PANJAT PINANG, LOMBA TAK MANUSIAWI, TRADISI PENJAJAH

Tradisi Panjat pinang dalam rangka merayakn HUT RI
Tradisi dalam rangka merayakn HUT RI

Setiap momen proklamasi 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakannya dengan berbagai macam acara dan perlombaan. Mulai dari lomba yang serius sampai dengan yang bernuansa hiburan. Namun ada sebuah lomba yang menurut penulis termasuk yang tidak manusiawi dan bahkan melanggar nilai nilai .

Ya, lomba panjat pinang merupakan salah satu cabang lomba yang penulis kategorikan sebagai sesuatu yang tidak menjunjung nilai nilai kemanusian, apalagi kita sebagai orang Indonesia yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Sebaiknya, momen peringatan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dilakukan dengan menyelenggarakan lomba semacam ini karena dapat merusak makna dari proklamasi itu sendiri.

Berikut adalah beberapa alasan penulis mengapa olah raga tersebut dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak manusiawi dan merupakan warisan penjajah.

Sejarah Panjat Pinang

Dari penelusuran penulis, olah raga panjat pinang bukan merupakan budaya asli rakyat Indonesia. Bahkan, jika menelisik lewat internet, ditemukan beberapa literatur dan keterangan dari berbagai sumber. Wikipedia, contohnya, mengungkap bahwa sejarah panjat pinang berasal dari zaman penjajahan Belanda.

Konon, permainan ini datang sebelum Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1930-an. Dikatakan, bahwa permainan ini digelar oleh orang Belanda saat mereka sedang melangsungkan acara, seperti pernikahan, ulang tahun, dan lainnya.

Peserta panjat pinang hanya akan dilakukan oleh masyarakat pribumi. Hadiah yang digantungkan di pucuk tiang adalah bahan-bahan makanan atau pakaian. Maklum, pada masa itu bahan-bahan seperti itu sangat sulit didapatkan.

Permainan ini digelar sebagai tontonan atau hiburan para masyarakat Belanda. Kelicinan dan kesulitan untuk mencapai puncak, jatuhnya peserta yang mencoba mencapai puncak menjadi hiburan tersendiri.

Baca Juga:  Tanda-Tanda Israel Kiamat!

Ada pula literatur lain yang mengatakan, panjat pinang datang dari kebudayaan Asia, tepatnya masyarakat Cina dan Taiwan (Suara Baru, 2005).

Diperkirakan, permainan panjat pinang berasal dari kebudayaan Festival Hantu, dari masyarakat keturunan Cina di daerah Bogor.

Festival Hantu biasa dilakukan di sekitaran kelenteng. Masyarakat biasa menyaksikan pertunjukkan wayang golek dari Fukien. Di depan kelenteng biasa dipasang pohon pinang yang di ujungnya ditancapkan bendera. Batang pohon dilumuri minyak pelicin.

Kelompok-kelompok pemuda bertanding merebut bendera di atas. Yang berhasil mendapat bendera di atas itu menjadi pemenangnya. Setelah ada pemenang, hadiah-hadiah berupa sumbangan berupa buku, beras, minyak, hewan ternak dari pedagang setempat akan dibagikan kepada rakyat.

Ada pula yang mencatat bahwa permainan panjat pinang populer di sekitaran wilayah Tiongkok Selatan (Fujian, Guangdong, dan Taiwan), karena di wilayah beriklim sub-tropis ini memungkinkan pinang atau kelapa tumbuh baik.

Permainan ini juga digunakan pada acara Festival Hantu, disebut qiang-gu. Permainan ini sempat dihentikan karena sering menimbulkan korban. Namun, dipraktekkan kembali pada masa penjajahan Jepang di Taiwan. Tata caranya serupa, tetapi mereka diminta untuk mengambil bendera berwarna merah, bukan hadiah dari puncak pohon pinang.

Demi Hadiah, Rela Saling Injak

Lihatlah bagaimana para peserta terobsesi mendapatkan hadiah yang harganya tidak seberapa, namun mereka rela menginjak kepala temannya. Tidak sedikit dari peserta yang kemudian mengalami cedera dan terluka akibat kelelahan atau terinjak teman satu grup.

Di jaman penjajahan, saling injak memang menjadi tradisi mereka. Perilaku semena-mena dan bahagia melihat orang lain menderita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian mereka.

Lihatlah lomba tersebut, para peserta tanpa rasa iba menginjak tubuh dan bahkan kepala teman satu grupnya. Jika mereka gagal sampai puncak dan jatuh, para penonton bertepuk tangan riang gembira, seakan akan penderitaan para peserta lomba merupakan kebahagiaan bagi para penontonnya. Sungguh, hal ini sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam semangat proklamasi kemerdekaan itu sendiri.

Baca Juga:  Politik dan Pendidikan Islam

Beberapa memberitakan, pada peringatan Agustusan tahun 2014 lalu, lomba panjat pinang di Kabupaten Batanghari, Jambi menelan korban. Satu dari 69 batang pinang yang disiapkan panitia mendadak roboh saat dipanjat. Saksi mengatakan peristiwa robohnya pohon pinang terjadi sekitar pukul 16.30. Saat itu, terlihat ada beberapa korban yang dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan ambulans.

Di Belawan, Medan, lomba panjat pinang memakan korban jiwa. Indra Syahputera (21) warga Lorong Amal Lingkungan 30 Jalan Taman Makam Pahlawan tewas setelah dirawat di rumah sakit akibat terjatuh saat ikut lomba memanjat pohon pinang.
Dari Informasi yang korban yang merupakan siswa kelas III SMK Perguruan Yaspi Medan Labuhan itu ikut berlomba memanjat pinang yang diadakan di kawasan tempat tinggalnya. Korban terjatuh dari ketinggian 10 meter dengan posisi kepala di bawah, sehingga kepalanya membentur tanah. Korban pun kritis dan segera dilarikan ke RS Imelda Medan. Namun dua hari setelah mendapat perawatan, korban menghembuskan nafas terakhir.

Sejarawan yang juga pendiri Komunitas Historia Asep Kambali, mengusulkan perlombaan seperti panjat pinang tidak lagi diperlombakan untuk perayaan 17 Agustus, karena tak relevan dengan semangat .

Asep menuturkan, panjat pinang dimulai sejak era Belanda, kemudian dilestarikan di masa orde baru, dan syukurnya mulai memudar di era reformasi. Asep melihat tak ada edukasi lewat panjat pinang. “Yang namanya team building, kebersamaan, dan lainnya itu hanya semu. Panjat pinang itu saling menginjak untuk dapat hadiah. Panjat pinang menjauhkan masyarakat Indonesia dari nilai sejarah,” ujarnya.

Baca Juga:  Mahasiswa Generasi Baru di AS Beri Harapan kepada Palestina

Makna Proklamasi dan Nilai Kemanusiaan

Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno–Hatta memiliki makna bahwa bangsa Indonesia telah menyatakan kepada dunia bahwa sejak saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka dan berdaulat, sehingga wajib dihormati oleh negara lain secara layak sebagai bangsa dan negara yang mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat serta hak dan kewajiban yang sama dengan bangsa-bangsa lain yang sudah merdeka dalam pergaulan antar bangsa di dalam hubungan internasional.

Nilai kemanusiaan sangat penting dalam upaya mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nilai kemanusiaan digunakan untuk memperkuat kepribadian bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dalam berbagai bidang kehidupan. Nilai kemanusiaan itu merupakan pengalaman dari nilai yang tercantum dalam pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

Indonesia negeri yang ramah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan santun. Bangsa Indonesia suka bergotong royong dan tolong menolong. Nilai-nilai ketimuran yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Budaya ramah, toleran dan tidak mudah marah kini harus selalu kita jaga dan lestarikan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Sikap saling membantu, semangat tidak saling merugikan merupakan budaya perlu dikembangkan. Melestarikan kebudayaan nasional harus didasari dengan rasa kesadaran yang tinggi tanpa adanya paksaan dari siapapun.

Disitulah manusia Indonesia memperoleh harkat dan martabatnya berlandaskan budi pekerti yang luhur.

Masuknya kebudayaan penjajah ke Indonesia disertai dengan kekerasan menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujud budaya penjajah Belanda selama 350 tahun lamanya yang sampai saat ini masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia, termasuk lomba panjat pinang itu sendiri.(R03/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.