Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pegiat Lingkungan Indonesia Dorong Capres-Cawapres Kaji Ulang Kebijakan Bioenergi Berbasis Hutan

Rana Setiawan - Jumat, 12 Januari 2024 - 11:03 WIB

Jumat, 12 Januari 2024 - 11:03 WIB

16 Views

Jakarta, MINA – Pegiat lingkungan Indonesia mendesak para pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 untuk mengkaji kembali penggunaan bionergi dalam program transisi energi.

Penggunaan dua jenis bioenergi yang mengandalkan bahan baku hasil hutan, yakni biofuel dan biomassa, dinilai dapat menimbulkan dampak negatif yang mengganggu kelestarian alam.

Hal tersebut disampaikan pegiat lingkungan dari Traction Energy Asia, Trend Asia, dan Forest Watch Indonesia (FWI) dalam diskusi media “Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029” secara daring pada Rabu (10/1), yang juga dihadiri perwakilan Tim Pemenangan Nasional (TPN) paslon No. 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, paslon No. 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan paslon No. 3 Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud MD.

Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama menjelaskan, transisi energi pada saat ini tengah hangat dibicarakan, mengingat dampak perubahan iklim dan pemanasan global akibat polusi bahan bakar fosil semakin terasa di dunia.

Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri

Bahkan, pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya seruan bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari bahan bakar fosil masuk di dalam konsensus yang disepakati bersama (Konsensus Dubai).

“Pada COP 28 kemarin, terdapat komitmen global pengurangan emisi dari bahan bakar ke arah yang lebih berkelanjutan, karena krisis iklim mengancam eksistensi manusia di Bumi. Apalagi posisi Indonesia sebagai penyumbang karbon terbesar ke-8 di dunia, sehingga perlu disegerakan untuk transisi ke energi rendah karbon,” kata Tommy.

Penggunaan bioenergi menjadi salah satu bentuk transisi energi ramah lingkungan yang tengah digalakkan oleh pemerintah saat ini. Akan tetapi, Tommy mengkhawatirkan produksi bioenergi, khususnya biofuel, secara besar-besaran bakal mengancam ketahanan pangan dan hutan yang tersisa.

“Menggantungkan transisi energi pada biofuel atau bioenergi dikhawatirkan akan memicu persaingan antara pangan versus energi yang dapat berujung pada melonjaknya harga pangan,” ujar Tommy.

Baca Juga: Update Bencana Sukabumi:  Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian

Dia menambahkan, menurut data Traction Energy Indonesia, selain bioenergi, Indonesia masih memiliki sumber energi terbarukan lain yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Energi angin, misalnya, baru termanfaatkan 0,1% dari potensi total 155 gigawatt (GW), kemudian ada energi surya yang baru termanfaatkan 0,01% dari potensi total 3.294,4 GW.

Sementara itu, Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Bioenergi Trend Asia, menyoroti cofiring biomassa yang menjadi substitusi penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Co-firing biomassa dengan pelet kayu, menurut Amalya, adalah solusi palsu transisi energi karena berdampak pada hilangnya biodiversitas, mata pencaharian masyarakat, perampasan lahan, serta mengganggu pangan lokal yang bisa memicu krisis pangan.

“Bahan baku co-firing di 52 PLTU membutuhkan 10,2 juta ton biomassa dari hutan tanaman energi (HTE), sehingga risiko deforestasi tak dapat dihindari. Selain itu, energi yang dihasilkan oleh biomassa melalui kegiatan co-firing justru menghasilkan surplus emisi karbon sebanyak 26,48 juta ton,” papar Amalya.

Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025

“Oleh karena itu, kita perlu pertanyakan kembali pada setiap paslon capres dan cawapres, seperti apa komitmen mereka terhadap pengurangan emisi melalui transisi energi?” tambahnya.

Amalya menekankan bahwa transisi energi berkeadilan seharusnya: (1) akuntabel, transparan, dan partisipatif; (2) memenuhi dan melindungi HAM; (3) berkeadilan ekologis dan ekonomi; serta (4) transformatif.

Dari sisi tata kelola hutan dan lahan, FWI mempunyai catatan tersendiri bahwa produksi biomassa untuk pemenuhan bahan baku co-firing yang akan diimplementasikan di 52 PLTU di Indonesia juga membawa kecenderungan pada deforestasi. Pemanfaatan hutan untuk pemenuhan bahan baku biomassa akan mempertaruhkan lebih dari 93 juta hektar hutan alam yang fungsinya juga sebagai carbon capture dan ruang hidup masyarakat.

“Tantangan global, termasuk bagi Indonesia adalah pemanfaatan lahan dan ruang hutan alam agar bisa dipergunakan untuk energi, pangan, dan sumber daya air. Fungsi ini seharusnya ikut diperhitungkan dan dinilai untuk ketahanan pangan dan air. Apalagi hingga tahun 2021, 13 perusahaan hutan tanaman energi (HTE) sudah melakukan deforestasi yang mencapai 55 ribu hektar. Bagaimana komitmen untuk menjaga hutan alam ini, karena pastinya akan ada perluasan deforestasi jika proyek ini (biomassa untuk co-firing) tetap berjalan,” tutur Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI. (R/R1/RS2)

Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Internasional
Dunia Islam
Kolom
Indonesia