Menulis Cara Abadikan Berbagai Ilmu

Oleh: , Aktivis Aqsa Working Grup (AWG)  Jawa Barat dan Asatidz di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kuttab Cimahi, Bandung

“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” ().

Kalimat kutipan di atas bukanlah tanpa dasar. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama besar dengan banyak sekali karya tulis, yang dengan karya tulis tersebut, beliau menebar banyak sekali manfaat.

Kitab-kitab beliau telah menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu di seluruh dunia. Dari semasa beliau hidup hingga hari ini, dan mungkin akan terus berlanjut hingga ribuan tahun ke depan.

Kitab yang paling terkenal tentu Ihya Ulumuddin. Kitab lainnya, di antaranya: Bidayatul Hidayah, Minhajul Abidin, Al-Arba’in fi Ushuluddin, Mizan al-‘Ama, Al-Risalah Al-Qudsiyyah, Kimiya as-Sa’adah, Tarbiyatul Aulad fi Islam, dsb.

Kalau begitu, berarti itu penting ya? Mengapa? Ya, karena dengan menulis kita bisa mengabadikan berbagai ilmu yang telah kita serap. Dengan menulis kita juga bisa menyampaikan berbagai hal melintasi ruang dan waktu. Dengan menulis pula, kita bisa mendakwahkan agama Islam sebagai rahmatal lil ‘alamiin.

Selain itu, dengan menulis, kita bisa memperluas wawasan keilmuan. Dengan menulis, seseorang bisa meluruskan sejarah. Dan dengan menulis, seseorang bisa membengkokkan sejarah untuk kepentingan pribadi.

Seorang penulis Britania Raya, Edward Bulwer-Lytton mengatakan bahwa “pena lebih tajam daripada pedang.”

Pedang hanya bisa menembus satu tubuh, namun sebuah pena bisa menebas puluhan, bahkan ratusan kepala. Dalam artian, sebuah tulisan yang dalam dan bermakna bisa menebarkan manfaat yang sangat luas. Tulisan yang dibuat hari ini bisa bermanfaat hingga besok. Tulisan yang dibuat di sebuah tempat terpencil bisa menyabar ke seluruh dunia. Terlebih pada era digital online saat ini dan mendatang.

Hasil tulisan yang bagus bisa bertahan selama puluhan tahun. Karya tulis yang bermanfaat bisa hidup berabad-abad.

Contoh ulama besat lain selain Imam Al-Ghazali yang gemar mneulis, adalah Imam Malik. Beliau menulis sepanjang hidupnya selama 40 tahun. Dan nama beliau masih kita dengar sampai sekarang.

Beberapa karya beliau antara lain : Tafsir li Gharib Al-Quran,  Kitab An-Nujum, Risalah fi Al-Aqdhiyah, Kitab Syiar, Kitab Al-Manasik, dan yang terkenal tentu Kitab Al-Muwaththa’

Ulama terkemuka lainnya, Imam Asy-Syaii, yang paling banyak dijadikan anutan madzhab bagi masyarakat Muslim Indonesia, dalam kesehariannya, beliau antara lain membagi waktu malamnya menjadi 3 bagian: menulis, shalat malam, dan tidur.

Ini menandakan bahwa menulis itu sangat penting sampai-sampai beliau sandingkan dengan ibadah dan istirahat yang menjadi kebutuhan setiap manusia.

Cara Bersyukur

Dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan, ketika menjelaskan Surat Al-‘Alaq ayat 4, bahwa orang pertama yang menulis menggunakan pena adala Nabi Idris ‘Alaihi Salam.

Pada ayat kelima Surat Al-‘Alaq dijelaskan bahwa Allah mengajarkan hal-hal yang belum diketahui manusia dengan hidayah dan tulisan. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas tulis-menulis adalah satu hal yang penting karena dengan tulisan pun Allah menyampaikan hidayah, yaitu ayat-ayat qouliyyah seperti Taurat, Injil, Zabur, dan Al Quran.

Menulis juga merupakan cara kita bersyukur atas nikmat tubuh, akal, dan ilmu yang Allah berikan kepada kita. Bahkan dalam mukadimah kitab Aqidatul Awwam, syaikh Ahmad Marzuqi bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk menulis oleh Allah.

Ada sebuah kisah dalam sebuah riwayat, ketika Imam Muhammad bin Suhnun sangat menyukai hingga melupakan makan malamnya. Beliau mempunyai seorang budak bernama Ummu Mudam. Pada suatu malam selepas shalat Isya, Imam Muhammad bin Suhnun menulis di dalam kamarnya sedangkan makan malam sudah siap.

Ummu Mudam pun mengetuk pintu kamar beliau, beliau berkata untuk menunda makan malam dikarenakan beliau sedang menulis. Maka Ummu Mudam pun menunggu. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu hingga tibalah waktu tengah malam.

Akhirnya Ummu Mudam pun memberanikan diri untuk masuk ke kamar beliau dan menyuapi makan malam kepada beliau. Waktu subuh pun tiba, Imam Muhammad bin Suhnun keluar dari kamarnya dan berkata kepada Ummu Mudam, “maafkan aku Ummu Mudam, aku terlalu sibuk menulis sehingga mengabaikanmu, sekarang dimanakah makan malam yang telah engkau sediakan?”

Dengan kebingungan, Ummu Mudam menjawab, “demi Allah ya Syaikh, aku sudah menyuapkannya kepadamu sejak tadi malam.” Imam Muhammad bin Suhnun pun sama bingungnya, beliau tidak merasakan apa-apa karena fokus menulis ilmu-ilmu yang beliau pelajari.

Dari kisah tersebut bisa disimpulkan bahwa tanda seorang mencintai ilmu adalah dengan menulis.

Lalu, apa yang harus kita tulis? Dari mana kita harus mulai menulis? Tentu saja hal yang bermanfaat. Cakupan hal yang bisa kita tulis sangatlah luas. Dalam keseharian, kita menjumpai banyak sekali hal yang baik dan bermanfaat. Dan semua itu bisa menjadi tulisan.

Contohnya bagaimana cara makan yang dicontohkan Rasulullah dan manfaatnya terhadap kesehatan, bagaimana kebersihan pribadi berefek pada perilaku keseharian, bahkan menulis tentang kemuliaan Masjidil Aqsa dan pentingnya berjuang membelanya.

Menulis juga berarti mengabadikan diri dalam sejarah. Dengan tulisan yang kita buat, nama kita akan terus terkenang setelah kita meninggal. Hal ini sudah dibuktikan oleh banyak sekali tokoh-tokoh besar. Seperti para ahli hikmah, ahli ilmu, ahli ibadah, ulama-ulama salaf, bahkan tokoh-tokoh politik seperti Presiden RI Pertama, Soekarno.

Anda seorang murid? Tulislah ilmu yang anda pelajari. Anda seorang guru? Tulislah ilmu yang ingin anda sebarkan. Anda seorang pedagang? Tulislah tentang berkahnya harta yang halal. Anda seorang da’i? Tulislah tentang islam rahmatal lil ‘alamin. Anda seorang mujahid Al-Aqsa? Tulislah tentang pentingnya membela Al-Aqsa.

Tunggu apa lagi? Mari kita luangkan waktu kita untuk menulis. Dimulai dari diri sendiri untuk menyebar manfaat bagi seluruh dunia.

Semoga dengan tulisan ini, setiap dari kita tergerak dan semangat untuk mulai menulis menyebarkan manfaat dan mengabadikan diri dalam sejarah. (A/Usm/RS2/)

Mi’raj News Agency (MINA)