam memperlakukan mereka dan beliau benar-benar menjadi pengganti ayah mereka. Mereka bangga memiliki ayah seperti beliau. Kemudian putri beliau dari suaminya yang terdahulu. Abu Halah berkata, “Akulah menusia terbaik ayahnya, ibunya, saudara dan saudarinya. Ayahku Muhammad, ibuku Khadijah, saudaraku Qasim dan saudariku Fatimah. Siapa yang mempunyai nasab seperti ini?”

والله أعلمُ بالـصـواب

(P004/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.