Muslimah Denmark Dirikan Partai Melawan Islamofobia

sedang dalam perjalanan meninggalkan tempat kerjanya suatu malam ketika dia melihat kampanye baru Partai Rakyat Denmark.

Partai sayap kanan itu telah memasang plakat di sekitar Kopenhagen, bertuliskan, “Tanggalkan jilbabmu. Bergabunglah dengan masyarakat Denmark.”

 Al Jazeera,  memberitakan Jumat (8/3), Bendali menjadi seorang wanita Muslim yang memilih untuk memakai kerudung. Ia merespons kampanye rasisme partai sayap kanan itu dengan memutuskan untuk mengekspresikan kemarahannya secara online dalam sebuah video yang ditonton 350.000 kali.

Bendali adalah seorang bidan, ibu dari lima anak, dan bercerai.

Dia memutuskan untuk masuk politik beberapa tahun yang lalu untuk mendukung suara umat Islam di komunitasnya.

“Kami merasakan diskriminasi semakin meningkat,” kata Bendali. “Wanita Muslim dicerca hanya karena mengenakan kerudung.”

Sejak 2015 dan pembentukan pemerintahan koalisi dengan sayap kanan, partai-partai di seluruh spektrum politik di Denmark telah bergeser ke kanan, yang mengarah ke peningkatan yang mengkhawatirkan terkait sentimen anti-Muslim dan antimigran.

Pemerintah memperkenalkan undang-undang yang membolehkan untuk menyita barang-barang migran yang masuk ke negara itu pada 2016.

Mereka menetapkan hukum pidana yang lebih ketat untuk orang yang tinggal di “ghetto” – distrik yang lebih miskin di Denmark, dan memberlakukan kelas Denmark pada anak-anak di sana, tempat mereka diajari “nilai-nilai” Denmark.

Pemerintah juga memilih untuk mengirim pencari suaka yang ditolak ke pulau terpencil di lepas pantai Denmark.

Mereka memberlakukan larangan jilbab secara nasional tahun lalu dan serangkaian hukum setempat menghentikan pembangunan masjid, memaksa kantin sekolah untuk menyajikan daging babi dan membatasi perempuan Muslim menggunakan pemandian umum, yang semuanya telah mengubah negara itu menjadi salah satu yang paling tidak ramah bagi para migran dan Muslim.

Namun terlepas dari tren yang meningkat ini, beberapa wanita, termasuk Noura Bendali, telah memutuskan untuk bergabung dengan politik dan berbicara untuk toleransi dan inklusi, muncul di TV, Facebook, pertunjukan dan di sekitar tetangga mereka untuk mempromosikan masyarakat yang terbuka dan melawan gelombang Islamofobia yang telah mencengkeram negara.

Bendali, yang lahir di Maroko dari pemilik restoran kaya di Fez, pindah ke Denmark pada 1970-an ketika kebutuhan akan pekerja asing membuatnya menarik bagi keluarga untuk mencoba keberuntungan mereka di negara Nordik tersebut.

Dibesarkan di sekolah Perancis dengan anak-anak diplomat, ia belajar kebidanan dan menjadi bidan pertama yang mengenakan jilbab di rumah sakit Kopenhagen pada 2000. Dia bekerja sebagai bidan sejak saat itu.

Ia mendirikan “Partai Nasional” untuk menyoroti pentingnya merangkul semua spektrum atau lapisan masyarakat Denmark.

“Kita dilahirkan sederajat. Saya ingin rasa hormat itu kembali,” kata Bendali.

Sekitar lima persen populasi Denmark adalah Muslim dan suasana di negara itu telah berubah dalam beberapa tahun terakhir.

Kejahatan terhadap Muslim telah meningkat, menurut sebuah studi oleh think tank Turki, SETA.

Ada juga kasus-kasus wanita yang diserang karena memakai hijab, orang-orang berusaha merobeknya.

Bagi Bashy Quraishy, ​​aktivis lokal dan mantan ketua asosiasi antirasisme Eropa, ENAR, Islamophobia telah berkembang mana-mana.

“Masyarakat demokratis ini, pernah menjadi suara utama di Eropa melawan apartheid, lebih dari 50 tahun telah menjadi salah satu yang paling antiminoritas, negara anti-Islam di Eropa,” kata Quraishy.

Orang-orang Denmark menjadi semakin dipertentangkan oleh berita-berita di media dan politik yang menggambarkan kaum Muslim secara negatif.

“Kami terjebak dalam narasi populis,” kata dia.

Tetapi wanita seperti Bendali telah berusaha mengubah narasi itu.

Tahun lalu, ia menghadapi Menteri Integrasi Inger Stojberg dalam debat nasional mengenai usulannya untuk melarang orang Muslim bekerja selama Ramadhan, mengatakan puasa dan bekerja pada saat yang sama merupakan risiko bagi masyarakat.

Bendali mengatakan kepadanya bahwa dia telah bekerja seumur hidupnya dan melakukan puasa Ramadhan tidak pernah mengganggunya.

“Aku melakukan semua yang dilakukan semua orang Denmark. Aku tidak berbahaya,” ujar Bendali.

Tetapi dia telah menerima ancaman pembunuhan, dengan orang-orang menyebut dia seorang “teroris” dan mengancam anak-anaknya.

Dia baru-baru ini diwawancarai oleh Ellie Jokar, seorang pelawak dan aktris kelahiran Iran. Wawancaranya dengan Bendali mendapatkan lebih dari 9.000 penonton di YouTube.

“Denmark dulu tempat yang aman,” kata Jokar, “sekarang, aku diperlakukan berbeda.”

Bagi Bendali, masalah rasisme menjadi sangat mendalam ketika putrinya yang berusia 12 tahun pulang sembari menangis setelah latihan bola tangan.

Setelah melakukan kontak dengan pemain di lapangan, ibu anak lain menghardik anak Bendali dengan kata-kata “babi hitam gemuk.”

“Mereka menghina anak perempuan saya di jalan,” kata Bendali. “Ketika saya masih kecil saya tidak pernah merasakan kebencian ini, rasisme ini yang dapat Anda rasakan hari ini di Denmark.

“Aku ingin anak-anakku merasa ini adalah negara mereka juga.” (A/R11/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.