Mengikis Wasangka Terhadap Cadar

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency

Rentetan ledakan bom di beberapa daerah belakangan ini ternyata tak hanya menimbulkan rasa duka, tetapi juga menyisakan ketakutan dan pandangan negatif pada umat Islam, khususnya terhadap wanita-wanita yang bercadar. Apalagi, pelaku-pelaku peledakan bom di gereja Jl. Diponegoro dan Poltabes , memakai saat melakukan aksinya.

Cadar atau niqab (Arab) adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan) yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab dan banyak dipakai wanita di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bharain, Kuwait, Qatar dll.

Kasus terbaru ledakan bom di Bangil Pasuruan yang melibatkan seorang terduga SA dan juga istri sirinya yang mengenakan cadar, makin memperburuk citra kaum wanita bercadar – meski tentu saja tidak semua pengguna niqab itu terlibat dalam perbuatan keji – tetapi mereka terkena dampak buruk dari aksi-aksi teror tersebut.

Sadar akan dampak buruk itu, para perempuan pengguna cadar menyatakan tidak ingin dikaitkan dengan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Seperti diungkapkan oleh salah satu peserta aksi Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Lina di arena Car Free Day, Bunderan HI Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Ia merasa miris dengan stigma masyarakat yang memandang para pengguna cadar pasti terkait aksi terorisme, apalagi ditambah dengan tertangkapnya dua perempuan bercadar oleh pihak kepolisian baru-baru ini. “Sebenarnya miris sekali dikait-kaitkan seperti itu tapi saya pribadi santai-santai saja jika diperiksa, ditanya atau dicurigai selagi kita tidak (ikut terorisme).”

Dia berharap, ke depan para pengguna cadar seperti dirinya tidak lagi dikaitkan dengan aksi terorisme. Mereka menggunakan cadar untuk tujuan yang baik di mata agama. “Tidak semua wanita bercadar terlibat terorisme, kami hanya pengen bener-bener istiqomah pengen berhijrah, bukan menutupi sesuatu yang jahat.”

Dalam aksi yang digelar Lina bersama dua temannya, mereka membawa secarik kertas bertuliskan ‘Peluk saya jika kamu merasa nyaman, jaga NKRI Hafidz on the street’. Para pengunjung wanita yang membubuhkan tanda tangan dan menerima bunga kertas dari tiga perempuan bercadar pun langsung memeluk mereka secara bergantian.

Untuk menghilangkan fobia terhadap wanita bercadar, Komunitas Muslim juga menggelar aksi ‘Peluk Saya’ di Patung Kuda, Jakarta beberapa waktu lalu. Mereka membawa kertas bertuliskan ‘Peluk Saya Jika Kehadiran Saya Membuat Anda Nyaman’, ‘Aku Percaya Padamu, Apakah Kamu Percaya Padaku? Maka Peluk Saya!’.

Ahmad Zaki, Koordinator aksi yang bertajuk ‘Ada Apa Dengan Cadar’ mengatakan, aksi ini dilakukan untuk eksperimen sosial untuk menghilangkan Islamofobia. Masyarakat diajak untuk tidak takut dengan wanita berhijab syar’i bahkan yang mengenakan niqab atau cadar, serta pria bercelana cingkrang.

“Social experiment ini salah satunya dengan tujuan menyatakan dan memberikan rasa aman bahwa teman-teman yang berniqab, bercadar, pakai celana cingkrang, nggak bisa dikaitkan dengan kasus-kasus yang sedang terjadi, nggak bisa kita generalisasi bahwa orang yang bercadar adalah orang yang ‘bermasalah’,” kata Zaki.

Setelah tragedi bom Surabaya, gadis bercadar Alifah Rafidah (21) misalnya sempat keluar rumah dan pergi ke kampusnya yaitu Universitas Negeri Surabaya untuk mengurus berkas skripsi. Ketika berkunjung ke perpustakaan, ia mengaku mendengar teriakan “Hati-hati… Itu ga bawa bom?” dari segerombolan mahasiswa yang tak ia kenal.

Kejadian serupa juga dialami pengguna cadar Linda Mangi (22). Meskipun tidak sampai diteriaki, Linda juga mendapatkan respons negatif dari masyarakat sekitar. “Pernah pas aku ke toko kue dilihatin banyak orang. Bahkan penjualnya juga terlihat was-was.”

Indadari Mindrayati (mantan istri Caisar Adithya) mengecam pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Riau belum lama ini, karena dalam Islam perbuatan itu haram. Dia mengaku terkena dampak buruk setelah kejadian tersebut, pasalnya pelaku bom bunuh diri diidentikkan dengan wanita bercadar. “Memang terasa sekali efeknya.”

“Namun kami berdoa semoga persoalan ini cepat selesai, karena kami yang bercadar tidak seperti itu. Mungkin sama-sama mengenakan cadar, tetapi yang melakukan kegiatan buruk kan mereka, bukan kami,” katanya sambil mengisahkan pandangan negatif yang dia rasakan tatkala sedang jalan ke mal, ditatap penuh curiga yang membuat dia merasa tidak nyaman.

“Orang melihat saya penuh curiga, takut rupanya. Namun saya sudah terbiasa dan mengucapkan salam kepada siapa saja. Bilang Assalamualaikum. Jadi, orang enggak akan takut lagi. Karena mereka mikirnya kami ramah dan masih suka bercanda,” ujarnya.

Hukum Memakai Cadar

Persoalan memakai cadar bagi perempuan sebenarnya merupakan masalah yang masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah.

Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

Sementara itu madzhab Maliki menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw). Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Jadi, persoalan hukum memakai cadar bagi wanita ternyata merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab Syafi’i sendiri yang dianut mayoritas orang NU terjadi perbedaan dalam menyikapinya.

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi juga sependapat bahwa pemakaian cadar masuk ranah khilafiyah. Pemakaian cadar bagi seorang muslimah sebagai syarat dan kewajiban untuk menutup aurat adalah masalah cabang dalam agama (furu’iyyat), yang dalam berbagai pendapat ulama tidak ditemukan adanya kesepahaman (mukhtalaf fihi).

“Karena masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama (khilafiyah), untuk hal tersebut hendaknya semua pihak dapat menerima perbedaan pandangan tersebut, sebagai khazanah pemikiran Islam yang dinamis dan menjadikan rahmat bagi umat Islam yang harus disyukuri, bukan justru diingkari,” kata Zainut.

Tentang pelarangan penggunaan cadar seperti yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang menuai pro dan kontra di masyarakat, Komnas HAM berpendapat harus ada keseimbangan hak asasi antara orang bercadar dengan lingkungan. Namun sejauh ini belum pernah ada aduan tentang pelanggaran hak azasi tersebut.

Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga mengatakan, pihaknya perlu mengkaji lebih dulu apakah larangan bercadar merupakan bentuk diskriminasi atau bukan. Sebab, cadar juga terkait kebebasan manusia dalam beribadah.

“Nah, pertanyaannya apakah memakai cadar itu bagian dari menjalankan agama? Jika bukan bagian tidak apa-apa dilarang. Apakah bercadar itu bagian dari hak azasi atau bukan, perlu kita kaji lebih jauh lagi. Hak asasi bisa dibatasi tapi harus ada aturannya. Bisa melalui undang-undang,” ujarnya.

Sementara itu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj tak mempermasalahkan penggunaan cadar bagi umat Islam perempuan, selama pengguna tak merasa paling benar dalam beragama. “Silakan bercadar, silakan berjenggot, asalkan jangan menganggap dirinya sudah paling Islam lah.”

Mahasiswi mengenakan cadar, kata Said, juga tak perlu dipersoalkan, apabila pengguna tidak menyebut orang lain kafir dan menganggap sesama Muslim menyembah Tuhan yang berbeda. “Yang penting iman, akhlak, moral dan hatinya, bukan hanya dilihat dari penampilannya,” tutur dia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan isu larangan penggunaan cadar mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai alat untuk saling mendiskreditkan dan menyalahkan antar kelompok pandangan keagamaan di masyarakat. “Hal itu dikhawatirkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam,” ujar Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid.

Dia menyebutkan, ada kesalahpahaman sementara pihak yang mengaitkan masalah radikalisme dengan pemakaian cadar, celana cingkrang (isybal), dan potongan jenggot seseorang. “Pandangan tersebu sangat tidak tepat, karena radikalisme itu tidak hanya diukur melalui simbol-simbol asesoris belaka, tetapi lebih pada pemahaman ajaran agamanya.”

Zainut menilai kurang tepat jika karena alasan ingin menangkal ajaran radikalisme di kampus kemudian melarang mahasiswi memakai cadar. “Saya khawatir setelah larangan itu kemudian disusul dengan larangan berikutnya yaitu mahasiswa tidak boleh memakai celana cingkrang dan berjenggot.”

Sementara Kapolres Bekasi Kombes Candra Kumara membantah telah memerintahkan jajarannya mewaspadai orang bercadar terkait terorisme. Candra menegaskan kewaspadaan perlu dilakukan tanpa melihat penampilan seseorang (bercadar). “Saya hanya katakan bahwa kita harus mewaspadai semua orang atau hal yang memang mencurigakan.”

Bagi wanita-wanita bercadar da pria bercelana cingkrang, sudah saatnya lebih terbuka pada lingkungan, bertegur sapa dengan tetangga, berbuat baik untuk sesama, jangan mengisolir dan berkelompok sendiri, untuk mengikis bahwa kelompok berniqab bukan muslim biasa. (A.RS1/P1)

Miraj Islamic News Agency/MINA

Wartawan: illa

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.