Menjadi Pribadi yang Pemaaf (Oleh: Bahron Ansori)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Manusia sebagai makhluk sosial, tak jarang melakukan kesalahan terhadap sesamanya. Kesalahan yang entah itu disengaja atau tidak, kadang membuat orang lain merasa terganggu. Sejatinya, dalam kehidupan seorang muslim yang berjiwa besar adalah mereka yang bisa dengan tulus memaafkan kesalahan orang lain.

Memaafkan kesalahan orang lain bukan hal mudah. Jika bukan karena keimanan yang terpatri kuat di dada, berat pasti terasa memaafkan orang lain yang sudah menyakiti hati. Karena memaafkan bukan hal gampang, maka orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain termasuk orang-orang yang terpuji dan berjiwa besar.

Keutamaan memaafkan

Sifat suka memaafkan sudah seharusnya dimiliki oleh setiap orang beriman. Sebab dengan sikap memaafkan itu, pertikaian bisa dihindari dan kedamaian bisa terwujud. Seorang muslim bukanlah orang yang berhati batu (keras), sebab dia sadar diri bahwa dalam kehidupan yang singkat ini dia pasti memerlukan orang lain; kapan dan di mana waktunya. Berikut ini adalah beberapa keutamaan memaafkan orang lain.

Pertama, dekat dengan takwa. Memaafkan orang lain merupakan sikap terpuji yang bisa mendekatkan seseorang pada takwa. Karena itu meskipun seseorang kecewa pada orang lain, misalnya seorang suami yang kecewa pada istri atau sebaliknya hingga menyebabkan perceraian, maka meski sudah bercerai dan keduanya saling memaafkan tentu itu lebih baik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Baqarah: 237).

Sifat memaafkan sifat orang yang bertakwa, seperti firman Allah Ta’ala ini,

 وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,” (Qs. Ali Imron: 133-134)

Kedua, memperoleh kemuliaan. Muslim mana yang tidak menginginkan kemuliaan? Kemuliaan manusia bukan terletak pada harta atau fisiknya, jabatan atau pengaruhnya, termasuk status sosialnya. Namun kemuliaan itu terletak pada akhlak mulia yang di antaranya adalah legowo memaafkan kesalahan orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عن رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زادَ اللهُ عَبْداً بعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً، وَمَا تَوَاضَعَ أحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. رواه مسلم وغيره

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya), kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).” (HR. Muslim).

Pernah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ditanya tentang akhlak suaminya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا صَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ

“Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji, tidak berteriak-teriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa; tetapi beliau memaafkan dan mengampuni kesalahan.”  (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi).

Ketiga, memperoleh pemeliharaan dan rahmat dari Allah Ta’ala. Begitulah keutamaan bagi orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Terkait dengan pemeliharaan dari Allah Ta’ala bagi orang yang gemar memaafkan kesalahan orang lain ini.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga hal jika dimiliki oleh seseorang, ia akan mendapatkan pemeliharaan Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan senantiasa memasukkannya ke dalam lingkungan hamba-hamba yang mendapat cinta-Nya, yaitu seseorang yang selalu bersyukur ketika Allah memberinya nikmat, seseorang yang mampu (meluapkan amarahnya) tetapi dia memberi maaf atas kesalahan orang, dan seseorang yang bila marah, dia menghentikan amarahnya.” (HR. Hakim)

Keempat, perkara yang diutamakan. Sebuah keutamaan dalam Islam memiliki keistimewaan tersendiri di hadapan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, setiap muslim harus berusaha memilikinya, dan salah satunya adalah keikhlasan hati untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ࣖ ﴿الشورى : ۴۳

“Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (Qs. Asy-Syura: 43)

Kelima, akhlak yang utama. Mempunyai akhlak yang mulia merupakan hal yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya ada bagian dari akhlak mulia yang utama, yakni memaafkan kesalahan orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Uqbah, maukah kamu kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Yaitu, menyambung silaturahim terhadap orang yang memutuskan hubungannya denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu, dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu.” (HR. Hakim).

Kesimpulannya, orang yang senang dan lapang dada untuk memaafkan kesalahan orang lain, maka hidupnya pun menjadi tenang, damai dan tidak sesak dada dan pikirannya. Sebaliknya, orang yang berat memaafkan kesalahan orang lain, padahal dia muslim, itu artinya sama saja dia menolak segala kebaikan dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah akan memelihara orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain?

Jika Allah Yang Maha memberi hidup dan kehidupan saja bermurah hati untuk memaafkan setiap kesalahan yang dilakukan hamba-Nya, masa kita sebagai manusia yang lemah saja tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Memangnya kita siapa? Sebegitu angkuhnyakah kita? Semoga Allah Ta’ala selalu menguatkan hati kita untuk berlapang dada dan memaafkan kesalahan orang lain, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)