Muslim Dari Tujuh Negara Dilarang Masuk AS

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Lima penumpang asal Irak dan seorang warga negara Yaman hari Sabtu (28/1) dicegah untuk melakukan penerbangan dari bandara di Kairo ke New York. Menurut maskapai penerbangan Belanda KLM, perjalanan orang-orang yang telah memiliki tiket pesawat ke Amerika Serikat (AS) itu dibatalkan karena mereka tak akan diterima lagi di negara Paman Sam.

Pembatalan penerbangan warga negara Timur Tengah itu merupakan implementasi dari perintah  Eksekutif Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang ditetapkan Jumat (27/1) waktu setempat, untuk membatasi laju pengungsi dari sejumlah negara Islam ke AS.

Berdasarkan informasi yang dilansir CNN, pejabat Gedung Putih menyebutkan, warga dari tujuh negara yang terdampak kebijakan Presiden Trump adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Yaman, dan Somalia.

Penangguhan bagi pengungsi khusus dari wilayah perang di Suriah dilakukan tanpa batas waktu. Secara umum, program pengungsian itu ditangguhkan selama 120 hari, sejalan dengan upaya pemerintah AS merinci daftar negara-negara berisiko rendah. Semua aplikasi visa dari negara-negara dengan ancaman terorisme akan dihentikan hingga 30 hari ke depan.

Sementara itu, Pentagon akan diberi waktu 90 hari untuk menyusun rencana dalam mendirikan “zona aman” di atau dekat Suriah, tempat para pengungsi dari perang saudara itu bisa berlindung.

Trump yang kerap menjanjikan langkah-langkah pemeriksaan ketat bagi imigran selama masa kampanye pemilu AS yang lalu, mengaku kebijakan ini diambil demi mencegah masuknya  kelompok militan ke AS. “Saya membangun langkah-langkah pemeriksaan baru untuk menjaga para teroris tak masuk ke AS. Kami tak ingin mereka di sini.”

Perwakilan Partai Republik Michael McCaul, yang menjabat sebagai Ketua House Homeland Security Committee, menjelaskan kepada CNN tentang perintah yang mencakup  penghentian pemberian aplikasi visa selama 30 hari, bagi warga dari tujuh negara itu. Terkait larangan tersebut, Presiden Trump sebelumnya sempat menggelar wawancara dengan ABC News, Rabu (25/1) malam.

Dalam salah satu bagian wawancara itu, Trump mengaku, rencananya untuk membatasi warga Muslim masuk ke AS merupakan hal yang penting, sebab, dunia saat ini berada dalam kondisi yang sangat kacau.

“Ini bukan untuk mengisolasi Muslim. Namun, negara-negara tersebut mempunyai potensi teror yang luar biasa,” kata Trump, seperti dikutip AFP. “Oleh karena itu, warga dari negara-negara  yang hendak masuk ke AS ini, menyebabkan kami juga menjadi terancam teror.”

Dia juga menilai Eropa telah membuat kesalahan besar dengan mengizinkan jutaan pengungsi masuk ke negara mereka. Misalnya, Jerman dan sejumlah negara lain di Eropa. Trump lantas menggambarkan kondisi itu sebagai bencana.

Dunia marah

Kebijakan larangan Muslim masuk ke AS tersebut menimbulkan tanda tanya, apakah Trump tidak takut memicu kemarahan umat Muslim di seluruh dunia?  “Marah? Saat ini saja sudah ada banyak kemarahan. Bagaimana Anda bisa tahu itu bertambah?” jawab Presiden Amerika.

Trump berjanji akan menegakkan kebijakan keras untuk mereka yang mencoba masuk ke AS dari negara-negara tertentu. “Saya maksudkan, langkah yang ekstrem. “Kami tak akan membiarkan orang masuk ke AS jika kami pikir orang itu hanya melahirkan masalah di sini.”

Namun, 300 pegunjuk rasa berkumpul di Bandar Udara Internasional Los Angeles (LAX) pada Sabtu (28/1) malam untuk menunjukkan solidaritas kepada pengungsi dan migran Muslim yang ditahan berdasarkan instruksi “melarang Muslim” dari Presiden AS Donald Trump.

Sambil meneriakkan “Trump harus pergi”, “Tidak Trump, Tidak KKK, Tidak Ada Fasisme di USA”, dan slogan lain, kerumunan orang itu menyeru rakyat agar membangkang terhadap perintah Trump yang ditetapkan Jumat (27/1), yang memberlakukan larangan bepergian 90 hari ke negeri itu bagi warga negara tujuh negara dan pembekuan 120 hari program pengungsi AS.

Tuntutan pemrotes juga disampaikan oleh Wali Kota Los Angeles Eric Garcetti, yang pada Sabtu malam melalui akun twitter miliknya bercuit, “Los Angeles akan selalu menjadi tempat buat pengungsi.” Acara menyalakan lilin dan protes dijadwalkan diselenggarakan Ahad (29/1).

Larangan perjalanan oleh Trump – “Melarang Muslim”  telah menyulut kebingungan dan kekacauan di seluruh negeri itu sekaligus memicu keprihatinan serta kecaman dari seluruh belahan dunia. Protes serupa merebak di bandara kota-kota besar lain. Di Chicago1ebih dari 1.000 orang berkumpul di Bandara OHare. Di Denver, Colorado, puluhan pemrotes berkumpul di luar bandar udara internasional untuk memperlihatkan dukungan bagi pengungsi.

Aksi itu adalah akhir pekan kedua demonstrasi di Los Angeles setelah Trump diambil sumpahnya menjadi Presiden AS menggantikan Barrack Obama pada 20 Januari 2017. Akhir pekan lalu lebih dari satu juta orang hadir untuk mengikuti kegiatan Womens March.

Ratusan umat muslim juga berkumpul untuk memprotes larangan tersebut. Di Washington Square Park, mereka berunjuk rasa dengan mengusung sejumlah poster bertuliskan, “Tidak Ada Manusia yang Ilegal” dan “Setiap Muslim yang Saya Tahu Adalah Warga Amerika yang Lebih Baik Dibanding Donald Trump.”

“Tidak ada dinding, tidak ada tembok. Ini New York kami,” teriak mereka dalam aksi unjukrasa yang digelar oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR). Menurut Nihad Awad, Direktur Eksekutif Nasional CAIR, perintah eksekutif Trump mempertegas Islamofobia dan kebijakan yang sangat tidak mencerminkan Amerika.

“Larangan ini tidak membuat negara kita menjadi lebih aman. Sebaliknya, berfungsi untuk menstigmatisasi pengungsi Muslim dan komunitas Muslim Amerika secara keseluruhan. Ini akan memberikan musuh kita alat propaganda untuk mempromosikan narasi palsu tentang Amerika yang memerangi Islam,” kata Nihad.

Dukungan New York 

New York merupakan salah satu kota di  AS yang telah berjanji tidak akan bekerja sama dengan pihak imigrasi federal. Trump dikabarkan akan membatalkan dana federal yang berujung pada terancamnya nasib ribuan keluarga imigran. Sekitar 40 persen dari penduduk di New York merupakan warga pendatang.

Pengawas kota New York yang juga politisi asal Partai Demokrat menilai kebijakan Trump untuk membatalkan dana federal senilai US$ 7 miliar itu akan berisiko pada sejumlah sektor termasuk kontraterorisme. “Kota ini adalah dan akan selalu menjadi tempat suaka,” kata Stringer yang juga berpartisipasi dalam aksi damai itu.

Direktur eksekutif dari Koalisi Imigrasi New York, Steven Choi juga angkat suara. Ia menilai perintah eksekutif Trump itu merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai dasar Amerika, yakni ‘kehormatan, kebebasan, dan keadilan’. “Dia telah membuat pilihan yang jelas untuk mengubah retorika penuh kebencian dalam kampanyenya menjadi nyata….”

Perlawanan juga dilakukan oleh Gubernur New York Andrew Cuomo. Seperti dilansir USA Today, Ahad (29/1), dia berkicau di akun Twitter-nya akan memberikan bantuan kepada warga dari tujuh negara itu, yang kini tertahan di bandara JFK. “Saya memerintahkan otoritas bandara, @NYSDOS, dan badan konsultasi untuk bergabung memberikan bantuan hukum bagi siapapun yang ditahan di bandara NY.”

Kicauan Cuomo merupakan kelanjutan dari pernyataan resminya yang menolak perintah Trump agar Amerika menutup pintu bagi warga dari negara Muslim. “Saya tidak mengira akan menyaksikan hari di mana pengungsi, yang lari dari perang untuk mencari kehidupan lebih baik, akan diusir dari depan pintu kita. Kita adalah negara jembatan, bukan tembok.”

Protes terhadap perintah Trump juga dilakukan Jaksa Agung New York Eric Schneiderman melalui akun Twitter-nya. “Diskriminasi terhadap pengungsi berdasar agama bukanlah Amerika. Ini adalah hari gelap Amerika seperti saat mengusir Yahudi Jerman pada 1939.”

Adalah bekas Menlu AS, Madeleine Albright yang juga murka mendengar kabar Presiden  Trump menerapkan pembatasan kedatangan orang-orang dari Timur Tengah ke AS. Demi alasan solidaritas kemanusiaan Albright mengaku siap bergabung bersama kaum Muslim.

Albright menulis rasa geramnya terhadap sikap Trump itu melalui akun Twitter, Rabu (25/1). “Saya tumbuh sebagai orang Katolik, menjadi anggota gereja Episkola meskipun dari keluarga Yahudi. Saya siap bergabung bersama kaum muslim di #solidarity.”

Albright, seorang imigran lahir di Cekoslowakia pada 1937, namun pada usia dua tahun dia diboyong keluarganya ke AS setelah negerinya diduduki Nazi Jerman. Dalam cuitannya, dia  menyertakan foto patung Liberty disertai tulisan, “Bangsa Amerika harus terbuka kepada seluruh umat manusia berlainan iman dan latar belakang.”

Albright tidak sendiri dalam memproklamirkan diri mendaftar bersama umat Muslim lainnya memprotes kebijakan Presiden Trump. Ikon kaum feminis, Gloria Stelnem, juga siap bergabung bersama kaum Muslim jika Presiden Trump melarang kaum Muslim masuk Amerika. Juga
aktris Mayim Blalik di akun Twitter menulis, “Saya Yahudi. Saya siap mendaftar sebagai seorang Muslim dalam aksi #solidarity jika diperlukan.” (RS1/P1)

Miraj Islamic News Agency/MINA

Wartawan: illa

Editor: Ismet Rauf