Jakarta, 26 Jumadil Akhir 1436/16 Februari 2015 (MINA) – Lembaga medis kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) di Jakarta kembali mengirim tim relawannya ke Myanmar untuk kedua kalinya, Senin (16/2).
Sebelumnya, pada September 2012, MER-C mengirimkan lima relawannya pertama kali ke Myanmar selama lima hari.
Kali ini, tim beranggotakan tujuh relawan medis tersebut akan bertolak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 13.00 WIB menuju Bangkok, Thailand, yang kemudian melanjutkan ke Yangon, ibukota Myanmar. Berikut wawancara wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rudi Hendrik, dengan Ketua Divisi Relawan MER-C, Tonggo Meaty Fransisca, di kantor MER-C Jakarta, Senin 16 Februari 2015.
Dokter Mea – panggilan akrab untuk Tonggo Meaty – adalah dokter yang sudah pernah masuk ke berbagai daerah konflik dan bencana dalam dan luar negeri.
Mi’raj: Bisa ceritakan sekilas tentang misi pertama MER-C ke Myanmar?
Dokter Mea: Misi pertama ke Myanmar pada September 2012, awalnya hanya berencana assessment (peninjauan), karena sejak awal kami diberitaku tidak akan bisa buka pengobatan atau interaksi dengan masyarakat. Jika pun nanti bisa melakukan pengobatan, syukur alhamdulillah. Tapi ternyata, ketika sampai di sana, kita dapat ‘bonus’ dari Allah, kita bisa langsung buka pengobatan.
Kami di sana lima hari dengan lima personil. Adapun sekarang selama sepekan dengan tujuh personil.
Mi’raj: Apa misi utama keberangkatan kedua ini?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Dokter Mea: Tujuan utama misi kedua ini tetap pengobatan, tetapi akan lebih condong bisa mendirikan selter pengobatan, atau semacam bangunan fisik di tempat itu. Jadi, bisa bangunan fisiknya dulu, lalu peralatan bisa menyusul belakangan.
Jelasnya bangunan medis seperti klinik, karena MER-C latar belakangnya adalah medis. Jika untuk mushallah atau yang lainnya, mungkin kami masih harus pikir-pikir, karena di daerah sana untuk hal yang berbau agama cukup sensitif.
Kita akan mengambil sikap netral, bukan hanya di kamp etnis Muslim Rohingya saja kita coba akan bangun, tapi di sisi pihak Budha juga.
Mudah-mudahan MoU-nya bisa terwujud di misi ini.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Mi’raj: Untuk mewujudkan rencana ini, apakah hal yang mudah atau sulit?
Dokter Mea: Jika kami melihat dari misi di tahun 2012, memang sulit. Ketika untuk membuka pengobatan saja katanya sulit, tapi Alhamdulillah bisa, kenapa ini tidak bisa? Kami akan ngotot.
Mi’raj: Tekhnis di selama di Myanmar sendiri seperti apa?
Dokter Mea: Kami akan berada di Yangon (ibukota Myanmar) lebih lama, karena kami dapat travel permit (izin perjalanan) langsung dari Presiden Myanmar. Untuk di Myanmar (Naypyidaw) sendiri tidak masalah, tapi untuk ke Sittwe (ibukota Provinsi Rakhine), harus ada izin khusus lagi terkait daerah-daerah yang ada konfliknya. Kita menunggu izin travel permit selama enam bulan.
Nanti kami beberapa hari di Yangon, lalu ke Sittwe, kemudian ke Yangon lagi. Di Yangon kami akan membuat lobi yang kuat dengan KBRI dan pihak pemerintah terkait. Bersama NGO-NGO lokal kita akan coba buat perjanjian kerjasama, agar klinik itu bisa terbangun di sana.
Mi’raj: Kira-kira apa hambatan-hambatan yang akan dialami di Myanmar?
Dokter Mea: Yang pasti hambatan dari pemerintah terkait sendiri. Menurut saya, mungkin ketakutan-ketakutan itu wajar bagi mereka. Sebab mereka berpikir “Akan ada berita apa lagi?” yang menyudutkan mereka sendiri. Jika bisa, media juga harus memilah-milah membuat berita, agar kita bisa memberikan bantuan dengan aman. Pemerintah Myanmar juga khawatir jika ada susupan-susupan yang ternyata justeru membuat kacau.
Sebenarnya kita diterima, tapi pemerintah di sana terlalu curiga. Nah, nanti kami akan mencoba menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan itu dengan berbagai cara kami melobinya.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
Jika di Palestina atau Gaza, kita sudah tahu, sudah fokus. Yang terjadi di Myanmar adalah konflik antara miniritas Muslim Rohingya dan kaum Budha. Kita harus masuk kepada masyarakat di sana melalui penguasa dahulu. Berbeda dengan di Gaza, kita bisa langsung masuk, tinggal izinnya saja. Jika sudah masuk, kita bisa berbaur dengan masyarakat.
Sedangkan di Myanmar, masyarakatnya terpencil, di luarnya itu besar, kita harus menembus itu, itu yang agak sulit di Rohingya.
Mi’raj: Bekal apa yang diberikan kepada para relawan menghadapi pemerintahan yang seperti ini?
Dokter Mea: Sikap para relawan dituntut untuk ekstra hati-hati. Kita menyiapkan persiapan yang sangat matang. Berbeda dengan tahun 2012 yang hanya assessment (meninjau). Kita masuk karena melihat PMI (Palang Merah Indonesia) yang sudah masuk. Tapi karena kali ini membawa misi yang lebih besar, dan mengingat pada misi yang pertama terlihat begitu curiganya pemerintah, jadi kami harus dengan matang menyiapkan.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Kita harus memiliki plan A, plan B dan C. Jika plan A tidak bisa, ada planning B dan C. Bahkan bisa kembali lagi ke planning A.
Kita juga harus menekankan, kita ini posisinya ada di tengah-tengah, kita independen, kita netral. Jadi misi kemanusiaan kita bukan hanya untuk Rohingya. Kita untuk kedua belah pihak. Kita datang ke sini (Myanmar) membawa persahabatan. Jika di sini sedang ada kesulitan, kenapa tidak kita bantu untuk meringankan juga negara Myanmar.
Mi’raj: Ada beberapa relawan yang berjilbab, apakah ini tidak menjadi halangan?
Dokter Mea: Tidak, insya Allah tidak. Makanya, kami sudah tekankan kepada setiap anggota tim, sikap kita, perilaku kita, bahasa tubuh kita harus dijaga, jangan sampai terlihat kita datang sebagai ini sebagai itu, atau sebagai orang yang untuk satu kubu saja, tidak.
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Kita harus tunjukkan, kunjungan kita benar-benar kunjungan persahabatan yang untuk membantu sahabat. Jadi memang sudah kami persiapkan matang. Mohon doanya dari rekan-rekan.
Mi’raj: Apa efek positifnya bagi MER-C jika misi di Myanmar berhasil?
Dokter Mea: Jika target ini berhasil, kami ingin menunjukkan MER-C benar-benar lembaga yang independen, yang tidak merujuk kepada satu pihak saja, tapi kepada kedua pihak yang benar-banar membutuhkan.
Mi’raj: Peran pemerintah sendiri?
Dokter Mea: Sebelumnya, kami juga bertemu dengan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK). JK dulu juga pernah masuk. Jadi mereka sangat antusias. Ketika kami bertemu, dia mengatakan “kita akan membantu nanti”.
JK sempat mengatakan tidak akan bisa membuka selter di sana, tapi dia sempat kaget ketika kami memberitahu MER-C sudah masuk memberi pengobatan. Kami tanya, “Jika nanti bisa bagaimana, Pak?”
Beliau mengatakan “Nanti kami akan bantu”. Jika nanti ini berhasil, maka akan kami tagih janji wapres tersebut. (L/P001/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)